April Mop, dikenal dengan April Fools' Day dalam bahasa Inggris, diperingati setiap tanggal 1 April setiap tahun. Pada hari itu, orang dianggap boleh berbohong atau memberi lelucon kepada orang lain tanpa dianggap bersalah. Hari ini ditandai dengan tipu-menipu dan lelucon lainnya terhadap keluarga, musuh, teman bahkan tetangga dengan tujuan mempermalukan mereka-mereka yang mudah ditipu. Di beberapa negara seperti di Inggris dan Australia serta Afrika Selatan, lelucon hanya boleh dilakukan sampai siang atau sebelum siang hari.[1] Seseorang yang memainkan trik setelah tengah hari disebut sebagai "April Mop".[2] Namun di tempat lain seperti di Kanada, Perancis, Irlandia, Italia, Rusia, Belanda, dan Amerika Serikat lelucon bebas dimainkan sepanjang hari. Hari itu juga banyak diperingati di internet.
Bahasa pemograman PHP pun merayakan April Mop ini dengan mengganti logo php pada setiap page 'php info'. Perhatikan logo PHP pada php info, setiap tanggal 1 April, logo tersebut akan berubah menjadi gambar-gambar lain yang lucu, misalnya gambar anjing, gambar drakula, dan gambar Batman.
* 1 Lelucon terkenal
* 2 Berita nyata pada Hari April Mop
* 3 Daftar Pustaka
Lelucon terkenal yang terjadi pada 1 April.
* Albama Mengubah Nilai Pi: Newsletter New Mexicans pada tahun 1998 mengandung artikel yang ditulis oleh seorang ahli fisika Mark Boslough yang menyebutkan bahwa undang-undang Alabama telah mengubah nilai dari konstanta pi ke angka 3.0. Pernyataan ini sebelumnya pernah muncul pada cerita berita novel fiksi ilmiah tahun 1961, Stranger in a Strange Land oleh Robert A. Heinlein.[3], namun lihat juga yang sebenarnya pada peristiwa Tagihan Pi Indian
* Pohon Spaghetti: Program televisi BBC, Panorama membuat sebuah lelucon terkenal pada tahun 1957, yang menampilkan orang-orang Swiss memanen spaghetti dari pohon. Banyak orang yang menghubungi BBC untuk mengetahui cara menanam pohon spaghetti mereka sendiri. Hal ini pernah difilmkan di St. Albans[4]
* Tangan Kiri Whoppers: Pada tahun 1998, Burger King memasang iklan di USA Today yang menyatakan bahwa orang-orang bisa mendapatkan Whopper adalah orang-orang yang kidal karena bumbu yang dirancang hanya menetes dari sisi kanan.[5] Pelanggan tidak hanya memesan burger baru, tetapi beberapa secara khusus meminta burger yang "lama" yakni burger tangan kanan.[6]
* Taco Liberty Bell: Pada tahun 1996, Taco Bell mengeluarkan satu halaman penuh iklan di The New York Times yang mengumumkan bahwa mereka telah membeli Liberty Bell untuk "mengurangi utang negara" dan menamainya dengan "Taco Liberty Bell." Ketika ditanya mengenai penjualan, Sekretaris Pers Gedung Putih Mike McCurry menjawab tentang Monumen Lincoln yang juga sudah dijual dan untuk selanjutnya akan dikenal sebagai Mercury Lincoln Memorial. [7]
* San Serriffe: The Guardian dicetak pada tahun 1977 suplemen memuji fiktif ini resor, dua pulau utama (Kasus Atas dan Kasus Bawah), modal (Bodoni), dan pemimpin (Jenderal Pica). Pembaca yang penasaran kemudian kecewa ketika mengetahui bahwa San Serriffe (sans serif) tidak ada pengecualian sebagai acuan untuk menjadi tipografi terminologi. (Ini berasal dari cerita Jorge Luis Borges).)[8]
* Hari DT: Pada tahun 2008 selebaran itu diserahkan di kampus Universitas Brigham Young yang menyatakan bahwa yang terakhir dalam serangkaian asrama bangunan yang dirobohkan itu dijadwalkan akan meledak pada tanggal 1 April. Ratusan orang bersemangat muncul untuk melihat ledakan, tetapi ketakutan mereka itu tidak pernah terjadi. Biang keladinya pun tidak pernah diketahui. [9]
* Waktu Metrik: berulang kali di berbagai negara, lelucon ini melibatkan mengklaim bahwa sistem waktu akan berubah menjadi satu dalam satuan waktu yang didasarkan pada pangkat 10.[10]
* Smell-o vision: Pada tahun 1965, BBC diakui untuk melakukan uji coba teknologi baru memungkinkan transmisi bau melalui gelombang udara kepada semua pengunjung. Banyak pemirsa dilaporkan BBC dihubungi untuk melaporkan kesuksesan sidang.[11] Pada tahun 2007, situs BBC kedua versi online diyatakan merupakan sebuah tipuan.[12]
* Menara Pisa: berita televisi orang Belanda pada tahun 1950 melaporkan bahwa Menara Pisa telah terjatuh. Banyak orang terkejut dan segera menghubungi stasiun. [13]
Berita nyata pada Hari April Mop.
Rutinitas lelucon April Mop sering membuat orang-orang yang memperingatinya sering meragukan liputan berita yang terbit pada tanggal 1 April.
Tsunami April Mop di Hilo, Hawaii.
* Pada 1 April 1946, tsunami gempa Pulau Aleutian membunuh 165 orang di Hawaii dan Alaska mengakibatkan dibuatnya sistem peringatan tsunami. Di Hawaii, tsunami ini dikenal dengan "Tsunami April Mop", karena banyaknya orang yang mati karena tidak percaya berita akan kedatangan tsunami tersebut.
* Kematian Raja George II dari Yunani pada tanggal 1 April 1947.
* AMC Gremlin yang pertama kali diperkenalkan pada tanggal 1 April 1970.[15]
* Pada tahun 1979, Iran menyatakan bahwa 1 April merupakan Hari Republik. Kabar ini dianggap sebagai lelucon hingga tiga puluh tahun kemudian.[16]
* Pada tanggal 1 April 1984, penyanyi Marvin Gaye ditembak dan dibunuh oleh ayahnya. Awalnya, orang beranggapan bahwa itu adalah berita palsu, terutama mengingat aspek aneh ayah menjadi seorang pembunuh.
* Pada 1 April 1993, juara NASCAR Winston Cup Series Alan Kulwicki tewas dalam kecelakaan pesawat yang melibatkan eksekutif Hooters dari Amerika di Blountville, Tennessee dekat Bandara Tri-Cities. Perjalanan itu menuju ke Food City 500 yang dijadwalkan untuk hari berikutnya.
* Deathrock legenda Rozz Williams wafat karena bunuh diri pada tanggal 1 April 1998.
* Pada tanggal 1 April 1999 wilayah barat laut Kanada terpecah yang sekarang wilayah itu bernama Nunavut.
* Persaingan antara Merger Square dan perusahaan saingannya, Enix, terjadi pada 1 April 2003, dan pada awalnya dianggap sebagai lelucon.
* Leslie Cheung, penyanyi dan aktor terkenal asal Hong Kong, bunuh diri pada tahun 2003 karena depresi berat.
* Peluncuran Gmail pada April 2004 oleh Google juga awalnya dianggap lelucon, karena Google memang terkenal sering memasang lelucon April Mop pada situs mereka.
DAFTAR PUSTAKA.
1. ^ April Fool's Day BBC
2. ^ KIDPROJ Multi-Cultural Calendar
3. ^ Museum of Hoaxes. Diakses pada 29 Maret 2007
4. ^ Still a good joke - 47 years on (BBC News, 1 April 2004)
5. ^ Original press release. Diakses pada 29 Maret 2007
6. ^ Follow-up press release, revealing the joke. Diakses pada 7 Februari 2008
7. ^ Entry at Museum of Hoaxes. Diakses pada 2 April 2008
8. ^ Report: San Serriffe. The Guardian, 1 April 1977 (7pp)
9. ^ Daily Universe see 4/2/2008 thru 4/4/2008
10. ^ April Fools' Day, 1993. Museum of Hoaxes. Diakses pada 2 April 2008
11. ^ April Fools' Day, 1965. Museum of Hoaxes. Diakses pada 29 Maret 2007
12. ^ BBC Smell-o-vision
13. ^ [http:// www.examiner.com/a-639015~Practical_joking__The_art_of_April_Fools_.html Practical joking: The art of April Fools]. The Examiner. Diakses pada 29 Maret 2007
14. ^ The origin of the WOM - the "Write Only Memory". Diakses pada 29 Maret 2007
15. ^ Vance, Bill. "AMC Gremlin, 1970-1978". Canadian Driver,. Diakses pada 30 Mei 2008
16. ^ CIA factbook. Iran, Government, National Day
Sabtu, 27 Maret 2010
ANALISIS TENTANG TERONG
TERONG yang didesas-desuskan dapat menimbulkan impotensi ternyata berpotensi sebagai penyembuh berbagai penyakit yang saat ini hangat dibicarakan.
Menurut Prof. Wimpie Pangkahila, "Contoh sayuran lain yang dianggap dapat menimbulkan akibat buruk bagi fungsi seksual ialah terong, yang dianggap dapat menimbulkan impotensi. Padahal tidak ada bukti ilmiah mengenai mitos ini." (Kompas, 27 Juni 2003)
Di Nigeria, buah terong mendapat tempat yang cukup baik di masyarakat. Sayuran buah terong ini digunakan sebagai alat kontrasepsi, terutama bagi kaum pria. Tidak heran jika dalam kehidupan sehari-hari, sayur yang lezat bila dimasak sambal balado ini kadang dituduh dapat menimbulkan impotensi. Khasiat lain dari sayur terong yang sering dilalap ini adalah sebagai zat anti rematik. Pengobatan tradisional di Nigeria percaya bahwa terong dapat menyembuhkan atau setidaknya mengurangi serangan rematik tertentu. Bahkan tidak hanya di Nigeria, terong diyakini memiliki khasiat obat. Di Korea pun terong dikenal punya keajaiban untuk mengobati beberapa gangguan kesehatan. Di antara khasiat sayur terong adalah : -
* mengobati sakit pinggang,
* mengobati encok,
* mengobati pinggang terasa kaku,
* mengobati nyeri,
* mengobati campak atau cacar air,
* mengobati ketergantungan alkohol,
* mengobati gastritis,
* mengobati bekas luka bakar,
* mengobati kejang yang relatif sulit diketahui dengan pasti kapan terjadi serangannya.
* mengobatikolesterol darah,
* mengandung zat antikanker,
* sebagai alat kontrasepsi,
* dipercaya meningkatkan libido.
Terong (Solanum Melongena) merupakan tanaman asli daerah tropis yang diduga berasal dari Asia, terutama India dan Birma. Dari kawasan tersebut, terung kemudian disebarkan ke Cina pada abad ke-5. Dari Cina selanjutnya disebarluaskan ke Karibia, Afrika Tengah, Afrika Timur, Afrika Barat, Amerika Selatan, dan daerah tropis lainnya.
Selanjutnya terong disebarkan pula ke negara-negara subtropis, seperti Spanyol, dan negara lain di kawasan Eropa. Karena daerah penyebarannya sangat luas, sebutan untuk terong sangat beraneka ragam, yaitu eggplant, gardenegg, aubergine, melongene, eierplant, atau eirefruch
JENIS TERONG.
Terong merupakan salah satu jenis sayuran buah yang digemari berbagai kalangan. Tanaman terong termasuk satu kerabat dengan tanaman takokak (Solanum torvum), leunca (Solanum nigrum), tomat (Solanum lycopersicum), dan kentang (Solanum tuberosum). Terong dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian hingga 1.200 meter di atas permukaan laut.
Bunga terong merupakan bunga banci, yaitu berkelamin dua. Dalam satu bunga terdapat alat kelamin jantan (benang sari) dan alat kelamin betina (putik). Bunga terong bentuknya mirip bintang, berwarna biru atau lembayung, cerah sampai gelap. Penyerbukan bunga dapat berlangsung secara silang maupun menyerbuk sendiri.
Buah terong merupakan buah sejati tunggal, berdaging tebal, lunak, dan berair. Buah tergantung pada tangkai buah. Dalam satu tangkai umumnya terdapat satu buah terong, tetapi ada juga yang memiliki lebih dari satu buah. Biji terdapat dalam jumlah banyak dan tersebar di dalam daging buah. Daun kelopak melekat pada dasar buah, berwarna hijau atau keunguan.
Buah terong sangat beragam, baik dalam bentuk, ukuran, maupun warna kulit, tergantung pada varietasnya. Dari segi bentuk buah, ada yang bulat, bulat-panjang dan setengah bulat. Ukuran buah bervariasi dari kecil, sedang, dan besar.
Warna kulit buah bervariasi dari ungu, hijau keputih-putihan, putih, putih keunguan, serta hitam atau ungu tua. Di dalam buah terdapat biji dalam jumlah banyak, berbentuk pipih, berwarna cokelat muda. Biji tersebut merupakan alat reproduksi atau perbanyakan tanaman secara generatif.
Jenis terong yang umum diperjualbelikan adalah terong gelatik, terong kopek, terung craigi, terong medan, terong bogor, dan terong jepang.
Terong gelatik umumnya dibuat lalap, sehingga sering juga disebut sebagai terong lalap. Buahnya bulat kecil berwarna ungu atau putih keunguan, teksturnya renyah, rasanya langu tetapi tidak getir.
Terong kopek memiliki bentuk buah bulat panjang, bagian ujungnya tumpul, lurus, berwarna ungu, hijau keunguan, atau hijau muda. Rasanya agak manis dan tekstur daging buahnya lunak.
Terong craigi memiliki buah berbentuk bulat panjang (lurus atau bengkok), berwarna ungu atau ungu muda, serta ujungnya meruncing.
Terong medan berbentuk bulat panjang, warnanya hijau bergaris-garis putih, rasanya manis tetapi agak asam.
Terong bogor memiliki buah berbentuk bulat besar, sehingga dikenal juga sebagai terong kelapa. Warnanya putih atau hijau keputih-putihan, tekstur renyah, rasanya sedikit manis dan agak getir (kelat). Selain varietas lokal, di Indonesia juga banyak ditanam terong varietas introduksi, yaitu berasal dari luar negeri. Varietas introduksi yang paling dikenal adalah terong jepang.
Terong jepang memiliki bentuk yang beragam, yaitu silindris, lonjong, oval atau bulat, serta warna kulit yang ungu hingga ungu gelap mengilap. Varietas terong jepang yang sangat dikenal adalah moneymaker 2 dan black shine.
Saat ini di Indonesia banyak ditanam varietas terong hibrida. Keunggulan varietas hibrida adalah produksinya tinggi, teksturnya renyah dan empuk, rasanya enak, serta memiliki ketahanan yang tinggi terhadap hama dan penyakit tanaman. Contoh varietas hibrida: farmers long dan extra long (asal Taiwan); early bird, black dragon, vista, long tom, dan money maker 2 (asal Jepang).
CEGAH HIPERTENSI.
Komposisi gizi terong sangat beragam, tergantung varietas, lokasi penanaman, serta ketuaan buah saat dipanen. Walaupun ketiga jenis sayuran tersebut merupakan kerabat dekat, komposisi gizinya sedikit berbeda. Tekokak dan leunca memiliki kadar energi, kalsium, vitamin A, dan vitamin C yang lebih tinggi dibandingkan terung.
Keunggulan terong terletak pada kadar potasium (kalium) yang tinggi, yaitu sekitar 217 mg/100 g, serta kadar sodium (natrium) yang sangat rendah, yaitu 3 mg/100 g. Kadar kalium yang tinggi dan natrium yang rendah sangat menguntungkan bagi kesehatan, khususnya dalam pencegahan penyakit hipertensi.
Selain itu, terong mengandung serat pangan dalam jumlah lumayan banyak, yaitu 2,5 g/100 g, sehingga baik untuk pemeliharaan saluran pencernaan. Vitamin yang cukup menonjol pada terong adalah asam folat, dengan kadar 19 mikrogram per 100 gram bahan.
Ditinjau dari segi ekonomi, terung memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan tekokak dan leunca. Bentuk olahan terong juga lebih bervariasi, sehingga lebih disukai oleh masyarakat luas.
Hanya Mitos
Anjuran bahwa seorang pria sebaiknya tidak mengonsumsi terong karena dapat menurunkan libido adalah mitos belaka. Mitos tersebut timbul karena mengasosiasikan organ seksual pria dengan terong yang teksturnya lunak dan loyo akibat proses pemasakan. Anggapan tersebut sama sekali tidak benar. Sebaliknya, di dalam buah terong terkandung zat-zat penting yang justru bermanfaat bagi kesehatan, termasuk dalam urusan SEKS.
Secara tradisional, tanaman terong digunakan sebagai obat untuk pengobatan gusi bengkak, peradangan pada mulut, wasir, borok pada hidung, retak tulang, pelancar air seni, dan demam. Hal tersebut masih dipraktikkan di berbagai daerah hingga saat ini.
Kulit terong mengandung banyak flavonoid dan antioksidan lain, yang dapat membantu menurunkan risiko penyakit jantung dan stroke. Terong juga mengandung senyawa terpen yang dapat menurunkan kadar kolesterol. Suatu penelitian menggunakan kelinci percobaan menunjukkan bahwa pemberian jus terong mampu menurunkan kadar kolesterol dan memperbaiki laju aliran darah.
Buah terong juga mengandung senyawa asam klorogenat (chlorogenic acid), yaitu salah satu jenis antioksidan, yang menurut beberapa hasil penelitian memiliki aktivitas antikanker, antimikroba, dan antivirus, serta memiliki kemampuan untuk menurunkan kadar kolesterol LDL (kolesterol jahat). Terong juga diketahui mengandung tripsin inhibitor, yaitu suatu komponen yang dipercaya mampu membantu menetralkan sel penyebab kanker.
Beberapa jenis terong, seperti Solanum khasianum, Solanum laciniatum, dan Solanum grandiflorum, diketahui mengandung senyawa alkaloid berupa solasodin dalam jumlah cukup tinggi, yaitu antara 2,0 hingga 3,5 persen. Senyawa tersebut dapat digunakan sebagai bahan baku untuk KONTRASEPSI ORAL, sebagai pil untuk kepentingan program keluarga berencana.
Sumber :
Tabloid gaya hidup sehat.
http://www.kalbe.co.id/index.php?mn=int&tipe=consul&detail=16
http://kesehatan.kompas.com/
http://tanyasaja.detik.com/
Menurut Prof. Wimpie Pangkahila, "Contoh sayuran lain yang dianggap dapat menimbulkan akibat buruk bagi fungsi seksual ialah terong, yang dianggap dapat menimbulkan impotensi. Padahal tidak ada bukti ilmiah mengenai mitos ini." (Kompas, 27 Juni 2003)
Di Nigeria, buah terong mendapat tempat yang cukup baik di masyarakat. Sayuran buah terong ini digunakan sebagai alat kontrasepsi, terutama bagi kaum pria. Tidak heran jika dalam kehidupan sehari-hari, sayur yang lezat bila dimasak sambal balado ini kadang dituduh dapat menimbulkan impotensi. Khasiat lain dari sayur terong yang sering dilalap ini adalah sebagai zat anti rematik. Pengobatan tradisional di Nigeria percaya bahwa terong dapat menyembuhkan atau setidaknya mengurangi serangan rematik tertentu. Bahkan tidak hanya di Nigeria, terong diyakini memiliki khasiat obat. Di Korea pun terong dikenal punya keajaiban untuk mengobati beberapa gangguan kesehatan. Di antara khasiat sayur terong adalah : -
* mengobati sakit pinggang,
* mengobati encok,
* mengobati pinggang terasa kaku,
* mengobati nyeri,
* mengobati campak atau cacar air,
* mengobati ketergantungan alkohol,
* mengobati gastritis,
* mengobati bekas luka bakar,
* mengobati kejang yang relatif sulit diketahui dengan pasti kapan terjadi serangannya.
* mengobatikolesterol darah,
* mengandung zat antikanker,
* sebagai alat kontrasepsi,
* dipercaya meningkatkan libido.
Terong (Solanum Melongena) merupakan tanaman asli daerah tropis yang diduga berasal dari Asia, terutama India dan Birma. Dari kawasan tersebut, terung kemudian disebarkan ke Cina pada abad ke-5. Dari Cina selanjutnya disebarluaskan ke Karibia, Afrika Tengah, Afrika Timur, Afrika Barat, Amerika Selatan, dan daerah tropis lainnya.
Selanjutnya terong disebarkan pula ke negara-negara subtropis, seperti Spanyol, dan negara lain di kawasan Eropa. Karena daerah penyebarannya sangat luas, sebutan untuk terong sangat beraneka ragam, yaitu eggplant, gardenegg, aubergine, melongene, eierplant, atau eirefruch
JENIS TERONG.
Terong merupakan salah satu jenis sayuran buah yang digemari berbagai kalangan. Tanaman terong termasuk satu kerabat dengan tanaman takokak (Solanum torvum), leunca (Solanum nigrum), tomat (Solanum lycopersicum), dan kentang (Solanum tuberosum). Terong dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian hingga 1.200 meter di atas permukaan laut.
Bunga terong merupakan bunga banci, yaitu berkelamin dua. Dalam satu bunga terdapat alat kelamin jantan (benang sari) dan alat kelamin betina (putik). Bunga terong bentuknya mirip bintang, berwarna biru atau lembayung, cerah sampai gelap. Penyerbukan bunga dapat berlangsung secara silang maupun menyerbuk sendiri.
Buah terong merupakan buah sejati tunggal, berdaging tebal, lunak, dan berair. Buah tergantung pada tangkai buah. Dalam satu tangkai umumnya terdapat satu buah terong, tetapi ada juga yang memiliki lebih dari satu buah. Biji terdapat dalam jumlah banyak dan tersebar di dalam daging buah. Daun kelopak melekat pada dasar buah, berwarna hijau atau keunguan.
Buah terong sangat beragam, baik dalam bentuk, ukuran, maupun warna kulit, tergantung pada varietasnya. Dari segi bentuk buah, ada yang bulat, bulat-panjang dan setengah bulat. Ukuran buah bervariasi dari kecil, sedang, dan besar.
Warna kulit buah bervariasi dari ungu, hijau keputih-putihan, putih, putih keunguan, serta hitam atau ungu tua. Di dalam buah terdapat biji dalam jumlah banyak, berbentuk pipih, berwarna cokelat muda. Biji tersebut merupakan alat reproduksi atau perbanyakan tanaman secara generatif.
Jenis terong yang umum diperjualbelikan adalah terong gelatik, terong kopek, terung craigi, terong medan, terong bogor, dan terong jepang.
Terong gelatik umumnya dibuat lalap, sehingga sering juga disebut sebagai terong lalap. Buahnya bulat kecil berwarna ungu atau putih keunguan, teksturnya renyah, rasanya langu tetapi tidak getir.
Terong kopek memiliki bentuk buah bulat panjang, bagian ujungnya tumpul, lurus, berwarna ungu, hijau keunguan, atau hijau muda. Rasanya agak manis dan tekstur daging buahnya lunak.
Terong craigi memiliki buah berbentuk bulat panjang (lurus atau bengkok), berwarna ungu atau ungu muda, serta ujungnya meruncing.
Terong medan berbentuk bulat panjang, warnanya hijau bergaris-garis putih, rasanya manis tetapi agak asam.
Terong bogor memiliki buah berbentuk bulat besar, sehingga dikenal juga sebagai terong kelapa. Warnanya putih atau hijau keputih-putihan, tekstur renyah, rasanya sedikit manis dan agak getir (kelat). Selain varietas lokal, di Indonesia juga banyak ditanam terong varietas introduksi, yaitu berasal dari luar negeri. Varietas introduksi yang paling dikenal adalah terong jepang.
Terong jepang memiliki bentuk yang beragam, yaitu silindris, lonjong, oval atau bulat, serta warna kulit yang ungu hingga ungu gelap mengilap. Varietas terong jepang yang sangat dikenal adalah moneymaker 2 dan black shine.
Saat ini di Indonesia banyak ditanam varietas terong hibrida. Keunggulan varietas hibrida adalah produksinya tinggi, teksturnya renyah dan empuk, rasanya enak, serta memiliki ketahanan yang tinggi terhadap hama dan penyakit tanaman. Contoh varietas hibrida: farmers long dan extra long (asal Taiwan); early bird, black dragon, vista, long tom, dan money maker 2 (asal Jepang).
CEGAH HIPERTENSI.
Komposisi gizi terong sangat beragam, tergantung varietas, lokasi penanaman, serta ketuaan buah saat dipanen. Walaupun ketiga jenis sayuran tersebut merupakan kerabat dekat, komposisi gizinya sedikit berbeda. Tekokak dan leunca memiliki kadar energi, kalsium, vitamin A, dan vitamin C yang lebih tinggi dibandingkan terung.
Keunggulan terong terletak pada kadar potasium (kalium) yang tinggi, yaitu sekitar 217 mg/100 g, serta kadar sodium (natrium) yang sangat rendah, yaitu 3 mg/100 g. Kadar kalium yang tinggi dan natrium yang rendah sangat menguntungkan bagi kesehatan, khususnya dalam pencegahan penyakit hipertensi.
Selain itu, terong mengandung serat pangan dalam jumlah lumayan banyak, yaitu 2,5 g/100 g, sehingga baik untuk pemeliharaan saluran pencernaan. Vitamin yang cukup menonjol pada terong adalah asam folat, dengan kadar 19 mikrogram per 100 gram bahan.
Ditinjau dari segi ekonomi, terung memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan tekokak dan leunca. Bentuk olahan terong juga lebih bervariasi, sehingga lebih disukai oleh masyarakat luas.
Hanya Mitos
Anjuran bahwa seorang pria sebaiknya tidak mengonsumsi terong karena dapat menurunkan libido adalah mitos belaka. Mitos tersebut timbul karena mengasosiasikan organ seksual pria dengan terong yang teksturnya lunak dan loyo akibat proses pemasakan. Anggapan tersebut sama sekali tidak benar. Sebaliknya, di dalam buah terong terkandung zat-zat penting yang justru bermanfaat bagi kesehatan, termasuk dalam urusan SEKS.
Secara tradisional, tanaman terong digunakan sebagai obat untuk pengobatan gusi bengkak, peradangan pada mulut, wasir, borok pada hidung, retak tulang, pelancar air seni, dan demam. Hal tersebut masih dipraktikkan di berbagai daerah hingga saat ini.
Kulit terong mengandung banyak flavonoid dan antioksidan lain, yang dapat membantu menurunkan risiko penyakit jantung dan stroke. Terong juga mengandung senyawa terpen yang dapat menurunkan kadar kolesterol. Suatu penelitian menggunakan kelinci percobaan menunjukkan bahwa pemberian jus terong mampu menurunkan kadar kolesterol dan memperbaiki laju aliran darah.
Buah terong juga mengandung senyawa asam klorogenat (chlorogenic acid), yaitu salah satu jenis antioksidan, yang menurut beberapa hasil penelitian memiliki aktivitas antikanker, antimikroba, dan antivirus, serta memiliki kemampuan untuk menurunkan kadar kolesterol LDL (kolesterol jahat). Terong juga diketahui mengandung tripsin inhibitor, yaitu suatu komponen yang dipercaya mampu membantu menetralkan sel penyebab kanker.
Beberapa jenis terong, seperti Solanum khasianum, Solanum laciniatum, dan Solanum grandiflorum, diketahui mengandung senyawa alkaloid berupa solasodin dalam jumlah cukup tinggi, yaitu antara 2,0 hingga 3,5 persen. Senyawa tersebut dapat digunakan sebagai bahan baku untuk KONTRASEPSI ORAL, sebagai pil untuk kepentingan program keluarga berencana.
Sumber :
Tabloid gaya hidup sehat.
http://www.kalbe.co.id/index.php?mn=int&tipe=consul&detail=16
http://kesehatan.kompas.com/
http://tanyasaja.detik.com/
Kamis, 25 Maret 2010
BAHAYA FITNAH TAKFIR
Dunia Islam dan kaum muslimin dewasa ini cukup menyedihkan. Tuduhan demi tuduhan dilemparkan musuh-musuh Allah Subhanahu wa Ta'ala, akibat ulah sebagian kelompok kaum muslimin. Musuh-musuh Islam terus mengintai negara dan masyarakat Islam; mengintai kapan kaum muslimin berbuat salah, kapan menjadi materialis dan kapan cinta dunia menguasainya.
Akhirnya, masa-masa yang ditunggupun tiba. Kaum muslimin hidup bergelimang dunia dan dosa. Kebodohan menjadi ciri mereka, menyebabkan keluar dan menyelisihi syariat. Tanpa sadar membuat kerusakan di bumi dan seisinya. Padahal sesuatu yang menyelisihi, pasti berbahaya; apalagi dalam permasalahan agama.
Kehinaan dan fitnah pun melanda kaum muslimin, sebagai konsekwensi akibat melanggar dan jauhnya mereka dari syariat RasulNya.
Allah berfirman,
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih". [An Nur:63].
Bermunculanlah penyakit dan fitnah dalam tubuh kaum muslimin. Membuat mereka bingung, sedih dan berpecah-belah. Semoga Allah mengembalikan dan mempersatukan kaum muslimin di atas ajaran agama Islam yang benar.
Diantara fitnah yang muncul dan sangat berbahaya dalam tubuh kaum muslimin, yaitu fitnah takfir. Takfir ialah vonis kafir terhadap orang lain yang menyimpang dari syari’at Islam. Fitnah ini berawal dari munculnya sekte Khawarij pada zaman Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu. Fitnah ini pernah mengguncang dunia Islam. Menumpahkan ribuan, bahkan jutaan darah kaum muslimin. Telah banyak harta dan jiwa yang dikorbankan kaum muslimin untuk meredam fitnah ini
Lihatlah, sejak pembunuhan khalifah dan menantu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam Utsman bin Affan Radhiyallahu 'anhu, disusul dengan terbunuhnya khalifah dan menantu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu, hingga pemberontakan mereka terhadap negara Islam Bani Umayyah dan Abbasiyah, serta negara-negara Islam hingga saat ini. Sehingga Dr. Ghalib bin Ali Al ‘Awajiy menyatakan,“Khawarij merupakan salah satu firqah besar yang melakukan revolusi berdarah dalam sejarah politik Islam. Mereka telah menyibukkan negara-negara Islam dalam waktu yang sangat panjang sekali.” [1]
Pertama kali muncul, mereka mencela sebaik-baiknya orang shalih waktu itu. Yaitu Khalifah Ali Radhiyallahu 'anhu. Bukanlah satu hal aneh, karena tokoh pertama mereka yang bernama Dzul Khuwaishirah telah mencela sebaik-baiknya makhluk Allah, yaitu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dikisahkan dalam riwayat dibawah ini :
أَنَّ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقْسِمُ قِسْمًا أَتَاهُ ذُو الْخُوَيْصِرَةِ وَهُوَ رَجُلٌ مِنْ بَنِي تَمِيمٍ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ اعْدِلْ فَقَالَ وَيْلَكَ وَمَنْ يَعْدِلُ إِذَا لَمْ أَعْدِلْ قَدْ خِبْتَ وَخَسِرْتَ إِنْ لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ فَقَالَ عُمَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ائْذَنْ لِي فِيهِ فَأَضْرِبَ عُنُقَهُ فَقَالَ دَعْهُ فَإِنَّ لَهُ أَصْحَابًا يَحْقِرُ أَحَدُكُمْ صَلَاتَهُ مَعَ صَلَاتِهِمْ وَصِيَامَهُ مَعَ صِيَامِهِمْ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ
"Sesungguhnya Abu Sa’id Al Khudri bercerita,”Ketika kami bersama Rasululluh Shallallahu 'alaihi wa sallam dan beliau membagi-bagikan sesuatu. Datanglah Dzul Khuwaishirah seorang yang berasal dari Bani Tamim kepada beliau, lalu berkata,’Wahai Rasulullah berbuat adillah!’ Lalu beliau menjawab,’Celaku kamu, siapakah yang berbuat adil, jika aku tidak berbuat adil? Engkau telah rugi dan celaka jika aku tidak adil’. Umar berkata,’Wahai Rasulullah izinkanlah aku memenggal lehernya’. Beliau menjawab,’Biarkan dia! Sesungguhnya dia memiliki pengikut. Salah seorang dari kalian akan meremehkan sholatnya dibanding sholat mereka dan puasanya dibanding puasa mereka. Mereka membaca Al Qur’an, tapi hanya ditenggorokan mereka saja. Mereka meninggalkan agama, sebagaimana anak panah keluar dari busurnya’.” [Mutafaqun alaihi].
Nampaklah, bahwa kemunculan Khawarij berawal dari persoalan harta dan penentangan terhadap pemimpin. Sungguh benar sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ
"Sesungguhnya setiap umat memiliki fitnah, dan fitnah umatku adalah harta".
Dzul Khuwaishirah menentang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan slogan keadilan. Menuntut keadilan, hak dan persamaan. Dia menuduh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berbuat tidak adil, sehingga menuntut Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan keadaan pengikutnya.
Tuduhan dan tuntutan seperti ini ditujukan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tentunya, kepada orang yang berada dibawah (sesudah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam), dari para penguasa dan wali amri kaum muslimin lebih gampang dan mudah bagi mereka menyampaikan tuntutannya. Ketika pengikut Dzul Khuwaishirah muncul pada zaman Ali bin Abi Thalib, juga karena persoalan harta dan penentangan mereka terhadap kebijakan Khalifah Ali Radhiyallahu 'anhu [2]. Setelah itu, mereka mengkafirkan pelaku dosa besar, menghalalkan darah dan harta kaum muslimin seluruhnya, kecuali anggota sektenya. Inilah yang melandasi pemberontakan mereka dan membunuh orang-orang yang tidak bersalah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan dalam haditsnya,
إِنَّ مِنْ ضِئْضِئِ هَذَا قَوْمًا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ الْإِسْلَامِ مُرُوقَ السَّهْمِ مِنْ الرَّمِيَّةِ يَقْتُلُونَ أَهْلَ الْإِسْلَامِ وَيَدَعُونَ أَهْلَ الْأَوْثَانِ لَئِنْ أَنَا أَدْرَكْتُهُمْ قَتَلْتُهُمْ قَتْلَ عَادٍ
"Sesungguhnya di belakang orang ini akan lahir satu kaum yangmembaca Al Qur’an, tetapi tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka lepas dari Islam, seperti lepasnya anak panah dari busurnya. Mereka membunuh kaum muslimin dan membiarkan penyembah berhala. Sungguh, jika aku mendapatkan mereka, niscaya aku bunuh mereka dengan cara pembunuhan kaum ‘Ad".[3]
Dan dalam riwayat yang lainnya:
هُمْ شَرُّ قَتْلَى قُتِلُوا تَحْتَ أَدِيمِ السَّمَاءِ
"Mereka adalah sejelek-jelek orang yang terbunuh di bawah langit" [4]
Kaum Khawarij ini diperangi kaum muslimin, hingga hampir hilang dari permukaan bumi. Memang, kumpulan mereka ini masih ada di beberapa tempat, seperti: di Oman, Maroko, Al Jazair dan Zanjibar. Diwakili oleh sekte Ibadhiyah. Meskipun demikian, pemikiran dan aqidah mereka masih eksis dan bertebaran di sekitar kaum muslimin. dan terkadang sebagian kaum muslimin tidak sadar memiliki pemikiran dan aqidah mereka ini.
Kemudian lebih dari seperempat abad yang lalu muncullah istilah takfir dan hijrah, ditandai dengan satu kejadian besar. Yaitu pembunuhan terhadap penulis kitab At Tafsir wal Mufassirun, Syaikh Muhammad Husein Adz Dzahabi.
Jamaah takfir wal hijrah ini dikatakan oleh para peniliti, sebagai bagian dari Jamaah Ikhwanul Muslimin. Mereka kecewa dengan sikap dan tindakan tokoh-tokoh pemimpin Ikhwanul Muslimin dengan peran mereka dalam politik negeri Mesir. Lalu mengangkat panji hakimiyah sebagai simbol pemisah kafir dan Islam. Pada akhirnya, mereka mengkafirkan seluruh kaum muslimin, baik penguasa maupun rakyatnya –tentu- kecuali anggota jamaah mereka.
Dari takfir ini, mereka melakukan pembunuhan, peledakan dan pelecehan hak para ulama serta kaum muslimin. Mereka mengambil pemikirannya berdasarkan tulisan dan pernyataan Sayyid Quthub yang telah menjadi imam dan pemikir sejatinya. Kita akan semakin jelas melihatnya, jika mencermati dan menelaah pemikiran Sayyid Quthub, salah seorang tokoh legendaries Jamaah Ikhwanul Muslimin. Mereka banyak menjadikan pemikiran tokoh intelektual ini dalam kaidah beragama. Memnyebabkan mereka menjadi orang yang cepat memvonis kafir terhadap orang lain. Mencela para ulama yang tidak cocok atau dianggap tidak sesuai dengan mereka. Hal ini tidaklah mengherankan. Karena orang yang telah terkena fitnah takfir, tentunya tidak lepas dari gaya penampilan para pendahulu mereka dari kalangan Khawarij. Beberapa pemikiran Sayyid Quthub tentang takfir, dapat diketahui besarnya bahaya yang muncul karenanya.
Tentang takfir ini [5], Sayyid Quthub mengkafirkan hampir seluruh kaum muslimin, termasuk para muadzin yang selalu melantunkan kalimat tauhid. Seperti ini dapat dilihat pada tulisan beliau. Diantara pernyataan beliau, ialah:
1. Manusia telah murtad kepada penyembahan makhluk (paganisme) dan kejahatan agama serta telah keluar dari Laa ilaha Illa Allah. Walaupun sebaian mereka masih selalu mengumandangkan Laa ilaha Illa Allah diatas tempat beradzan”.[6]
2. Manusia telah kembali kepada kejahiliyahan, dan keluar dari Laa ilaha Illa Allah … Manusia seluruhnya -termasuk orang–orang yang selalu mengumandangkan kalimat Laa ilaha illa Allah pada adzan-adzan di timur sampai barat bumi ini tanpa pengertian dan pembuktian nyata- bahkan mereka ini lebih berat dosa dan adzabnya pada hari kiamat; karena mereka telah murtad kepada penyembahan makhluk, setelah jelas bagi mereka petunjuk dan setelah mereka berada di agama Allah [7].
3. Masyarakat yang menganggap dirinya muslim masuk ke dalam lingkungan masyarakat jahiliyah, bukan karena meyakini uluhiyah kepada selain Allah. Bukan pula karena menunjukkan syi’ar-syi’ar peribadatan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala, akan tetapi mereka masuk ke dalam lingkup ini karena tidak beribadah kepada Allah saja dalam hukum-hukum kehidupannya.[8]
4. Orang yang tidak mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam hakimiyah –di semua zaman dan tempat- adalah orang-orang musyrik. Tidak mengeluarkan mereka dari kesyirikan ini, walaupun mereka berkeyakinan terhadap Laa ilaha illa Allah dan tidak pula syi’ar (peribadatan) yang mereka tujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.[9]
5. Di permukaan bumi ini, tidak ada satupun negara Islam dan tidak pula masyarakat muslim [10].
Sayyid Quthub mengkafirkan masyarakat kaum muslimin yang ada. Karena –masyarakat muslim itu- tidak menggunakan hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam mengatur kehidupan mereka. Akan tetapi, beliau mensifatkan penyembah berhala -dari kalangan kaum musyrikin- dengan pernyataannya: "Kesyirikan mereka yang hakiki bukanlah pada permasalahan ini -yaitu penyembahan berhala untuk mendekatkan diri dan meminta syafaat di hadapan Allah- dan tidak pula islamnya orang yang masuk Islam karena meninggalkan permohonan syafaat kepada para berhala tersebut".[11]
Perhatikanlah pernyataan beliau ini. Bukankah menyelisihi firman Allah Subhanahu wa Ta'ala berikut ini?
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أَمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan),"Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu," [An Nahl:36]
إِنَّ اللهَ لاَيَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَادُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَآءُ
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu", [An Nisa:48].
Bahkan para Rasul berdakwah mengajak kaumnya untuk tidak menyembah selain Allah Subhanahu wa Ta'ala dan menyatakan,
يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَالَكُم مِّنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ
"Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Ilah bagimu selainNya". [Al A’raf:59].
Kemudian kaum ‘Ad membantah ajakan nabi mereka dengan menyatakan,
قَالُوا أَجِئْتَنَا لِنَعْبُدَ اللهَ وَحْدَهُ وَنَذَرَ مَاكَانَ يَعْبُدُ ءَابَآؤُنَا فَأْتِنَا بِمَا تَعِدُنَآ إِن كُنتَ مِنَ الصَّادِقِينَ
"Mereka berkata,"Apakah kamu datang kepada kami, agar kami hanya menyembah Allah saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami, maka datangkanlah adzab yang kamu ancamkan kepada kami, jika kamu termasuk orang-orang yang benar." [Al A’raf:70].
Demikian juga kaum Nabi Nuh Alaihissallam, ketika didakwahi untuk tidak menyembah orang shalih yang diyakini dapat memberi syafaat dan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, mereka menyatakan,
وَقَالُوا لاَ تَذَرُنَّ ءَالِهَتَكُمْ وَلاَتَذَرُنَّ وَدًّا وَلاَسُوَاعًا وَلاَيَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا
"Dan mereka berkata,"Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) ilah-ilah kamu, dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwaa', yaghuts, ya'uq dan nasr," [Nuh:23].
Ternyata dakwah para Rasul ialah mengajak manusia menyembah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan menjauhi syirik dalam peribadatan, bukan syirik hakimiyah; tidak seperti yang mereka inginkan. Bahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menegaskan dalam pernyataan beliau :
يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ الْأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِي لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً
"Wahai Bani Adam, sesungguhnya jika kamu menjumpaiKu dengan membawa sepenuh bumi kesalahan, kemudian menjumpaiKu dalam keadaan tidak menyekutukanKu, sungguh Aku akan memberimu sepenuh pengampunan bumi" [12].
يَا مُعَاذُ أَتَدْرِي مَا حَقُّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ قَالَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا أَتَدْرِي مَا حَقُّهُمْ عَلَيْهِ قَالَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ أَنْ لَا يُعَذِّبَهُمْ
"Wahai Mu’adz, tahukah engkau, apa hak Allah atas hambaNya?Dia (Mu’adz) menjawab,“Allah dan RasulNya lebih mengetahui.” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,“MenyembahNya dan tidak menyekutukanNya. Apakah engkau tahu, apa hak mereka atas Allah?” Mu’adz menjawab,“Allah dan RasulNya lebih mengetahui.” Beliau menjawab,“Tidak mengadzab mereka.” [13]
Subhanallah! Seandainya memang benar perkataan dan pernyataan Sayyid Quthub ini, tentulah apa yang didakwahkan para Rasul tersebut tidak sesuai dengan kenyataan dan kebutuhan umat manusia. Ini sungguh kesalahan yang sangat fatal sekali.
Pemikiran takfir ini terus merebak di kalangan para pemuda kaum muslimin yang bersemangat. Sehingga, akibatnya mereka mengorbankan diri untuk meledakkan bom, merusak dan membunuh dengan dalih jihad suci melawan orang kafir. Bahkan lebih dari itu, mereka melecehkan para ulama dan mengkafirkannya. Lantaran para ulama itu tidak mengkafirkan orang yang telah kafir. Sungguh mengerikan akibat ditimbulkan dari pemikiran takfir ini.
Maka, sudah seharusnya kaum muslimin senantiasa waspada terhadap kembalinya pemikiran-pemikiran yang merusak ini. Yaitu dengan menuntut ilmu agama dari para ulama, dan tidak tergesa-gesa memvonis kafir (takfir) terhadap orang lain, serta senantiasa menyerahkan permasalahan kepada ahlinya.
PERNYATAAN SYAIKH MUHAMMAD BIN SHALIH AL 'UTSAIMIN RAHIMAHULLAH
TENTANG TAKFIR
Takfir, satu perkara yang sangat mendasar. Rasulullah SAW mengingatkan kita untuk tidak mudah menuduh kafir kepada saudaranya. Sebab, bila tuduhan kafir tersebut tidak benar, maka akan berbalik kepada yang menuduh. Berikut, kami sampaikan pendapat Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin tentang takfir.
Semoga dapat menambah pengetahuan dan pemahaman kita terhadap urgensi takfir. Disadur dari dua kitab Beliau rahimahullah, yaitu : Kitab Al Al Qaul Al Mufid ‘Ala Kitab At Tauhid dan Syarh Kasyfu Asy Syubuhat (Wa Yalihi Syarh Al Ushul As Sittah).
_______________________________________________________
ORANG-ORANG YANG BERHUKUM TIDAK DENGAN APA YANG DITURUNKAN ALLAH [13]
Tentang orang-orang yang berhukum tidak dengan hukum yang diturunkan Allah, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah mengatakan, bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan tiga penyebutan, yaitu :
1. Kafir, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman dalam surat Al Ma’idah : 44, (Artinya: "Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang kafir".)
2. Dhalim, Allah berfirman dalam surat Al Ma’idah : 45, (Artinya: "Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang dhalim").
3. Fasik, Allah berfirman dalam surat Al Maidah : 47 (Artinya : "Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang fasik").
Berkaitan dengan tiga ayat di atas, para ulama berbeda pendapat.
Pertama : Ada yang mengatakan, tiga penyebutan (sifat) pada tiga ayat tersebut ditujukan kepada satu pribadi. Sebab, orang kafir adalah juga orang yang dhalim, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
وَالْكَافِرُونَ هُمُ الظَّالِمُونَ
"Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang dhalim".[Al Baqarah:254].
Orang kafir adalah juga orang fasik, berdasarkan firmanNya:
وَأَمَّا الَّذِينَ فَسَقُوا فَمَأْوَاهُمُ النَّارُ
"Adapun orang-orang yang fasik, maka tempat kembali mereka adalah neraka" [As Sajdah:20].
Arti ‘fasaquu’ (orang-orang yang fasik dalam ayat ini) ialah orang-orang yang kafir.
Kedua : Adapula yang mengatakan, tiga penyebutan (sifat) tersebut diperuntukkan bagi tiga pribadi. Masing-masing sesuai dengan keadaan hukumnya, yaitu:
A. Seseorang akan menjadi kafir, jika mengalami salah satu diantara tiga keadaan berikut:
1. Jika meyakini bolehnya berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah, dengan dalil:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ
"Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki" [Al Ma’idah:50].
Setiap hukum yang menyelisihi hukum Allah, berarti merupakan hukum jahiliyah. Berdasarkan dalil ijma’ yang qath’i, tidak diperbolehkan berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah. Dengan demikian, orang yang menghalalkan dan memperbolehkan berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah, berarti menyelisihi ijma’ kaum muslimin yang qath’i. Berarti ia kafir dan murtad. Keadaannya, seperti orang yang meyakini halalnya zina dan meminum khamr, atau meyakini haramnya roti atau susu.
2. Jika meyakini, bahwa hukum selain Allah sama baiknya dengan hukum Allah.
3. Jika meyakini, bahwa hukum selain Allah lebih baik dari hukum Allah.
Berdasarkan dalil firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
"Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" [Al Ma’idah:50].
Ayat ini mengandung ketetapan, sesungguhnya hukum Allah merupakan hukum terbaik, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ
"Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?" [At Tiin:8].
Apabila Allah merupakan hakim yang terbaik hukumnya (sebab Allah adalah Ahkamul Hakimin), maka barangsiapa yang mengklaim, bahwa hukum selain Allah sama baiknya dengan hukum Allah, atau bahkan lebih baik lagi, berarti ia telah kafir, sebab ia tidak percaya kepada Al Qur’an.
B. Atau, seseorang hanya akan menjadi dhalim (tidak kafir) jika:
Meyakini, bahwa hukum yang diturunkan Allah adalah sebaik-baik hukum. Merupakan hukum yang paling bermanfaat bagi hamba dan negara, serta mestinya wajib diterapkan. Namun, karena kebencian dan kedengkian terhadap orang yang diadili, ia (orang yang menghakimi) menghukumi berdasarkan selain apa yang diturunkan Allah, maka ia dhalim.
C. Atau, seseorang hanya akan menjadi fasik (tidak kafir), jika:
Dia menerapkan hukum menurut hawa nafsunya. Misalnya, menghukum seseorang karena suap yang diterimanya, atau karena kerabat, sahabat. Atau karena ada sesuatu harapan di balik itu. Padahal ia meyakini, bahwa hukum Allah adalah yang terbaik dan wajib diikuti, maka ia fasik. Meskipun bisa juga dikatakan dhalim, namum sifat fasik lebih tepat bagi dirinya.
Diantara dua pendapat di atas, maka yang kuat adalah pendapat kedua. Yaitu, tiga penyebutan yang diberikan Allah (kafir, dhalim dan fasik) tersebut diperuntukkan bagi tiga pribadi. Masing-masing sesuai dengan keadaannya (bisa kafir, atau hanya dhalim, atau fasik, peny.).
Adapun bagi orang yang membuat undang-undang hukum lain -padahal ia mengetahui ada hukum Allah dan hukum buatannya ini menyelisihi hukum Allah- maka orang ini telah mengganti syari’at Allah dengan undang-undang buatannya. Berarti ia kafir. Sebab, dengan adanya undang-undang buatannya ini, tidaklah ia membenci syari’at Allah, melainkan karena pasti -ia yakini- bahwa undang-undang tersebut lebih baik bagi manusia dan negara dibanding syari’at Allah.
Meskipun kami mengatakan bahwa ia kafir (artinya, perbuatan itu bisa menyebabkan kekafiran), Akan tetapi bisa jadi si pembuat undang-undang tersebut ma’dzur (termaafkan). Karena, misalnya ia terpedaya. Umpamanya dikatakan kepadanya,‘Ini tidak menyalahi Islam’, atau ‘Ini termasuk mashalih mursalah’, atau ‘Ini termasuk masalah yang oleh Islam dikembalikan kepada manusia’. (Lihat hal. 266-269)
Selanjutnya, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam Kitab yang sama (hal. 271-272) berkata lagi:
Hendaknya difahami, bahwa seseorang wajib merasa takut kepada Allah (Rabb-nya) dalam menetapkan semua masalah hukum. Sehingga hendaknya, ia tidak terburu-buru menetapkan kepastian hukum, khususnya berkaitan dengan takfir (menjatuhkan hukum kafir terhadap seseorang). Suatu (penetapan hukum) yang kini menjadi mudah diucapkan oleh sebagian orang yang memiliki ghirah agama yang tinggi dan sangat emosional, tanpa berpikir jeli.
Padahal jika seseorang mengkafirkan orang lain, sedangkan orang lain itu tidak kafir, maka tuduhan kafir kembali kepada dirinya.
Mengkafirkan seseorang akan mengakibatkan banyak konsekwensi hukum. Diantaranya, orang yang dikafirkan menjadi halal darah dan hartanya. Begitu pula semua konsekwensi hukum kafir lainnya. Sebaliknya, kita tidak boleh pula takut mengkafirkan orang yang telah dikafirkan oleh Allah dan RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun tetapi wajib membedakan antara takfir mu’ayyan (mengkafirkan terhadap pribadi tertentu) dengan takfir ghairil mu’ayyan (mengkafirkan secara umum, tidak kepada pribadi tertentu).
Untuk mengkafirkan pribadi tertentu, membutuhkan dua hal:
Pertama : Ada ketetapan yang sudah jelas (berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah. Lihat Syarh Kasyfu Asy Syubuhat Fi At Tauhid, hal. 57). Bahwa sesuatu yang dilakukan oleh seseorang tertentu merupakan perbuatan yang benar-benar bersifat kekafiran.
Kedua : Syarat-syarat kekafiran atas dirinya sudah tepat. Diantara syaratnya yang terpenting, ialah ia faham, bahwa perbuatannya adalah mukaffir (menyebabkan ia kafir). Sehingga apabila ia tidak faham (jahil), maka ia tidak kafir. Karena itulah para ulama menyebutkan, diantara syarat pelaksanaan hukum hadd (pidana), hendaknya si terpidana memahami haramnya sesuatu yang dilakukannya. Ini berkaitan dengan pelaksanaan hukum hadd (pidana), bukan hukum mengkafirkan. Tentunya dalam masalah hukum mengkafirkan, maka yang lebih layak dan utama ialah harus lebih berhati-hati. Allah Subhanahu w Ta'ala berfirman:
لِئَلاَّ يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللهِ حُجَّةُُ بَعْدَ الرُّسُلِ
"Agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu". [An Nisa’:165].
وَمَاكُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً
"dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul". [Al Isra’:15].
وَمَاكَانَ اللهُ لِيُضِلَّ قَوْمًا بَعْدَ إِذْ هَدَاهُمْ حَتَّى يُبَيِّنَ لَهُم مَّايَتَّقُونَ
"Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskanNya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi". [At Taubah:115]
Disamping syarat-syarat takfir harus terpenuhi, penghalang-penghalangnya juga harus tidak ada. Sehingga, jika seseorang melakukan perbuatan yang bersifat kekafiran, namun karena adanya paksaan atau karena kebingungan, maka ia tidak menjadi kafir. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
مَن كَفَرَ بِاللهِ مِن بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِاْلإِيمَانِ
"Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)". [An Nahl:106].
Juga berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mengkisahkan tentang seseorang yang tengah putus asa kehilangan onta beserta seluruh perbekalannya di tengah padang sahara sendirian. Tiba-tiba onta beserta segala perbekalannya ditemukan kembali. Karena sangat gembiranya, ia sampai mengatakan : ‘Ya Allah, Engkau adalah hambaKu, dan aku adalah TuhanMu’. Dia keliru dalam berkata, disebabkan teramat gembiranya.
TENTANG BODOH (TIDAK MENGERTI), ADAKAH PELAKU KEKAFIRAN KARENA BODOH BISA TERMAAFKAN? [14]
Berkaitan dengan permasalahan pertanyaan ini, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah menyangsikan pernyataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah yang mengatakan : …… seseorang bisa kafir hanya karena suatu perkataan yang ia cetuskan melalui lidahnya. Padahal ia mengucapkannya dengan tidak mengerti (bodoh), ternyata ia tidak termaafkan karena ketidak-mengertian (kebodohan)nya itu.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata, “Saya tidak yakin bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah berpandangan kalau kebodohan (ketidak-mengertian) tidak termaafkan (menyebabkan kekafirannya), kecuali jika kebodohannya benar-benar diakibatkan karena enggan mempelajari kebenaran. Misalnya, jika seseorang pernah mendengar kebenaran, tetapi ia tidak mempedulikannya dan mengabaikan upaya mempelajarinya. Maka yang ini tentu tidak termaafkan kebodohannya. Mengapa saya tidak yakin hal itu dari Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah ?
Sebab, beliau mempunyai pernyataan lain yang menunjukkan, bahwa beliau berpandangan ada maaf bagi kebodohan.
Beliau pernah ditanya tentang sesuatu yang menyebabkan orang diperangi karenanya, dan tentang sesuatu yang menyebabkan orang dinyatakan kafir karenanya?
Beliau menjawab: Rukun Islam yang lima, diawali dengan dua kalimat syahadat. Kemudian dilanjutkan empat rukun lainnya. Empat rukun Islam itu, jika seseorang telah mengikrarkan (mengimani)nya, namun kemudian tidak mengamalkannya karena bermalas-malas. Maka, sekalipun kami memeranginya -sebab ia tidak mengerjakannya- tetapi kami tidak mengkafirkannya. Ulama berselisih pendapat tentang orang yang meninggalkan shalat karena malas, bukan karena juhud (ingkar). Dan kami tidak mengkafirkan, kecuali dalam hal yang sudah menjadi kesepakatan semua ulama (jika ditinggalkan), yaitu dua kalimat syahadat.
Selanjutnya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah memaparkan secara panjang lebar tentang perkataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab berkaitan dengan siapa-siapa orang yang dinyatakan kafir (secara umum) oleh beliau. Kemudian menukil perkataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab berikutnya: Adapun tentang tuduhan dusta dan bohong atas nama kami -ialah seperti perkataan mereka- bahwa kami mengkafirkan semua orang, mewajibkan orang bergabung dengan kami jika sudah mampu memperlihatkan agamanya. Atau (menuduh) kami (telah) menganggap kafir terhadap orang yang tidak mengkafirkan orang lain, atau tidak mau memerangi orang lain. Semua ini dan tuduhan-tuduhan lainnya yang lebih keji, hanyalah kedustaan dan kebohongan. Dimaksudkan untuk menghalangi umat agar tidak bisa memahami agama Allah dan RasulNya.
Jika kami tidak berani mengkafirkan orang yang menyembah patung di kuburan Abdul Qadir (Al Jailani) atau patung di kuburan Ahmad Al Badawi dan lain-lainnya -disebabkan oleh kebodohan (ketidak mengertian) mereka- maka bagaimana mungkin kami akan mengkafirkan orang yang tidak musyrik kepada Allah hanya karena tidak mau bergabung dengan kami, atau tidak mau mengkafirkan orang lain atau tidak mau memerangi orang lain?!.
سُبْحَانَكَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ
Maha suci Engkau Ya Allah!. Ini merupakan kedustaan yang besar… …
Selanjutnya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah mengatakan,”Perselisihan pendapat dalam masalah udzur bil jahli (termaafkan karena kebodohan), adalah seperti perselisihan fiqhiyah ijtihadiyah lainnya. Bisa jadi perselisihan itu hanya merupakan perselisihan lafdzi (redaksional) saja. Disebabkan berkaitan dengan penetapan hukum terhadap pribadi tertentu. Artinya, semua sepakat bahwa suatu perkataan tertentu adalah kufur, atau suatu perbuatan tertentu adalah kufur, atau meninggalkam perbuatan tertentu adalah kufur. Akan tetapi, tepatkah penetapan hukum kafir tersebut kepada seorang pribadi tertentu (mu’ayyan) dikarenakan syarat-syarat yang menuntut kekafirannya ada, sedangkan penghalangnya tidak ada? Ataukah penetapan hukum tersebut tidak dapat dikenakan kepadanya, karena sebagian syarat yang menuntut kekafirannya tidak ada, atau karena adanya sebagian penghalang?
Sebab, jahil (tidak mengerti, bodoh) terhadap perkara yang bersifat mengkafirkan terjadi karena dua macam sebab:
Pertama : Dari non muslim atau tidak beragama sama sekali, namun tidak pernah terlintas dalam benaknya, bahwa ada agama yang menyelisihi agama yang selama ini dianutnya. Maka orang semacam ini, berlaku hukum secara dhahir di dunia (yakni kafir). Adapun di akhirat, urusannya terserah kepada Allah l . Tetapi yang kuat, ia akan diuji di akhirat sesuai dengan kehendak Allah k . Allah-lah yang lebih mengetahui apa yang mereka kerjakan. Tetapi kita mengetahui, bahwa seseorang tidak akan masuk neraka kecuali disebabkan oleh suatu dosa, berdasarkan firman Allah:
وَلاَيَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا
"Dan Rabbmu tidak menganiaya seorang juapun". [Al-Kahfi : 49].
Kita katakan, hukumnya berlangsung secara dhahir baginya di dunia, yakni hukum kafir. Sebab ia tidak beragama Islam. Jadi tak mungkin ia dihukumi sebagai Islam. Kemudian, mengapa kita katakan bahwa pendapat yang kuat, ia akan diuji di akhirat? Sebab, banyak atsar yang menerangkan tentang itu yang dibawakan oleh Imam Ibnu Al Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Thariq Al Hijratain ketika beliau membahas madzhab ke 8 tentang bagaimana kedudukan anak-anaknya orang musyrik. Di bawah pembahasan tentang peringkat para mukallaf yang keempatbelas.
Kedua : Dari seseorang yang beragama Islam, tetapi ia hidup dengan melakukan perkara yang bersifat mengkafirkan. Namun tidak terlintas dalam benaknya, bahwa tindakannya menyimpang dari Islam, dan tidak pula ada seseorang yang mengingatkannya. Maka, berlakulah hukum Islam secara dhahir baginya (artinya, ia disebut muslim, pen.). Adapun di akhirat, urusannya terserah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Itu dibuktikan dengan Al Qur’an, Sunnah serta perkataan para ulama.”
Selanjutnya Syaikh memaparkan dalil-dalil dari ayat-ayat Al Qur’an, Sunnah dan perkataan Ulama, mulai dari Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah sampai Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab –rahimahumullah-. (Lihat hal. 52-55).
Seterusnya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata,“Jadi, pada asalnya orang yang menisbatkan diri sebagai Islam, tetap dalam keadaan Islam-nya, sampai terbukti secara jelas, bahwa Islam telah lenyap dari dirinya berdasarkan tuntutan dalil syar’i. Tidak boleh secara gegabah menyatakannya sebagai kafir. Sebab, disana terdapat dua resiko berat (yang harus dihadapi):
Pertama : Membuat kebohongan atas nama Allah dalam kaitannya dengan penetapan hukum. Dan membuat kebohongan terhadap orang yang dihukumi kafir dalam kaitannya dengan pembuatan julukan kafir terhadapnya.
Tentang bohong atas nama Allah, itu jelas, sebab ia menghukumi kafir terhadap seseorang yang tidak dikafirkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Jadi, seperti orang yang mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah. Sebab menetapkan hukum kafir atau tidak, hanya menjadi hak Allah Subhanahu wa Ta'ala saja , seperti juga hak menetapkan hukum haram atau halal.
Tentang membuat kebohongan terhadap orang yang dihukumi kafir, karena telah memberikan sifat kepada seorang muslim dengan sifat sebaliknya. Ia katakana, kafir. Padahal orang tersebut terlepas dari kekafiran.
Kedua : Pantaslah jika penyebutan (anggapan) kafir itu membalik (kembali) kepada dirinya. Berdasarkan riwayat yang terdapat dalam Shahih Muslim, dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu. Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
إِذَا كَفَّرَ الرَّجُلُ أَخَاهُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا –وفي رواية-: إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ
"Bila seseorang mengkafirkan saudaranya, maka kekafiran itu kembali pada salah seorang diantara keduanya. Dalam riwayat lain: jika benar tuduhannya..., kalau tidak, (maka) akan membalik kepada dirinya". [HR Muslim, Kitab Al Iman, Bab: Bayan Hali Man Qala Li’akhihi Ya Kafir]”
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin kemudian mengemukakan dalil lain yang senada, serta menjelaskan maksudnya (namun, di sini kami tidak menukilnya, pen.). Berikutnya beliau mengatakan.
“Itulah resiko besar kedua. Yakni kembalinya tuduhan itu kepada penuduh, jika saudaranya terbebas dari kekafiran. Ini merupakan resiko besar yang benar-benar dikhawatirkan akan mengenai orang seperti itu. Sebab pada umumnya, orang yang terburu-buru menyebut muslim sebagai kafir, kagum terhadap kegiatan amal dirinya dan meremehkan orang lain. Dengan demikian, bergabunglah dalam dirinya rasa kagum terhadap amal dirinya yang justeru dapat menghanguskannya, dengan kesombongan yang akan mengakibatkan datangnya azab Allah Azza wa Jalla di neraka. Sebagaimana telah diterangkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلََّ : الكِبْرِيَاءُ رِدَائِي وَالْعَظَمَةُ إِزَارِي، فَمَنْ نَازَعَنِي وَاحِدًا مِنْهُمَا قَذَفْتُهُ فِي النَّارِ
"Allah Azza wa Jalla berfirman,”Kesombongan adalah selendangKu dan keagungan adalah kainKu. Maka, barangsiapa yang ingin mengambil salah satunya dariKu, niscaya Aku akan melemparkannya ke dalam neraka".
PENUTUP
Demikianlah, pernyataan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin yang kami nukilkan secara bebas dan ringkas dari dua kitab beliau. Hendaknya seseorang jangan gegabah melakukan takfir (menjatuhkan hukum kafir kepada orang lain). Karena takfir merupakan hukum syar’i yang kembalinya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan, ketika ditanya tentang hukum mengkafirkan masyarakat, beliau menjawab:
"Tidaklah merupakan hak setiap orang untuk melontarkan takfir (menjatuhkan hukum kafir kepada orang lain), atau berbicara tentang takfir terhadap jama’ah atau individu. Takfir mempunyai pedoman-pedomannya. Barangsiapa yang melakukan satu pembatal diantara pembatal-pembatal Islam, maka ia dihukumi sebagai kafir.
Pembatal-pembatal Islam sudah diketahui. Yang paling besar ialah syirik kepada Allah Azza wa Jalla, mengaku mengetahui ilmu ghaib, dan berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah.
Allah berfirman,
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
"Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang kafir". [Al Ma’idah : 44].
Jadi persoalan takfir adalah persoalan yang berbahaya. Tidak boleh setiap orang berbicara melancarkan tuduhan kafir kepada orang lain. Persoalan ini merupakan wewenang mahkamah syar’iyah, wewenang para ahli ilmu (ulama) yang betul-betul memiliki kedalaman ilmu. Yaitu orang-orang yang memahami Islam, memahami pembatal-pembatal Islam, memahami keadaan-keadaan serta mempelajari situasi dan kondisi manusia dan masyarakat. Merekalah orang-orang yang memiliki hak untuk takfir (menjatuhkan hukum kafir kepada seseorang) dan hak-hak lainnya.
Adapun orang-orang bodoh, individu-individu umat serta orang-orang yang baru setengah-setengah dalam belajar, maka mereka tidak mempunyai hak untuk melancarkan tuduhan kafir kepada pribadi-pribadi, jama’ah-jama’ah atau negara-negara. Sebab, mereka tidak mempunyai keahlian dalam masalah hukum ini. (Lihat Al Muntaqa min Fatawa Fadhilat, Asy Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan I/111-112, jawaban soal no. 63). Demikian. Wa nas alullaha at taufiq.
Ya Allah, kembalikanlah kami dan mereka ke dalam naungan Engkau. Tunjukanlah ke jalan yang Engkau ridhai.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12//Tahun VI/1423H/2003M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Firaqun Mu’asharah Tantasibu Ilal Islam 1/88, karya Dr. Ghalib bin Ali Al ‘Awajiy
[2]. Lihat kisahnya dalam perdebatan Ibnu Abbas dengan mereka dalam buku Mengapa Memilih Manhaj Salaf, halaman 135-140
[3]. Diriwayatkan oleh Abu Daud.
[4]. Diriwayatkan oleh At Tirmidzi, no. 2926 dan Ibnu Majah dalam Muqaddimah, no.173
[5]. Semua penukilan perkataan Sayyid Quthub diambil dari makalah Syaikh Sa’ad Al Hushein dalam Majalah Al Ashalah, 35/VI/Sya’ban 1422H, halaman 30-32, yang berjudul Fitnah At Takfir.
[6]. Fi Dzilalil Qur’an 2/1057, Cetakan Darusy Syuruq.
[7]. Ibid.
[8]. Ma’alim Fi Thariq, hal.101, Cetakan Darusy Syuruq.
[9]. Fi Dzilalil Qur’an 2/1492, Cetakan Darusy Syuruq.
[10]. Ibid. 2/2122.
[10]. Ibid. 3/1492.
[11]. Diriwayatkan oleh At Tirmidzi, no.3463.
[12]. Mutafaqun ‘alaihi
[13] Dari Kitab Al Al Qaul Al Mufid ‘Ala Kitab At Tauhid, jilid II halaman 266-272.
[14] Syarh Kasyfu Asy Syubuhat (Wa Yalihi Syarh Al Ushul As Sittah), hal. 46-60, I’dad Fahd bin Nashir As Sulaiman, Daar Ats Tsurayya.]
Akhirnya, masa-masa yang ditunggupun tiba. Kaum muslimin hidup bergelimang dunia dan dosa. Kebodohan menjadi ciri mereka, menyebabkan keluar dan menyelisihi syariat. Tanpa sadar membuat kerusakan di bumi dan seisinya. Padahal sesuatu yang menyelisihi, pasti berbahaya; apalagi dalam permasalahan agama.
Kehinaan dan fitnah pun melanda kaum muslimin, sebagai konsekwensi akibat melanggar dan jauhnya mereka dari syariat RasulNya.
Allah berfirman,
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih". [An Nur:63].
Bermunculanlah penyakit dan fitnah dalam tubuh kaum muslimin. Membuat mereka bingung, sedih dan berpecah-belah. Semoga Allah mengembalikan dan mempersatukan kaum muslimin di atas ajaran agama Islam yang benar.
Diantara fitnah yang muncul dan sangat berbahaya dalam tubuh kaum muslimin, yaitu fitnah takfir. Takfir ialah vonis kafir terhadap orang lain yang menyimpang dari syari’at Islam. Fitnah ini berawal dari munculnya sekte Khawarij pada zaman Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu. Fitnah ini pernah mengguncang dunia Islam. Menumpahkan ribuan, bahkan jutaan darah kaum muslimin. Telah banyak harta dan jiwa yang dikorbankan kaum muslimin untuk meredam fitnah ini
Lihatlah, sejak pembunuhan khalifah dan menantu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam Utsman bin Affan Radhiyallahu 'anhu, disusul dengan terbunuhnya khalifah dan menantu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu, hingga pemberontakan mereka terhadap negara Islam Bani Umayyah dan Abbasiyah, serta negara-negara Islam hingga saat ini. Sehingga Dr. Ghalib bin Ali Al ‘Awajiy menyatakan,“Khawarij merupakan salah satu firqah besar yang melakukan revolusi berdarah dalam sejarah politik Islam. Mereka telah menyibukkan negara-negara Islam dalam waktu yang sangat panjang sekali.” [1]
Pertama kali muncul, mereka mencela sebaik-baiknya orang shalih waktu itu. Yaitu Khalifah Ali Radhiyallahu 'anhu. Bukanlah satu hal aneh, karena tokoh pertama mereka yang bernama Dzul Khuwaishirah telah mencela sebaik-baiknya makhluk Allah, yaitu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dikisahkan dalam riwayat dibawah ini :
أَنَّ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقْسِمُ قِسْمًا أَتَاهُ ذُو الْخُوَيْصِرَةِ وَهُوَ رَجُلٌ مِنْ بَنِي تَمِيمٍ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ اعْدِلْ فَقَالَ وَيْلَكَ وَمَنْ يَعْدِلُ إِذَا لَمْ أَعْدِلْ قَدْ خِبْتَ وَخَسِرْتَ إِنْ لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ فَقَالَ عُمَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ائْذَنْ لِي فِيهِ فَأَضْرِبَ عُنُقَهُ فَقَالَ دَعْهُ فَإِنَّ لَهُ أَصْحَابًا يَحْقِرُ أَحَدُكُمْ صَلَاتَهُ مَعَ صَلَاتِهِمْ وَصِيَامَهُ مَعَ صِيَامِهِمْ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ
"Sesungguhnya Abu Sa’id Al Khudri bercerita,”Ketika kami bersama Rasululluh Shallallahu 'alaihi wa sallam dan beliau membagi-bagikan sesuatu. Datanglah Dzul Khuwaishirah seorang yang berasal dari Bani Tamim kepada beliau, lalu berkata,’Wahai Rasulullah berbuat adillah!’ Lalu beliau menjawab,’Celaku kamu, siapakah yang berbuat adil, jika aku tidak berbuat adil? Engkau telah rugi dan celaka jika aku tidak adil’. Umar berkata,’Wahai Rasulullah izinkanlah aku memenggal lehernya’. Beliau menjawab,’Biarkan dia! Sesungguhnya dia memiliki pengikut. Salah seorang dari kalian akan meremehkan sholatnya dibanding sholat mereka dan puasanya dibanding puasa mereka. Mereka membaca Al Qur’an, tapi hanya ditenggorokan mereka saja. Mereka meninggalkan agama, sebagaimana anak panah keluar dari busurnya’.” [Mutafaqun alaihi].
Nampaklah, bahwa kemunculan Khawarij berawal dari persoalan harta dan penentangan terhadap pemimpin. Sungguh benar sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ
"Sesungguhnya setiap umat memiliki fitnah, dan fitnah umatku adalah harta".
Dzul Khuwaishirah menentang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan slogan keadilan. Menuntut keadilan, hak dan persamaan. Dia menuduh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berbuat tidak adil, sehingga menuntut Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan keadaan pengikutnya.
Tuduhan dan tuntutan seperti ini ditujukan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tentunya, kepada orang yang berada dibawah (sesudah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam), dari para penguasa dan wali amri kaum muslimin lebih gampang dan mudah bagi mereka menyampaikan tuntutannya. Ketika pengikut Dzul Khuwaishirah muncul pada zaman Ali bin Abi Thalib, juga karena persoalan harta dan penentangan mereka terhadap kebijakan Khalifah Ali Radhiyallahu 'anhu [2]. Setelah itu, mereka mengkafirkan pelaku dosa besar, menghalalkan darah dan harta kaum muslimin seluruhnya, kecuali anggota sektenya. Inilah yang melandasi pemberontakan mereka dan membunuh orang-orang yang tidak bersalah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan dalam haditsnya,
إِنَّ مِنْ ضِئْضِئِ هَذَا قَوْمًا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ الْإِسْلَامِ مُرُوقَ السَّهْمِ مِنْ الرَّمِيَّةِ يَقْتُلُونَ أَهْلَ الْإِسْلَامِ وَيَدَعُونَ أَهْلَ الْأَوْثَانِ لَئِنْ أَنَا أَدْرَكْتُهُمْ قَتَلْتُهُمْ قَتْلَ عَادٍ
"Sesungguhnya di belakang orang ini akan lahir satu kaum yangmembaca Al Qur’an, tetapi tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka lepas dari Islam, seperti lepasnya anak panah dari busurnya. Mereka membunuh kaum muslimin dan membiarkan penyembah berhala. Sungguh, jika aku mendapatkan mereka, niscaya aku bunuh mereka dengan cara pembunuhan kaum ‘Ad".[3]
Dan dalam riwayat yang lainnya:
هُمْ شَرُّ قَتْلَى قُتِلُوا تَحْتَ أَدِيمِ السَّمَاءِ
"Mereka adalah sejelek-jelek orang yang terbunuh di bawah langit" [4]
Kaum Khawarij ini diperangi kaum muslimin, hingga hampir hilang dari permukaan bumi. Memang, kumpulan mereka ini masih ada di beberapa tempat, seperti: di Oman, Maroko, Al Jazair dan Zanjibar. Diwakili oleh sekte Ibadhiyah. Meskipun demikian, pemikiran dan aqidah mereka masih eksis dan bertebaran di sekitar kaum muslimin. dan terkadang sebagian kaum muslimin tidak sadar memiliki pemikiran dan aqidah mereka ini.
Kemudian lebih dari seperempat abad yang lalu muncullah istilah takfir dan hijrah, ditandai dengan satu kejadian besar. Yaitu pembunuhan terhadap penulis kitab At Tafsir wal Mufassirun, Syaikh Muhammad Husein Adz Dzahabi.
Jamaah takfir wal hijrah ini dikatakan oleh para peniliti, sebagai bagian dari Jamaah Ikhwanul Muslimin. Mereka kecewa dengan sikap dan tindakan tokoh-tokoh pemimpin Ikhwanul Muslimin dengan peran mereka dalam politik negeri Mesir. Lalu mengangkat panji hakimiyah sebagai simbol pemisah kafir dan Islam. Pada akhirnya, mereka mengkafirkan seluruh kaum muslimin, baik penguasa maupun rakyatnya –tentu- kecuali anggota jamaah mereka.
Dari takfir ini, mereka melakukan pembunuhan, peledakan dan pelecehan hak para ulama serta kaum muslimin. Mereka mengambil pemikirannya berdasarkan tulisan dan pernyataan Sayyid Quthub yang telah menjadi imam dan pemikir sejatinya. Kita akan semakin jelas melihatnya, jika mencermati dan menelaah pemikiran Sayyid Quthub, salah seorang tokoh legendaries Jamaah Ikhwanul Muslimin. Mereka banyak menjadikan pemikiran tokoh intelektual ini dalam kaidah beragama. Memnyebabkan mereka menjadi orang yang cepat memvonis kafir terhadap orang lain. Mencela para ulama yang tidak cocok atau dianggap tidak sesuai dengan mereka. Hal ini tidaklah mengherankan. Karena orang yang telah terkena fitnah takfir, tentunya tidak lepas dari gaya penampilan para pendahulu mereka dari kalangan Khawarij. Beberapa pemikiran Sayyid Quthub tentang takfir, dapat diketahui besarnya bahaya yang muncul karenanya.
Tentang takfir ini [5], Sayyid Quthub mengkafirkan hampir seluruh kaum muslimin, termasuk para muadzin yang selalu melantunkan kalimat tauhid. Seperti ini dapat dilihat pada tulisan beliau. Diantara pernyataan beliau, ialah:
1. Manusia telah murtad kepada penyembahan makhluk (paganisme) dan kejahatan agama serta telah keluar dari Laa ilaha Illa Allah. Walaupun sebaian mereka masih selalu mengumandangkan Laa ilaha Illa Allah diatas tempat beradzan”.[6]
2. Manusia telah kembali kepada kejahiliyahan, dan keluar dari Laa ilaha Illa Allah … Manusia seluruhnya -termasuk orang–orang yang selalu mengumandangkan kalimat Laa ilaha illa Allah pada adzan-adzan di timur sampai barat bumi ini tanpa pengertian dan pembuktian nyata- bahkan mereka ini lebih berat dosa dan adzabnya pada hari kiamat; karena mereka telah murtad kepada penyembahan makhluk, setelah jelas bagi mereka petunjuk dan setelah mereka berada di agama Allah [7].
3. Masyarakat yang menganggap dirinya muslim masuk ke dalam lingkungan masyarakat jahiliyah, bukan karena meyakini uluhiyah kepada selain Allah. Bukan pula karena menunjukkan syi’ar-syi’ar peribadatan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala, akan tetapi mereka masuk ke dalam lingkup ini karena tidak beribadah kepada Allah saja dalam hukum-hukum kehidupannya.[8]
4. Orang yang tidak mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam hakimiyah –di semua zaman dan tempat- adalah orang-orang musyrik. Tidak mengeluarkan mereka dari kesyirikan ini, walaupun mereka berkeyakinan terhadap Laa ilaha illa Allah dan tidak pula syi’ar (peribadatan) yang mereka tujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.[9]
5. Di permukaan bumi ini, tidak ada satupun negara Islam dan tidak pula masyarakat muslim [10].
Sayyid Quthub mengkafirkan masyarakat kaum muslimin yang ada. Karena –masyarakat muslim itu- tidak menggunakan hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam mengatur kehidupan mereka. Akan tetapi, beliau mensifatkan penyembah berhala -dari kalangan kaum musyrikin- dengan pernyataannya: "Kesyirikan mereka yang hakiki bukanlah pada permasalahan ini -yaitu penyembahan berhala untuk mendekatkan diri dan meminta syafaat di hadapan Allah- dan tidak pula islamnya orang yang masuk Islam karena meninggalkan permohonan syafaat kepada para berhala tersebut".[11]
Perhatikanlah pernyataan beliau ini. Bukankah menyelisihi firman Allah Subhanahu wa Ta'ala berikut ini?
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أَمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan),"Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu," [An Nahl:36]
إِنَّ اللهَ لاَيَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَادُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَآءُ
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu", [An Nisa:48].
Bahkan para Rasul berdakwah mengajak kaumnya untuk tidak menyembah selain Allah Subhanahu wa Ta'ala dan menyatakan,
يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَالَكُم مِّنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ
"Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Ilah bagimu selainNya". [Al A’raf:59].
Kemudian kaum ‘Ad membantah ajakan nabi mereka dengan menyatakan,
قَالُوا أَجِئْتَنَا لِنَعْبُدَ اللهَ وَحْدَهُ وَنَذَرَ مَاكَانَ يَعْبُدُ ءَابَآؤُنَا فَأْتِنَا بِمَا تَعِدُنَآ إِن كُنتَ مِنَ الصَّادِقِينَ
"Mereka berkata,"Apakah kamu datang kepada kami, agar kami hanya menyembah Allah saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami, maka datangkanlah adzab yang kamu ancamkan kepada kami, jika kamu termasuk orang-orang yang benar." [Al A’raf:70].
Demikian juga kaum Nabi Nuh Alaihissallam, ketika didakwahi untuk tidak menyembah orang shalih yang diyakini dapat memberi syafaat dan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, mereka menyatakan,
وَقَالُوا لاَ تَذَرُنَّ ءَالِهَتَكُمْ وَلاَتَذَرُنَّ وَدًّا وَلاَسُوَاعًا وَلاَيَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا
"Dan mereka berkata,"Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) ilah-ilah kamu, dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwaa', yaghuts, ya'uq dan nasr," [Nuh:23].
Ternyata dakwah para Rasul ialah mengajak manusia menyembah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan menjauhi syirik dalam peribadatan, bukan syirik hakimiyah; tidak seperti yang mereka inginkan. Bahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menegaskan dalam pernyataan beliau :
يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ الْأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِي لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً
"Wahai Bani Adam, sesungguhnya jika kamu menjumpaiKu dengan membawa sepenuh bumi kesalahan, kemudian menjumpaiKu dalam keadaan tidak menyekutukanKu, sungguh Aku akan memberimu sepenuh pengampunan bumi" [12].
يَا مُعَاذُ أَتَدْرِي مَا حَقُّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ قَالَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا أَتَدْرِي مَا حَقُّهُمْ عَلَيْهِ قَالَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ أَنْ لَا يُعَذِّبَهُمْ
"Wahai Mu’adz, tahukah engkau, apa hak Allah atas hambaNya?Dia (Mu’adz) menjawab,“Allah dan RasulNya lebih mengetahui.” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,“MenyembahNya dan tidak menyekutukanNya. Apakah engkau tahu, apa hak mereka atas Allah?” Mu’adz menjawab,“Allah dan RasulNya lebih mengetahui.” Beliau menjawab,“Tidak mengadzab mereka.” [13]
Subhanallah! Seandainya memang benar perkataan dan pernyataan Sayyid Quthub ini, tentulah apa yang didakwahkan para Rasul tersebut tidak sesuai dengan kenyataan dan kebutuhan umat manusia. Ini sungguh kesalahan yang sangat fatal sekali.
Pemikiran takfir ini terus merebak di kalangan para pemuda kaum muslimin yang bersemangat. Sehingga, akibatnya mereka mengorbankan diri untuk meledakkan bom, merusak dan membunuh dengan dalih jihad suci melawan orang kafir. Bahkan lebih dari itu, mereka melecehkan para ulama dan mengkafirkannya. Lantaran para ulama itu tidak mengkafirkan orang yang telah kafir. Sungguh mengerikan akibat ditimbulkan dari pemikiran takfir ini.
Maka, sudah seharusnya kaum muslimin senantiasa waspada terhadap kembalinya pemikiran-pemikiran yang merusak ini. Yaitu dengan menuntut ilmu agama dari para ulama, dan tidak tergesa-gesa memvonis kafir (takfir) terhadap orang lain, serta senantiasa menyerahkan permasalahan kepada ahlinya.
PERNYATAAN SYAIKH MUHAMMAD BIN SHALIH AL 'UTSAIMIN RAHIMAHULLAH
TENTANG TAKFIR
Takfir, satu perkara yang sangat mendasar. Rasulullah SAW mengingatkan kita untuk tidak mudah menuduh kafir kepada saudaranya. Sebab, bila tuduhan kafir tersebut tidak benar, maka akan berbalik kepada yang menuduh. Berikut, kami sampaikan pendapat Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin tentang takfir.
Semoga dapat menambah pengetahuan dan pemahaman kita terhadap urgensi takfir. Disadur dari dua kitab Beliau rahimahullah, yaitu : Kitab Al Al Qaul Al Mufid ‘Ala Kitab At Tauhid dan Syarh Kasyfu Asy Syubuhat (Wa Yalihi Syarh Al Ushul As Sittah).
_______________________________________________________
ORANG-ORANG YANG BERHUKUM TIDAK DENGAN APA YANG DITURUNKAN ALLAH [13]
Tentang orang-orang yang berhukum tidak dengan hukum yang diturunkan Allah, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah mengatakan, bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan tiga penyebutan, yaitu :
1. Kafir, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman dalam surat Al Ma’idah : 44, (Artinya: "Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang kafir".)
2. Dhalim, Allah berfirman dalam surat Al Ma’idah : 45, (Artinya: "Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang dhalim").
3. Fasik, Allah berfirman dalam surat Al Maidah : 47 (Artinya : "Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang fasik").
Berkaitan dengan tiga ayat di atas, para ulama berbeda pendapat.
Pertama : Ada yang mengatakan, tiga penyebutan (sifat) pada tiga ayat tersebut ditujukan kepada satu pribadi. Sebab, orang kafir adalah juga orang yang dhalim, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
وَالْكَافِرُونَ هُمُ الظَّالِمُونَ
"Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang dhalim".[Al Baqarah:254].
Orang kafir adalah juga orang fasik, berdasarkan firmanNya:
وَأَمَّا الَّذِينَ فَسَقُوا فَمَأْوَاهُمُ النَّارُ
"Adapun orang-orang yang fasik, maka tempat kembali mereka adalah neraka" [As Sajdah:20].
Arti ‘fasaquu’ (orang-orang yang fasik dalam ayat ini) ialah orang-orang yang kafir.
Kedua : Adapula yang mengatakan, tiga penyebutan (sifat) tersebut diperuntukkan bagi tiga pribadi. Masing-masing sesuai dengan keadaan hukumnya, yaitu:
A. Seseorang akan menjadi kafir, jika mengalami salah satu diantara tiga keadaan berikut:
1. Jika meyakini bolehnya berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah, dengan dalil:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ
"Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki" [Al Ma’idah:50].
Setiap hukum yang menyelisihi hukum Allah, berarti merupakan hukum jahiliyah. Berdasarkan dalil ijma’ yang qath’i, tidak diperbolehkan berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah. Dengan demikian, orang yang menghalalkan dan memperbolehkan berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah, berarti menyelisihi ijma’ kaum muslimin yang qath’i. Berarti ia kafir dan murtad. Keadaannya, seperti orang yang meyakini halalnya zina dan meminum khamr, atau meyakini haramnya roti atau susu.
2. Jika meyakini, bahwa hukum selain Allah sama baiknya dengan hukum Allah.
3. Jika meyakini, bahwa hukum selain Allah lebih baik dari hukum Allah.
Berdasarkan dalil firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
"Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" [Al Ma’idah:50].
Ayat ini mengandung ketetapan, sesungguhnya hukum Allah merupakan hukum terbaik, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ
"Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?" [At Tiin:8].
Apabila Allah merupakan hakim yang terbaik hukumnya (sebab Allah adalah Ahkamul Hakimin), maka barangsiapa yang mengklaim, bahwa hukum selain Allah sama baiknya dengan hukum Allah, atau bahkan lebih baik lagi, berarti ia telah kafir, sebab ia tidak percaya kepada Al Qur’an.
B. Atau, seseorang hanya akan menjadi dhalim (tidak kafir) jika:
Meyakini, bahwa hukum yang diturunkan Allah adalah sebaik-baik hukum. Merupakan hukum yang paling bermanfaat bagi hamba dan negara, serta mestinya wajib diterapkan. Namun, karena kebencian dan kedengkian terhadap orang yang diadili, ia (orang yang menghakimi) menghukumi berdasarkan selain apa yang diturunkan Allah, maka ia dhalim.
C. Atau, seseorang hanya akan menjadi fasik (tidak kafir), jika:
Dia menerapkan hukum menurut hawa nafsunya. Misalnya, menghukum seseorang karena suap yang diterimanya, atau karena kerabat, sahabat. Atau karena ada sesuatu harapan di balik itu. Padahal ia meyakini, bahwa hukum Allah adalah yang terbaik dan wajib diikuti, maka ia fasik. Meskipun bisa juga dikatakan dhalim, namum sifat fasik lebih tepat bagi dirinya.
Diantara dua pendapat di atas, maka yang kuat adalah pendapat kedua. Yaitu, tiga penyebutan yang diberikan Allah (kafir, dhalim dan fasik) tersebut diperuntukkan bagi tiga pribadi. Masing-masing sesuai dengan keadaannya (bisa kafir, atau hanya dhalim, atau fasik, peny.).
Adapun bagi orang yang membuat undang-undang hukum lain -padahal ia mengetahui ada hukum Allah dan hukum buatannya ini menyelisihi hukum Allah- maka orang ini telah mengganti syari’at Allah dengan undang-undang buatannya. Berarti ia kafir. Sebab, dengan adanya undang-undang buatannya ini, tidaklah ia membenci syari’at Allah, melainkan karena pasti -ia yakini- bahwa undang-undang tersebut lebih baik bagi manusia dan negara dibanding syari’at Allah.
Meskipun kami mengatakan bahwa ia kafir (artinya, perbuatan itu bisa menyebabkan kekafiran), Akan tetapi bisa jadi si pembuat undang-undang tersebut ma’dzur (termaafkan). Karena, misalnya ia terpedaya. Umpamanya dikatakan kepadanya,‘Ini tidak menyalahi Islam’, atau ‘Ini termasuk mashalih mursalah’, atau ‘Ini termasuk masalah yang oleh Islam dikembalikan kepada manusia’. (Lihat hal. 266-269)
Selanjutnya, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam Kitab yang sama (hal. 271-272) berkata lagi:
Hendaknya difahami, bahwa seseorang wajib merasa takut kepada Allah (Rabb-nya) dalam menetapkan semua masalah hukum. Sehingga hendaknya, ia tidak terburu-buru menetapkan kepastian hukum, khususnya berkaitan dengan takfir (menjatuhkan hukum kafir terhadap seseorang). Suatu (penetapan hukum) yang kini menjadi mudah diucapkan oleh sebagian orang yang memiliki ghirah agama yang tinggi dan sangat emosional, tanpa berpikir jeli.
Padahal jika seseorang mengkafirkan orang lain, sedangkan orang lain itu tidak kafir, maka tuduhan kafir kembali kepada dirinya.
Mengkafirkan seseorang akan mengakibatkan banyak konsekwensi hukum. Diantaranya, orang yang dikafirkan menjadi halal darah dan hartanya. Begitu pula semua konsekwensi hukum kafir lainnya. Sebaliknya, kita tidak boleh pula takut mengkafirkan orang yang telah dikafirkan oleh Allah dan RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun tetapi wajib membedakan antara takfir mu’ayyan (mengkafirkan terhadap pribadi tertentu) dengan takfir ghairil mu’ayyan (mengkafirkan secara umum, tidak kepada pribadi tertentu).
Untuk mengkafirkan pribadi tertentu, membutuhkan dua hal:
Pertama : Ada ketetapan yang sudah jelas (berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah. Lihat Syarh Kasyfu Asy Syubuhat Fi At Tauhid, hal. 57). Bahwa sesuatu yang dilakukan oleh seseorang tertentu merupakan perbuatan yang benar-benar bersifat kekafiran.
Kedua : Syarat-syarat kekafiran atas dirinya sudah tepat. Diantara syaratnya yang terpenting, ialah ia faham, bahwa perbuatannya adalah mukaffir (menyebabkan ia kafir). Sehingga apabila ia tidak faham (jahil), maka ia tidak kafir. Karena itulah para ulama menyebutkan, diantara syarat pelaksanaan hukum hadd (pidana), hendaknya si terpidana memahami haramnya sesuatu yang dilakukannya. Ini berkaitan dengan pelaksanaan hukum hadd (pidana), bukan hukum mengkafirkan. Tentunya dalam masalah hukum mengkafirkan, maka yang lebih layak dan utama ialah harus lebih berhati-hati. Allah Subhanahu w Ta'ala berfirman:
لِئَلاَّ يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللهِ حُجَّةُُ بَعْدَ الرُّسُلِ
"Agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu". [An Nisa’:165].
وَمَاكُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً
"dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul". [Al Isra’:15].
وَمَاكَانَ اللهُ لِيُضِلَّ قَوْمًا بَعْدَ إِذْ هَدَاهُمْ حَتَّى يُبَيِّنَ لَهُم مَّايَتَّقُونَ
"Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskanNya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi". [At Taubah:115]
Disamping syarat-syarat takfir harus terpenuhi, penghalang-penghalangnya juga harus tidak ada. Sehingga, jika seseorang melakukan perbuatan yang bersifat kekafiran, namun karena adanya paksaan atau karena kebingungan, maka ia tidak menjadi kafir. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
مَن كَفَرَ بِاللهِ مِن بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِاْلإِيمَانِ
"Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)". [An Nahl:106].
Juga berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mengkisahkan tentang seseorang yang tengah putus asa kehilangan onta beserta seluruh perbekalannya di tengah padang sahara sendirian. Tiba-tiba onta beserta segala perbekalannya ditemukan kembali. Karena sangat gembiranya, ia sampai mengatakan : ‘Ya Allah, Engkau adalah hambaKu, dan aku adalah TuhanMu’. Dia keliru dalam berkata, disebabkan teramat gembiranya.
TENTANG BODOH (TIDAK MENGERTI), ADAKAH PELAKU KEKAFIRAN KARENA BODOH BISA TERMAAFKAN? [14]
Berkaitan dengan permasalahan pertanyaan ini, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah menyangsikan pernyataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah yang mengatakan : …… seseorang bisa kafir hanya karena suatu perkataan yang ia cetuskan melalui lidahnya. Padahal ia mengucapkannya dengan tidak mengerti (bodoh), ternyata ia tidak termaafkan karena ketidak-mengertian (kebodohan)nya itu.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata, “Saya tidak yakin bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah berpandangan kalau kebodohan (ketidak-mengertian) tidak termaafkan (menyebabkan kekafirannya), kecuali jika kebodohannya benar-benar diakibatkan karena enggan mempelajari kebenaran. Misalnya, jika seseorang pernah mendengar kebenaran, tetapi ia tidak mempedulikannya dan mengabaikan upaya mempelajarinya. Maka yang ini tentu tidak termaafkan kebodohannya. Mengapa saya tidak yakin hal itu dari Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah ?
Sebab, beliau mempunyai pernyataan lain yang menunjukkan, bahwa beliau berpandangan ada maaf bagi kebodohan.
Beliau pernah ditanya tentang sesuatu yang menyebabkan orang diperangi karenanya, dan tentang sesuatu yang menyebabkan orang dinyatakan kafir karenanya?
Beliau menjawab: Rukun Islam yang lima, diawali dengan dua kalimat syahadat. Kemudian dilanjutkan empat rukun lainnya. Empat rukun Islam itu, jika seseorang telah mengikrarkan (mengimani)nya, namun kemudian tidak mengamalkannya karena bermalas-malas. Maka, sekalipun kami memeranginya -sebab ia tidak mengerjakannya- tetapi kami tidak mengkafirkannya. Ulama berselisih pendapat tentang orang yang meninggalkan shalat karena malas, bukan karena juhud (ingkar). Dan kami tidak mengkafirkan, kecuali dalam hal yang sudah menjadi kesepakatan semua ulama (jika ditinggalkan), yaitu dua kalimat syahadat.
Selanjutnya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah memaparkan secara panjang lebar tentang perkataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab berkaitan dengan siapa-siapa orang yang dinyatakan kafir (secara umum) oleh beliau. Kemudian menukil perkataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab berikutnya: Adapun tentang tuduhan dusta dan bohong atas nama kami -ialah seperti perkataan mereka- bahwa kami mengkafirkan semua orang, mewajibkan orang bergabung dengan kami jika sudah mampu memperlihatkan agamanya. Atau (menuduh) kami (telah) menganggap kafir terhadap orang yang tidak mengkafirkan orang lain, atau tidak mau memerangi orang lain. Semua ini dan tuduhan-tuduhan lainnya yang lebih keji, hanyalah kedustaan dan kebohongan. Dimaksudkan untuk menghalangi umat agar tidak bisa memahami agama Allah dan RasulNya.
Jika kami tidak berani mengkafirkan orang yang menyembah patung di kuburan Abdul Qadir (Al Jailani) atau patung di kuburan Ahmad Al Badawi dan lain-lainnya -disebabkan oleh kebodohan (ketidak mengertian) mereka- maka bagaimana mungkin kami akan mengkafirkan orang yang tidak musyrik kepada Allah hanya karena tidak mau bergabung dengan kami, atau tidak mau mengkafirkan orang lain atau tidak mau memerangi orang lain?!.
سُبْحَانَكَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ
Maha suci Engkau Ya Allah!. Ini merupakan kedustaan yang besar… …
Selanjutnya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah mengatakan,”Perselisihan pendapat dalam masalah udzur bil jahli (termaafkan karena kebodohan), adalah seperti perselisihan fiqhiyah ijtihadiyah lainnya. Bisa jadi perselisihan itu hanya merupakan perselisihan lafdzi (redaksional) saja. Disebabkan berkaitan dengan penetapan hukum terhadap pribadi tertentu. Artinya, semua sepakat bahwa suatu perkataan tertentu adalah kufur, atau suatu perbuatan tertentu adalah kufur, atau meninggalkam perbuatan tertentu adalah kufur. Akan tetapi, tepatkah penetapan hukum kafir tersebut kepada seorang pribadi tertentu (mu’ayyan) dikarenakan syarat-syarat yang menuntut kekafirannya ada, sedangkan penghalangnya tidak ada? Ataukah penetapan hukum tersebut tidak dapat dikenakan kepadanya, karena sebagian syarat yang menuntut kekafirannya tidak ada, atau karena adanya sebagian penghalang?
Sebab, jahil (tidak mengerti, bodoh) terhadap perkara yang bersifat mengkafirkan terjadi karena dua macam sebab:
Pertama : Dari non muslim atau tidak beragama sama sekali, namun tidak pernah terlintas dalam benaknya, bahwa ada agama yang menyelisihi agama yang selama ini dianutnya. Maka orang semacam ini, berlaku hukum secara dhahir di dunia (yakni kafir). Adapun di akhirat, urusannya terserah kepada Allah l . Tetapi yang kuat, ia akan diuji di akhirat sesuai dengan kehendak Allah k . Allah-lah yang lebih mengetahui apa yang mereka kerjakan. Tetapi kita mengetahui, bahwa seseorang tidak akan masuk neraka kecuali disebabkan oleh suatu dosa, berdasarkan firman Allah:
وَلاَيَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا
"Dan Rabbmu tidak menganiaya seorang juapun". [Al-Kahfi : 49].
Kita katakan, hukumnya berlangsung secara dhahir baginya di dunia, yakni hukum kafir. Sebab ia tidak beragama Islam. Jadi tak mungkin ia dihukumi sebagai Islam. Kemudian, mengapa kita katakan bahwa pendapat yang kuat, ia akan diuji di akhirat? Sebab, banyak atsar yang menerangkan tentang itu yang dibawakan oleh Imam Ibnu Al Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Thariq Al Hijratain ketika beliau membahas madzhab ke 8 tentang bagaimana kedudukan anak-anaknya orang musyrik. Di bawah pembahasan tentang peringkat para mukallaf yang keempatbelas.
Kedua : Dari seseorang yang beragama Islam, tetapi ia hidup dengan melakukan perkara yang bersifat mengkafirkan. Namun tidak terlintas dalam benaknya, bahwa tindakannya menyimpang dari Islam, dan tidak pula ada seseorang yang mengingatkannya. Maka, berlakulah hukum Islam secara dhahir baginya (artinya, ia disebut muslim, pen.). Adapun di akhirat, urusannya terserah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Itu dibuktikan dengan Al Qur’an, Sunnah serta perkataan para ulama.”
Selanjutnya Syaikh memaparkan dalil-dalil dari ayat-ayat Al Qur’an, Sunnah dan perkataan Ulama, mulai dari Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah sampai Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab –rahimahumullah-. (Lihat hal. 52-55).
Seterusnya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata,“Jadi, pada asalnya orang yang menisbatkan diri sebagai Islam, tetap dalam keadaan Islam-nya, sampai terbukti secara jelas, bahwa Islam telah lenyap dari dirinya berdasarkan tuntutan dalil syar’i. Tidak boleh secara gegabah menyatakannya sebagai kafir. Sebab, disana terdapat dua resiko berat (yang harus dihadapi):
Pertama : Membuat kebohongan atas nama Allah dalam kaitannya dengan penetapan hukum. Dan membuat kebohongan terhadap orang yang dihukumi kafir dalam kaitannya dengan pembuatan julukan kafir terhadapnya.
Tentang bohong atas nama Allah, itu jelas, sebab ia menghukumi kafir terhadap seseorang yang tidak dikafirkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Jadi, seperti orang yang mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah. Sebab menetapkan hukum kafir atau tidak, hanya menjadi hak Allah Subhanahu wa Ta'ala saja , seperti juga hak menetapkan hukum haram atau halal.
Tentang membuat kebohongan terhadap orang yang dihukumi kafir, karena telah memberikan sifat kepada seorang muslim dengan sifat sebaliknya. Ia katakana, kafir. Padahal orang tersebut terlepas dari kekafiran.
Kedua : Pantaslah jika penyebutan (anggapan) kafir itu membalik (kembali) kepada dirinya. Berdasarkan riwayat yang terdapat dalam Shahih Muslim, dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu. Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
إِذَا كَفَّرَ الرَّجُلُ أَخَاهُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا –وفي رواية-: إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ
"Bila seseorang mengkafirkan saudaranya, maka kekafiran itu kembali pada salah seorang diantara keduanya. Dalam riwayat lain: jika benar tuduhannya..., kalau tidak, (maka) akan membalik kepada dirinya". [HR Muslim, Kitab Al Iman, Bab: Bayan Hali Man Qala Li’akhihi Ya Kafir]”
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin kemudian mengemukakan dalil lain yang senada, serta menjelaskan maksudnya (namun, di sini kami tidak menukilnya, pen.). Berikutnya beliau mengatakan.
“Itulah resiko besar kedua. Yakni kembalinya tuduhan itu kepada penuduh, jika saudaranya terbebas dari kekafiran. Ini merupakan resiko besar yang benar-benar dikhawatirkan akan mengenai orang seperti itu. Sebab pada umumnya, orang yang terburu-buru menyebut muslim sebagai kafir, kagum terhadap kegiatan amal dirinya dan meremehkan orang lain. Dengan demikian, bergabunglah dalam dirinya rasa kagum terhadap amal dirinya yang justeru dapat menghanguskannya, dengan kesombongan yang akan mengakibatkan datangnya azab Allah Azza wa Jalla di neraka. Sebagaimana telah diterangkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلََّ : الكِبْرِيَاءُ رِدَائِي وَالْعَظَمَةُ إِزَارِي، فَمَنْ نَازَعَنِي وَاحِدًا مِنْهُمَا قَذَفْتُهُ فِي النَّارِ
"Allah Azza wa Jalla berfirman,”Kesombongan adalah selendangKu dan keagungan adalah kainKu. Maka, barangsiapa yang ingin mengambil salah satunya dariKu, niscaya Aku akan melemparkannya ke dalam neraka".
PENUTUP
Demikianlah, pernyataan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin yang kami nukilkan secara bebas dan ringkas dari dua kitab beliau. Hendaknya seseorang jangan gegabah melakukan takfir (menjatuhkan hukum kafir kepada orang lain). Karena takfir merupakan hukum syar’i yang kembalinya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan, ketika ditanya tentang hukum mengkafirkan masyarakat, beliau menjawab:
"Tidaklah merupakan hak setiap orang untuk melontarkan takfir (menjatuhkan hukum kafir kepada orang lain), atau berbicara tentang takfir terhadap jama’ah atau individu. Takfir mempunyai pedoman-pedomannya. Barangsiapa yang melakukan satu pembatal diantara pembatal-pembatal Islam, maka ia dihukumi sebagai kafir.
Pembatal-pembatal Islam sudah diketahui. Yang paling besar ialah syirik kepada Allah Azza wa Jalla, mengaku mengetahui ilmu ghaib, dan berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah.
Allah berfirman,
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
"Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang kafir". [Al Ma’idah : 44].
Jadi persoalan takfir adalah persoalan yang berbahaya. Tidak boleh setiap orang berbicara melancarkan tuduhan kafir kepada orang lain. Persoalan ini merupakan wewenang mahkamah syar’iyah, wewenang para ahli ilmu (ulama) yang betul-betul memiliki kedalaman ilmu. Yaitu orang-orang yang memahami Islam, memahami pembatal-pembatal Islam, memahami keadaan-keadaan serta mempelajari situasi dan kondisi manusia dan masyarakat. Merekalah orang-orang yang memiliki hak untuk takfir (menjatuhkan hukum kafir kepada seseorang) dan hak-hak lainnya.
Adapun orang-orang bodoh, individu-individu umat serta orang-orang yang baru setengah-setengah dalam belajar, maka mereka tidak mempunyai hak untuk melancarkan tuduhan kafir kepada pribadi-pribadi, jama’ah-jama’ah atau negara-negara. Sebab, mereka tidak mempunyai keahlian dalam masalah hukum ini. (Lihat Al Muntaqa min Fatawa Fadhilat, Asy Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan I/111-112, jawaban soal no. 63). Demikian. Wa nas alullaha at taufiq.
Ya Allah, kembalikanlah kami dan mereka ke dalam naungan Engkau. Tunjukanlah ke jalan yang Engkau ridhai.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12//Tahun VI/1423H/2003M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Firaqun Mu’asharah Tantasibu Ilal Islam 1/88, karya Dr. Ghalib bin Ali Al ‘Awajiy
[2]. Lihat kisahnya dalam perdebatan Ibnu Abbas dengan mereka dalam buku Mengapa Memilih Manhaj Salaf, halaman 135-140
[3]. Diriwayatkan oleh Abu Daud.
[4]. Diriwayatkan oleh At Tirmidzi, no. 2926 dan Ibnu Majah dalam Muqaddimah, no.173
[5]. Semua penukilan perkataan Sayyid Quthub diambil dari makalah Syaikh Sa’ad Al Hushein dalam Majalah Al Ashalah, 35/VI/Sya’ban 1422H, halaman 30-32, yang berjudul Fitnah At Takfir.
[6]. Fi Dzilalil Qur’an 2/1057, Cetakan Darusy Syuruq.
[7]. Ibid.
[8]. Ma’alim Fi Thariq, hal.101, Cetakan Darusy Syuruq.
[9]. Fi Dzilalil Qur’an 2/1492, Cetakan Darusy Syuruq.
[10]. Ibid. 2/2122.
[10]. Ibid. 3/1492.
[11]. Diriwayatkan oleh At Tirmidzi, no.3463.
[12]. Mutafaqun ‘alaihi
[13] Dari Kitab Al Al Qaul Al Mufid ‘Ala Kitab At Tauhid, jilid II halaman 266-272.
[14] Syarh Kasyfu Asy Syubuhat (Wa Yalihi Syarh Al Ushul As Sittah), hal. 46-60, I’dad Fahd bin Nashir As Sulaiman, Daar Ats Tsurayya.]
Senin, 22 Maret 2010
القِسْطَاسُ فِيْ عِلْمِ الْعَرُوْضِ الزَّمَخْشَرِيّ.
بسم الله الرحمن الرحيم
ربّ يّسرْ، بفضلك، وكرمك.
قال الشيخ الإمام الأجلّ العَلَّامة، جار الله، فخرُ خوَارزم، أبو القاسم، محمود بن عمر الزمخشريّ، رحمه الله تعالى: أسألُ الله الذي عَدَّلَ موازينَ قِسطِه، وعايرَ مكاييل قَبضِه وبسِطِه، ودعا في كتابه بالويل، على المطفّفين في الكيل، وكره لعباده السَّرَف والبخس، وحظر عليهم الشطط والوكس، أن يحملني على السَّويَّةِ فيما أُورد وأُصْدِرُ، والاقتصاد فيما آتي وأذرُ. ويأخذَ بيدي، إلى وزن الأمور بميزان العقل السليم، فإنه المعيار المعتدل والقسطاس المستقيم، حتى أكون من القائمين على الحق وبه، والذاهبين عن الصواب وإليه. وأحمده، وأصلّي على خير خلقه، محمدٍ، وآله، وعلى الذين انتهجوا منهجهم في بدء الأمر ومآله.
أعلم أنَّ أصناف العلوم الأدبية ترتقي إلى اثني عشر صنفاً: الأول: علم اللغة.
والثاني: علم الأبنية.
والثالث: علم الاشتقاق.
والرابع: علم الإِعراب.
والخامس: علم المعاني.
والسادس: علم البيان.
والسابع: علم العروض.
والثامن: علم القوافي.
والتاسع: إنشاء النثر.
والعاشر: قرض الشعر.
والحادي عشر: علم الكتابة.
والثاني عشر: المحاضرات.
ولَعَهدي بهذه الأصناف لا يُسمَعُ لها صدًى، ولا تُرى لها عينٌ ولا أثر، فيما بين أهل بلادنا، وساكنه ديارنا. اللهمَّ إلاَّ متنَ اللغةِ، هكذا غُفلاً لا يَسِمهُ التحقيق، وعرياناً لا يُشمل بالإتقان، إلى أن قيَّضَ اللهُ للعَمَى أن تنكشف ضبابته، وللجهل أن تنقشع ربابته، بيُمن نَقيبةِ سيّدنا ومولانا، الإِمام الأستاذ الرئيس الأجلّ، فريدِ العصر، فخرِ العرب والعجم، جمالِ الزمان، نجمِ الدّين، أدام الله عزَّ الفضلِ وأهلهِ، بإطالة بقائه، وإدامة علائه. لا جرَمَ أنه فتح الأبواب إلى تلك الفضائل، ورفع الحجب دون أولئك المناقب، مُفهِمّاً ومُوقِفّاً، ومُرشداً ومطرّفاً، ومُرشّحاً ومُرغبّاً. حتى أنهجتِ المسالكُ، واتلأبَّتِ الأساليب، وهزَّ الأدبُ مَناكبَه، وأرخى الفضل ذوائبه، وغادر بذلك آثاراً أبقى من المسند لا ينمحي رقمُها، ولا ينطمس رسمهُا. فمتى تفوَّهنا بحرف من الأصناف المعدودة فهو التقاط من ذلك المعدِن، واستقاء من ذلك المَصبّ.
وقد لاحت لي، ببركات الانتماء إلى حَضْرته، ومَيامن الانضواء إلى سُدَّتِه، طريقةٌ في باب العروض عذراء، ما أظنُّها وُطئت قبلي. فعمدتُ إلى تحرير هذه النسخة منها، وأوفدتُها على مجلسه العالي، لأفّخِمَ شأنها، وأعلي مكانها، بمدّ يده إِليها، واطّلاِع عينه عليها. فإنه شريعة للفضائل يُحام حواليها، ومدينة للعلوم والآداب يهاجَرُ إليها.
فصل
أُقدّمُ، بين يدي الخوض فيما أنا بصدده، مقدّمةً. وهي أنَّ بناء الشعر العربي على الوزن المُخترعِ، الخارج عن بحور شعر العرب، لا يَقدحُ في كونه شعراً عندَ بعضهم. وبعضُهم أبى ذلك، وزعم أنه لا يكون شعراً حتى يُحامَى فيه وزن من أوزانهم.
والذي ينصر المذهب الأول هو أن حَدَّ الشعر لفظٌ، موزونٌ، مقفّى، يدلّ على معنى. فهذه أربعة أشياء: اللفظ، المعنى، الوزن، القافية. فاللفظ وحده هو الذي يقع فيه الاختلاف بين العرب والعجم. فإنَّ العربيّ يأتي به عربيّاً، والعجميّ يأتي به عجميّاً. وأما الثلاثة الأُخر فالأمر فيها على التَّساوي بين الأمم قاطبة. ألا ترى أنا لو علمنا قصيدة على قافية، لم يُقَفّ بِها أحدٌ من شعراء العرب، ساغ ذلك مساغاً لا مجالَ فيه للإِنكار.
وكذلك لو اخترعنا معاني، لم يسبقونا إليها، لم يكن بنا بأس، بل يُعدّ ذلك من جملة المزايا وذلك لأن الأمم عن آخرها متساوية بالنسبة إلى المعاني والقوافي والافتنان فيها، لا اختصاص لها بأمة دون غيرها. فكذلك الوزنُ، لتساوي الناس في معرفته، والإحاطة بأن الشيئين إذا توازنا، وليس لأحدهما رُجحان على الآخر، فقد عادل هذا ذاك ككفَّتيِ الميزان.
ثم إنَّ من تعاطى التصنيف في العروض، من أهل هذا المذهب، فليس غرضه الذي يؤمّه أن يحصر الأوزان التي إذا بُني الشعر على غيرها لم يكن شعراً عربيّاً، وأنَّ ما يرجع إلى حديث الوزن مقصور على هذه البحور الستةَ عشرَ لا يتجاوزها. إنما الغرض حصر الأوزان التي قالت العرب عليها أشعارهَا. فليس تجاوز مقولاتها بمحظور في القياس، على ما ذكرت.
فصل أَسَاسُ الشِّعْرِ
أعلم أنّ أساس بناء الشعر شيئان: أحدهما مُركَّب من حرفين: إمَّا متحرّكٍ وساكنٍ، واسمه سَبَبٌ خفيفٌ، مثل لُنْ من فَعُولُنْ. وإمَّا متحرّكين، واسمه سببٌ ثقيل، مثل عَلَ من مُفاعَلَتُنْ.
والثاني مركَّب من ثلاثة أحرف: إمَّا متحرّكَين يتوسطهما ساكن، واسمه وَتدٌ مفروق، مثل لاتُ من مَفْعُولاتُ. وإمَّا متحرّكين يعَقبُهما ساكن، واسمه وَتِدٌ مجموع، مثل عِلُنْ من فاعِلُنْ.
وإذا اقترنَ السببان متقدّمِاً الثقيلُ منهما على الخفيف سُميَّ ذلك الفاصلةَ الصُّغرَى، مثل مُتَفا من مُتفاعِلُنْ. وإذا اقترن السبب الثقيل والوتد المجموع متقدّماً السبب على الوتد سُمَّي ذلك الفاصلةَ الكبرى، مثل فَعَلَتُنْ. ومنهم من سُمَّي الأولى فاصلة، والثانية فاضلة بالضاد المعجمة.
ثم إنه يَتركَّب منهما ثمانية أجزاء، تُسمَّى الأفاعيل والتَّفاعيل: اثنان منهما خماسيَّان، وستَّة سباعيّة. فأحد الخماسيين متركب من وتد مجموع، بعده سبب خفيف، وهو فَعُولُنْ. والثاني عكس هذا، أعني أنَّ سببه متقدّم على وتده، وهو فاعِلُنْ. ألا ترى أنك لو قلبت فعولن فقلت لُنْ فَعُو كان بوزن فاعلن. وكذلك لو قلبت فاعلن فقلت عِلُنْ فا كان بوزن فَعُولُنْ.
وأما السباعية فإنها على ثلاثة أصناف: منها ما هو متركب من سببين خفيفين ووتد مجموع، وهو ثلاثة أجزاء، وتسمى أركاناً أيضاً: أحدها سبباه متقدّمان على وتده المجموع، وهو مسَتْفعِلُنْ.
والثاني عكس هذا، أعني أن وتده متقدّم على سببيه، وهو مَفاعِيلُنْ. ألا ترى أنك لو قلت عِيْلُنْ مفا كان بوزن مُستَفْعِلُنْ. وكذلك لو قلت عِلُنْ مُسْتَفْ كان بوزن مَفاعِيلُنْ.
والثالث سبباه يكتنفان وتده، وهو فاعِلاتُنْ.
ومنها ما تركَّب من سببين: ثقيل وخفيف، وهو الذي يسمونه الفاصلة، ومن وتد مجموع. وهو جزءان: أحدهما وتده مقدّم على فاصلته، وهو مُفاعَلَتُنْ.
والثاني عكس هذا، أعني أن فاصلته متقدّمة على وتده، وهو مُتَفاعِلُنْ. ألا ترى أنك لو قلبت فقلت عِلُنْ مُتَفا وازنَ مُفاعَلَتُنْ. وكذلك لو قلت عَلَتُنْ مُفا وازنَ مُتَفاعِلُنْ.
ومنها ما تركَّب من سببين خفيفين ووتد مفروق، وهو مَفْعُولاتُ وحده.
فهذه هي الأصول التي بُنيَت أوزان العرب، عن آخرها، عليها، لا يشذّ منها شيء عنها. ولكلّ واحد من هذه الأصول فروع تتشعَّب منه.
ف فَعُولُنْ له ستة فروع: فَعُولُ، فَعُولْ، فَعْلُنْ، فَعْلُ، فَعُلْ، فَعْ.
فالأول: المقبوض. والقَبْضُ: إسقاطُ الخامس الساكن.
والثاني: المقصور. والقَصْر: إسقاط ساكن السبب وتسكين متحركة.
والثالث: الأثلم. والثَّلْم: أن تَخرِمَ سالماً والخَرْم: أن تُسقط أول الوتد المجموع في أول البيت. والسالم: الجزء الذي لا زِحاف فيه فيصير عُوْلُنْ، ويردّ إلى فَعْلُنْ.
والرابع: الأثرم. والثَّرْم: أن تَخرم مقبوضاً، فيصير عُولُ، ويردّ إلى فَعْلُ.
والخامس: المحذوف. والحَذْف: إسقاط السبب الخفيف من آخر الجزء فيصير فَعُو، ويردّ إلى فَعُلْ.
والسادس: الأبتر. والبَتْر أن يجتمع فيه الحذف والقطع. والقطع في الوتد كالقصر في السبب.
وفاعِلُن له فرعان: فَعِلُنْ، فَعْلُنْ.
فالأول: المخبون. والخَبْنُ أن تُسقِط ثاني سببه.
والثاني: المقطوع. صار فاعِلْ فردّ إلى فَعْلُنْ.
ومُسْتَفْعِلُنْ له أحد عشر فرعاً: مَفاعِلُنْ مُفْتَعِلُنْ، فَعَلتُنْ، مُستَفْعِلُ، مفَاعِلُ، مفَعْوُلُنْ، فَعُولُنْ، مُستفْعِلانْ، مفَاعِلانْ، مُفْتَعِلانْ، فَعَلتَانْ.
فالأول: المخبون. وقد ذكرنا الخَبْن. صار مُتَفْعِلُنْ، فردَّ إلى مَفاعِلُنْ.
والثاني: المَطويّ. والطَّيّ: إسقاط ساكن ثاني سببيه، وهو الفاء، فيصير مُسْتَعِلُنْ، ويردّ إلى مُفْتَعِلُنْ.
والثالث: المخبول. والخبل: أن يُجمع عليه الخبن والطيّ، فيصير مُتَعِلُنْ، ويردّ إلى فَعَلَتُنْ.
والرابع: المكفوف. والكفّ: إسقاط السابع الساكن.
والخامِس : ......................................
والسادس: المقطوع. صار مُستَفْعِلْ، فردّ إلى مَفْعُولُنْ.
والسابع: المكبولُ، وهو المخبون المقطوع. صار مُتَفْعِلْ، فردّ إلى فَعُولُنْ.
والثامن: المُذال. والإِذالة: أن يُزاد على تعريته حرف ساكن. والُمعرَّى لقب الجزء السالم من الزيادة.
والتاسع: المُذال المَخبون. صار مُتَفْعِلانْ، فردّ إلى مَفاعِلانْ.
والعاشر: المُذال المَطويّ. صار مُسْتَعِلانْ، فردّ إلى مُفْتَعِلانْ.
والحادي عشر: المُذال المَخبول. صار مُتَعِلانْ، فردّ إلى فَعَلتَانْ.
ومَفاعِيلُنْ له سبعة فروع: مفَاعِلُنْ، مفَاعِيلُ، مَفاعِيلْ، فَعُولُنْ، مَفْعُولُنْ، فاعِلُنْ، مَفْعُولُ.
فالأول: المقبوض.
والثاني: المكفوف.
والثالث: المقصور.
والرابع: المحذوق. صار مَفاعِيْ، فنقل إلى فَعُولُنْ.
والخامس: الأخرم. والخَرْم: أن تخرم سالماً. صار فاعِيلُنْ، فردّ إلى مَفْعُولُنْ.
والسادس: الأشتر. والشَّتْرُ: أن تخرم مقبوضاً فيصير فاعِلُنْ.
والسابع: الأخرب. والخَرْب: أن تخرم مكفوفاً. فيصير فاعِيلُ، ويردّ إلى مَفْعُولُ.
وفاعِلاتُنْ له أحد عشر فرعاً: فَعِلاتُنْ، فاعِلاتُ، فَعِلاتُ، فاعِلانْ، فَعِلانْ، فاعِلُنْ، فَعِلُنْ، فَعْلُنْ مَفْعُولُنْ، فاعِلِيَّانْ، فَعِليَّانْ.
فالأول: المخبون. وإنما يُسمَّى مخبوناً إذا وقع في أول البيت.
فأمَّا إذا وقع في حشوه فاسمه الصَّدْر. والصدر هو الذي خُبِنَ بالمعاقبة. والمعاقبة: أن يجوز إثبات الحرفين معاً، ولا يجوز إسقاطهما معاً. فالألف من فاعلاتن والنون منه، أو من فاعلاتن غيِره الواقعِ قبله يتعاقبان. فلك أن تقول فاعلاتن فا أو فاعلاتُ فا أو فاعلاتُنْ فَ. وليس لك أن تقول فاعلاتُ فَ. والجزء السالم من المعاقبة يُسمَّى بريئاً.
والثاني: المكفوف. وإذا كان بالمعاقبة فاسمه العجز.
والثالث: المشكول. ولا يخلو فَعِلاتُ من أن يقع في أول البيت، أو في حشوه. فإن وقع في أول البيت يُسمَّى المشكولَ العجز.
وإن وقع في الحشو يُسمَّى المشكولَ الطرفين، لأنه عوقب خبنه وكفه قبلاً وبعداً. وقد أجاز الخليل وأصحابة المعاقبة بين ساكني السببين الملتقيين، من آخر المصراع الأول، وأول المصراع الثاني. وأباها غيره.
والرابع: المقصور. صار فاعِلاتْ، فردّ إلى فاعِلانْ.
والخامس: المقصور المخبون. صار فَعِلات، فردّ إلى فَعِلانْ.
والسادس: المحذوف. صار فاعلا، فردّ إلى فاعِلُنْ.
والسابع: المحذوف المخبون. صار فَعِلا فردّ إلى فَعِلُنْ والثامن: الأبتر. صار فاعِلْ، فردّ إلى فَعْلُنْ.
والتاسع: المُشَّعث. والتشعيث: أن تُسقط أحد متحرّكي وتده.
فيصير فاعاتُنْ أو فالاتُنْ، ويردّ إلى مَفْعُولُنْ. أو أن تَخْبِنَ، وتسكن أول حرف من وتده، فيصير فَعْلاتُنْ، ثم يردّ إلى مَفعُولُنْ.
والعاشر: المُسبَّغُ. والتَّسبيغُ في السبب كالإِذالة في الوتد.
صار فاعِلاتانْ، فردّ إلى فاعِلِيَّانْ.
والحادي عشر: المُسبَّغ المخبون. فيصير فَعِليّانْ.
ومُفاعَلَتُنْ له ثمانية فروع: مَفاعِيلُنْ، مَفاعِلُنْ، مَفاعِيلُ، فَعُولُنْ، مَفْتَعِلُنْ، مَفْعُولُنْ، فاعِلُنْ، مَفْعُولُ.
فالأول: المَعصوب. والعَصْب: تسكين الخامس حتى يصير مُفاعَلْتُنْ، ويردّ إلى مَفاعِيلُنْ.
والثاني: المَعقول. والعَقْل: إسقاط خامسه بعد إسكانه، حتى يصير مُفاعَتُنْ، ويردّ إلى مَفاعِلُنْ.
والثالث: المنقوص. والنَّقْص: الكفّ بعد العَصْب، حتى يصير مُفاعَلْتُ، ويردّ إلى مَفاعِيلُ.
فالحاصل أن بين ساكني سببيه، بعد ما عُصب، معاقبةً.
فإسقاط الأول يسمَّى عقلاً. وإسقاط الثاني يسمَّى نقصاً.
والرابع: المقطوف. والقَطْف: الحذف بعد العصب، حتى يصير مَفاعِلْ، ويردّ إلى فَعُولُنْ.
والخامس: الأعضب. والعَضْبُ: أن تخرم سالماً، فيصير فاعَلَتُنْ. ويردّ إلى مُفْتعِلُنْ.
والسادس: الأقصم. والقَصْم: أن تخرم معصوباً. فيصير فاعَلْتُنْ، ويردّ إلى مَفْعُولُنْ.
والسابع: الأجمّ. والجَمَمُ: أن تخرم معقولاً. فيصير فاعَتُنْ، ويردّ إلى فاعِلُنْ.
والثامن: الأعقص. والعَقْصُ: أن تخرم منقوصاً. فيصير فاعَلْتُ، ويردّ إلى مَفْعولُ.
....................................................
فالأول: المضمر، والإضمار: أن تسكن الثاني. فيصير مُتْفاعِلُنْ، ويردّ إلى مُستَفْعِلُنْ.
والثاني: الموقوص. والوقَصْ: إسقاط الثاني بعد إسكاته. فيصير مُفاعِلنْ، ويردّ إلى مَفاعِلنْ.
والثالث: المخزول. والخَزْل: إسقاط الرابع بعد إسكان الثاني. حتى يصير مُتْفَعِلُنْ، ويرد إلى مُتْفَعِلُنْ، ويرد إلى مُفْتَعِلُنْ. فالحاصل أنه يلتقي بعد الإضمار سببان: فيتعاقب ساكناهما.
والرابع: المقطوع. صار مُتَفاعِلْ فردّ إلى فَعِلاتُنْ.
والخامس: المقطوع المضمر. صار مُتْفاعِلْ فردّ إلى مَفْعُولُنْ.
والسادس: الأحذّ. والحَذَذَ: سقوط الوتد المجموع. حتى يصير مُتَفا، ويردّ إلى فَعلُنْ.
والسابع: الأحذ المضمر. صار مُتْفا، فردّ إلى فَعْلُنْ.
والثامن: المُذال.
والتاسع: المُذال المُضمر.
والعاشر: المُذال المَوقوص.
والحادي عشر: المُذال المَخزول.
والثاني عشر: المُرفَّل. والتَّرفيل: زيادة السبب الخفيف على تعريته حتى يصير مُتَفاعِلاتُنْ.
والثالث عشر: المُرفَّل المُضمر.
والرابع عشر: المُرفَّل المَوقوص.
والخامس عشر: المُرفَّل المخزول.
ومَفْعُولاتُ له أحد عشر فرعاً: فَعُولاتُ، فاعِلاتُ، فَعِلاتُ، مَفْعُولانْ، فَعُولانْ، فاعِلانْ، مَفْعُولُنْ، فَعُولُنْ، فاعِلُنْ، فَعِلُنْ، فَعْلُنْ.
فالأول: المخبون. صار مَعُولاتُ، فردّ إلى فَعُولاتُ.
والثاني: المَطويّ. صار مَفْعُلاتُ، فردّ إلى فاعِلاتُ.
والثالث: المخبول. صار مَعُلاتُ، فردّ إلى فَعِلاتُ.
والرابع: الموقوف. والوقف: أن تسكن آخر متحركي وتده المفروق، فيصير مَفْعُولاتْ، ويردّ إلى مَفْعُولانْ.
والخامس: الَموقوف المَخبون.
والسادس: المَوقوف المَطويّ.
والسابع: المكسوف بالسين غير المعجمة، والشينُ تصحيف.
والكسف: أن تحذف آخر متحر كي وتده المفروق. فيبقى مَفْعُولا ويردّ إلى مَفْعُولُنْ.
والثامن: المَكسوف المَخبون.
والتاسع: المَكسوف المَطويّ.
والعاشر: المَكسوف المَخبول.
والحادي عشر: الأصلم. والصَّلْم: أن تسقط الوتد المفروق. فيبقى مَفْعُو، ويردّ إلى فَعْلُنْ.
ولا نريد أن الفروع، المذكورة عند كل أصل، أينما وقع جازت فيه. وإنما يجوز فيه بعضها أو كلّها، في بعض المواضع، دون بعض. ويتضَّح لك جليَّة ذلك إذا استقريتَ أبيات الشواهد. لكنِ المرادُ أنّ كلّ أصل منها هذه فروعه، على الإطلاق.
ولا يكون له فروع وراءها.
فصل تَرْكِيْبُ بحور الشِّعر
وقد سلكوا في تركيب بحور الشعر، من هذه الأجزاء الثمانية، أربعة طرق: أحدها: أنهم كرَّروا الجزء الواحد بعينه، من غير أن يُصحِبوه غيره. وذلك في جميعها، ما خلا واحداً وهو مفعولات.
ف فعولن ثماني مرات يسمى المتقارب.
و فاعلن ثماني مرات يسمى الرَّكْض.
و مستفعلن ست مرات يسمى الرَّجَز.
و مفاعيلن ست مرات يسمى الهَزَج.
و فاعلاتن ست مرات يسمى الرَّمَل.
ومتفاعلن ست مرات يسمى الكامل.
ومفاعلتن ست مرات يسمى الوافر.
والثاني: أنهم أزوجوا بين جزأين، كأنّ كل واحد منهما هو الآخر. وذلك إزواجهم بين مستفعلن ومفعولاتُ، لأنهما على نسق واحد، في تقدم السببين، وتأخر الوتد. لا فرق بينهما إلاَّ أن وتد ذلك مجموع، ووتد هذا مفروق. وهذا بمنزلة تكريرهم الجزء الواحد، كما هو. ف مفعولات وإن فارق سائر الأجزاء، في أنْ لم يكرّر وحده، فقد كِرّر مع جزء لا يكاد يبُاينه.
ومستفعلن مستفعلن مفعولات مرتين يسمى السَّريع.
ومستفعلن مفعولاتُ مستفعلن مرتين يسمى المنسرح.
ومفعولاتُ مستفعلن مستفعلن مرتين يسمى المقتضب.
والثالث: أنهم أزوجوا بين خماسيّ وسباعيّ، لو حذف من السباعيّ ما طال الخماسيّ لم يتباينا، في الوزن. وذلك إزواجهم بين فعولن ومفاعلين؛ ألا ترى أنك لو حذفت لُنْ من مفاعيلن وجدت مَفاعي جارياً على فعولن. وبين مستفعلن وفاعلن؛ ألا ترى أنك لو حذفت مُسْ من مُستفعلُن وجدت تَفْعِلن جارياً فاعلن. وبين فاعلاتن وفاعلن؛ ألا ترى أنك لو حذفت تُنْ من فاعلاتن جرى فاعلا على فاعلن.
ف فعولن مفاعيلن أربع مرات يسمى الطويل.
و فاعلاتن فاعلن أربع مرات يسمى المديد.
و مستفعلن فاعلن أربع مرات يسمى البسيط.
والرابع: أنهم أزوجوا بين سباعيَّين، لو رددتهما إلى الخماسيّ، بحذف سبب من كل واحد منهما، توازنا. وذلك إزواجهم بين فاعلاتن ومستفعلن؛ لأنك لو حذفت تُنْ من فاعلاتن ومُسْ من مستفعلن، بقي فاعلا وتَفْعِلُنْ متوازنين. وبين مفاعيلن وفاعلاتن، لأنك لو حذفت لُنْ من مفاعيلن، وفا من فاعلاتن، بقي مفاعي وعلاتن متوازنين.
ف فاعلاتن مستفعِ لُنْ فاعلاتن مرتين يسمى الخفف.
و مستفعِ لُنْ فاعلاتن فاعلاتن مرتين يسمى المجتث.
ومفاعيل فاعِ لاتُنْ مفاعيلُن مرتين يسمى المضارع.
ثم إن بعض هذه البحور يشابك بعضا ًبأن ينفكّ هذا عن هذا. ومثال ذلك أنك لو عمدت إلى الوافر فزحلَفْتَ وتده الواقع في صدر البيت إلى عجزه. فقلت: عَلَتُنْ مُفا، عَلَتْنْ مُفَا، عَلَتُنْ مُفا،عَلَتُنْ مُفا،عَلَتُنْ مَفا،علتن مفا وجدت الكامل قد انفكّ عن الوافر. وكذلك لو زَحلفتَ الفاصلة الأولى من الكامل إلى العجز، فقلت: عِلُنْ مُتَفا، عِلُنْ مُتَفا، عِلُنْ مُتَفا، عِلُنْ مُتَفا، عِلُنْ مُتَفا، عِلُنْ مُتَفا وجدت الوافر منفكاً عن الكامل.
وهذه الشبكة الفكَّية بين الطويل والمديد والبسيط، وبين الوافر والكامل، وبين الهزج والرجز والرمل، وبين السريع والمنسرح والخفيف والمضارع والمقتضب والمجتثّ، وبين المتقارب والركض.
وهذه الدوائر تطلعك على كيفيّة الأمر، في فكّ بعضها عن بعض. وصورةُ المتحرّك شِبهُ ميم، وصورةُ الساكن شِبهُ ألف.
فصل كيفية تقطيع الأبيات
وكيفية تقطيع الأبيات أن تَتَّبع اللفظ، وما يؤدّيه اللسان، من أصداء الحروف، وتُنكّبَ عن اصطلاحات الخطّ جانباً، فلا يُلغى التنوين، ولا الحرف المدغم، ولا واو الإطلاق، ولا ألفه، ولا ياؤه، لأنها أشياء ثابتة في اللفظ. وتلغى ألفاتُ الوصل الواقعة في الدَّرج، وألف التثنية التي لاقاها ساكن بعدها، وغيرُ ذلك مما لا يلفظ به. وأن تنظر إلى نفوس الحركات مطلقة، دون أحوالها.
وهذه أبيات البحور السالمةُ الأجزاء، المُعرَّاتُها، كتبتها على الصورة التي يجب أن يكون عليها التقطيع، اختصاراً للطريق إلى الوقوف على كيفيته.
طويل:
سقللا هر بعيأم معمرن وإنمحت ... مغاني هما سححن منلوب لهططالا
مديد:
بينهممش بوبتن تصطليها فتيتن ... ماجنوفي هاولا مثلشخبش شائلي
بسيط:
نار لقرى أوقدو قصر نلغا شيكمو ... نيرانكم خيرها نالقرى مُوقده
وافر:
وعندكمو مصادقمن وقائعنا ... فمالكمو لدى حملا تناثبتو
كامل:
وإذا صحو تفما أقص صرعن ندن ... وكما علم تشمائلي وتكررمي
هزج:
لقد شاقت كفلأ حدا جأظعانو ... كما شاقت كيوملبي نغربان
رجز:
دار نلسل مي إذ سلي مي جارتن ... قفر نتري أاياتها مثلززر
رَمَل:
أانساتن ناعماتن فيخدورن ... قاتلاتن بلعيونل فاتراتي
سريع:
إننبنعب دلقيسعن نجدنسارَ ... ما أنجدت أصحابهو إللاغار
منسرح:
إننلهما ملقرملل ذيزرتهو ... ألفيتهو كالبحرلل ذييزخرو
خفيف:
حلل أهلي ما بيندر ني فبادو ... لي وحللت علوييتن بسسخالي
مضارع:
رمتقلبي يومحزوى بعينيها ... فأصمتهو نافذاتن منننبلي
مقتضب:
خففت عبس عن أرضها فستبدلت ... قومنجار همبلعشا ياساغبو
مجتث:
لا تسقني خمرعامن وسقنيها ... دهرييتن عتتقت في عهد أادم
متقارب:
فأمما تميمن تميمب نمررن ... فألفا هملقو مروبي نياما
ركض:
حاربو قومهم ثمملم يرعوو ... لصصلا حللذي خيرهو راهنو
فصل أبيات شواهد
وإذ قد فرغتُ عن ذكر الأصول وفروعها، وعن تركيب البحور، والدوائر، والأشعار بكيفيّة التقطيع، لم يبق عليّ إلاَّ سوق أبيات الشواهد، ليُعرف بها الجائز في بناء كلّ بحر من غير الجائز، ولتستبين مواقع الفروع المذكورة من الأصول.
وأقدّم قبل أن أسوقها، ألقاباً شتَّى، لا بدَّ من الإِحاطة بها: فأول أجزاء المصراع الأول صدر، وآخرها عروض. وأول أجزاء المصراع الثاني ابتداء، وآخرها ضربٌ، وعَجُزٌ، وقافيةٌ عند بعضهم. والمتوسَّط من الأجزاء في المصراعين حَشْو.
ولا يجوز الخرم، عند الأكثر، إلاَّ في الصدر. وقد جوَّزوا في الابتداء، كقوله:
فَلمَّا أتاني، والسَّماءُ تَبُلُّهُ ... قُلت لهُ: أهلاً وسَهلاً ومَرحبَا
وقد جمع الآخر الأمرين جميعاً، في قوله:
لكنْ عُبيدُ اللهِ لمّا أتيُتُه ... أعطىَ عطاءً، لا قليلاً، ولا نَزْرا
والموفور: الذي لا خرم فيه.
وأما الخزم بالزاي فلا يكون، بالاتفاق إلاَّ في الصدر. وهو زيادة حرف، كقوله:
وإذا أنتَ جازيتَ أمرأَ السّوءِ فِعلَهُ ... أتيتَ من الأخلاقِ ما ليس راضيا
أو حرفين، كقوله:
قد فاتَنِي، اليَومَ، من حَدي ... ثِكَ، ما لَستُ مُدْرِكَهْ
أو ثلاثة أحرف، كقوله:
إذا خَدِرَت رِجلي ذكرتُكِ، يا ... فَوزُ، كيما يَذهبُ الخَدَرُ
أو أربعة أحرف، كقوله:
اشْدُدْ حيازِيمَكَ، للَموتِ ... فإنَّ الموتَ لاقِيكا
فإذا خالف الصدر سائر أجزاء البيت بحزم أو زحاف سمّي ابتداء. وإذا خالفت العروض سائر أجزاء البيت بنقصان أو زيادة لازمة سميت فصلاً. والضرب إذا كان كذلك سميّ غاية. وإذا زيد على آخر الضرب زيادة ليست منه سمَّي زائداً. وإذا لم تلحقه هذه الزيادة سمي مُعَرّى.
وإذا توالت في الضرب أربع حركات واقعة بين ساكنين، ك فَعَلَتُنْ إذا وقعت ضرباً بعد جزء آخره نون ساكنة، كقولك: مستفعلن فعلتن، ف فَعَلَتُ أربع حركات متوالية، قد توسطت بين نون ساكنين، سمّي المتكاوس. وإذا توالت فيه ثلاث حركات، بين ساكنين، ك مفاعلتن ومفتعلن، سمّي المتراكب. وإذا توالى فيه متحركان بين ساكنين، ك متفاعلن، سمّي المتدارك. وإذا كان فيه حرف متحرك بين ساكنين، ك مفاعيلن، سمّي المتواتر. وإذا اجتمع فيه ساكنان، ك مستفعلان، سمّي المترادف.
وكلّ واحد من العروض، والضرب، إذا خالف الحشو، بسلامة، أو زحاف، سمّي معتلاًّ. وكذلك المصراع الذي يقع فيه. وإذا كان مثل الحشو سمّي البيت حشواً.
وإذا سلم العروض والضرب من الانتقاص، وهو الحذف اللازم، سمّي الصحيح. وكل جزء سقط ساكن سببه، أو سكّن متحرّكه، سمّي مُزاحَفاً. وإلاَّ فهو سالم. وكل جزء ترك فيه حرفان منه زائدان على الاعتدال فهو المتمَّم، كما جاء فاعلاتن في الضرب الأول من الرمل، وعروضه فاعلن.
ويسمَّى المصراع الأول صدراً وعروضاً، والثاني عجزاً وضرباً، وقافية عند بعضهم.
وكل مصراع يستوفي دائرته فهو التام. وإذا لم يأت الانتقاص على جميع جزئه الأخير فهو الوافي. وإذا أتى عليه فهو المجزوء. وإذا أتى على جزأين منه فهو المنهوك. والبيت المعتدل: الذي استُوفي مصراعاه من خير خُلف بين أجزائهما. والمشطور: الذي ذهب شطره. والمخلَّع: مسدّسُ البسيط. والمراقبة بين الحرفين: إلاَّ يجوز سقوطهما، ولا ثبوتهما معاً، كما في فاء مفعولات وواوها في المقتضب. والمعاقبة: ما يجوز ثبوتهما معاً، ولا يجوز سقوطهما معاً، كما بين سببي مفاعيلن في المضارع.
أبيات الشواهد
الطويل
هو في البناء مثمّن، كما هو في الدائرة. وله عروض واحدة مقبوضة، وضروبها ثلاثة: السالم: مقبوض العروض سالم الضرب:
أبا مُنذِرِ، كانتْ غُروراً صَحيفَتي ... فلم أُعطِكم في الطَّوعِ مالي، ولا عِرضِي
مقبوض العروض والضرب:
ستُبدِي لكَ الأيَّام ما كنتَ جاهلاً ... ويأتيكَ بالأخبارِ مَن لم تَزوّدِ
مقبوض العروض محذوف الضرب:
أقيموا، بَني النُّعمان، عنَّا صُدُوركم ... وإلاَّ تُقيموا، صاغرينَ، الرُّؤوسا
وفعولن الواقع قبل الضرب المحذوف، لا يكاد يجيء إلا مقبوضاً، كقوله:
وما كلُّ ذِي لُبٍّ بمؤتيكَ نُصحَهُ ... وما كلُّ مُؤتٍ نُصْحَهُ بلَبيتِ
ولا يجوز الحذف، في سائر الأجزاء، إلاَّ أن يكون البيت مصرَّعاً، فيقع في عروضه. وقد جُوّز في عروض البيت، غير المصرَّع، كقوله:
جَزىَ اللهُ عَبساً، عَبس آلِ بَغيضٍ ... جزاءَ الكلابِ النَّابحاتِ، وقد فَعَلْ
وقد روُي عن المفضَّل قوله:
ثيِابُ بَني عَوفٍ طهَارَى، نَقَّيةٌ ... وأوجهُهُم، عندَ المَشاهدِ، غُرَّانْ
المزاحف: مقبوض:
أتطلُبُ مَن أُسودُ بِيشةَ دُونَهُ ... أبو مَطَرٍ، وعامرٌ، وأبو سَعْدِ؟
مكفوف:
شاقتْك أحداجُ سُليمى، بعاقلٍ ... فعَيناكَ، للبَينِ، تَجودانِ بالدمعِ
أثرم:
هاجَكَ رَبَعٌ، دارسُ الرَّسمِ بِالّلوى ... لأسماءَ، عَفَّى آيَهُ المُورُ، والقَطْرُ
أثلم:
لكنَّ عبدَ اللهِ لمّا أَتيتُهُ ... أعطَى عطَاءً، لا قليلاً ولا نَزْرا
المديد
هو، في البناء، على نوعين: مربَّع ومسدَّس.
المسدَّس السالم: العروض الأولى وضربها واحد، كقوله:
يا لَبَكرٍ، أنشِروا لي كُلَيباً ... يا لَبكرٍ، أينَ أينَ الفِرارُ؟
سالم العروض والضرب.
العروض الثانية عروضها واحدة وضروبها ثلاثة: محذوف العروض مقصور الضرب:
لا يَغرَّنَّ امرَأً عَيْشُهُ ... كلُّ عَيشٍ صائرٌ للزَّوالْ
محذوف العروض والضرب:
اعْلَمُوا أنّي، لكم، حافِظٌ ... شاهداً ما كنتُ، أم غائبا
محذوف العروض أبتر الضرب:
إنَّما الذَّلفاءُ ياقُوتةٌ ... أُخرِجَتْ، من كيسِ دِهقانِ
محذوف العروض والضرب، مخبونهما:
للفَتى عَقلٌ، يَعيشُ بهِ ... حيثُ تَهدِي ساقَهُ قَدَمُهْ
محذوف العروض مخبونها، أبتر الضرب:
ربَّ نارٍ بِتُّ أرمُقُها ... تَقضَمُ الهِندِيَّ، والغارا
وعن الكسائي أن هذين البيتين من البسيط، بإلقاء مستفعلن من صدره.
المُسدّس المُزاحَف: مخبون:
ومتى مايَعٍ، منكَ، كلاماً ... يَتكلَّمْ، فيُجبْكَ بعَقْلِ
مكفوف:
لَن يَزالَ قَومُنا مُخْصبِيِنَ ... صالحِينَ، ما اتَّقوا، واستقامُوا
عجز وطرفان:
لمنِ الدّيارُ، غَيَّرَهنَّ ... كلُّ داني المُزْنِ، جَونِ الرَّبابِ؟
المربَّع: جاء لأهل الجاهلية عليه غيرُ شعر، إلاَّ أنّ الخليل أغفله:
يا لَبَكرٍ، لا تَنُوا ... ليسَ ذا حِينَ وَنَى
دارتِ الحَربُ رَحاً ... فادْفُعوها، بِرحَا
بُؤسَ للحَربِ التَّي ... تَرَكَتْ قومِي سُدَى
طافَ، يَبغِي نَجوةً ... مِنْ هَلاكٍ، فَهَلَكْ
وهو عند الزجَّاج من مجزوء الرمل، المحذوف العروض والضرب. قال: وأكثر ما رأيته جاء في هذا فَعِلُنْ.
البسيط
هو، في البناء، على نوعين: مثَّمن، ومسدّس، وهو المخلَّع الذي ذكرنا.
المثَّمن السالم: مخبون العروض والضرب:
يا حارِ، لا أُرمَيَنْ منكم، بداهيةٍ ... لم تَلقَها سُوقةٌ، قَبلي، وما مَلِكُ
مخبون العروض مقطوع الضرب:
قد أشهَدُ الغارةَ الشَّعواءَ تحمِلُني ... جَرداء مَعروقةُ اللّحييَنِ سُرحُوبُ
ولا يجوز مكان العين في فَعْلُنْ إلاَّ التليين. وهو أن يكون ألفاً أو واواً أو ياء.
المثَّمن المُزاحَف: مخبون:
لقد خَلَتْ حِقَبٌ، صُروفُها عَجَبٌ ... فأحدثَتْ غِيراً، وأعقَبتْ دُوَلا
مطويّ:
ارتَحلُوا غُدوةً، وانطلقَوُا بُكَراً ... في زُمَرٍ منهمُ، تتَبُعها زُمَرُ
مخبول:
وزَعَموا أنَّهم لَقِيَهُم رَجُلٌ ... فأخذُوا مالَهُ، وضَربُوا عُنُقَهْ
المسدّس السالم العروض، ولها ثلاثة أضرب:
إنا ذَمَمْنا، على ما خَيَّلَتْ، ... سَعْد بنَ زيدٍ، وَعمراً من تَميم
سالم العروض مذال الضرب.
سالم العروض والضرب:
ماذا وُقُوفي على رَبعٍ، خَلا ... مُخلَولِقٍ، دارسٍ، مُستعجِمِ؟
سالم العروض مقطوع الضرب:
سيرُوا معاً، إنَّما مِيعادُكم ... يومَ الثلاثاءِ، بَطنَ الوادي
مقطوع العروض والضرب:
ما هَيَّجَ الشَّوقَ، من أطلالٍ ... أضحَتْ قِفاراً، كَوحيِ الواحي
العروض الثانية، ولها ضرب واحد.
المسدّس المُزاحَف: مطويّ:
يا بِنتَ عَجْلانَ، ما أصبَرنَي ... على خُطُوبٍ، كنَحتٍ بالقَدُومْ!
مذال مخبون الضرب:
إنَّي لَمُثْنٍ عليها، فاسمُعوا ... فيها خِصالٌ، تُعَدُّ، أربَعُ
مخبول الضرب:
ماذا تَذَكَّرتَ من زَيدِيَّةٍ ... بَيضاءَ، حَلَّتْ جَنُوبَ مَلَلِ؟
مكبول العروض والضرب:
أصبحتُ والشَّيبُ قد عَلانِي ... يَدعُو حَثيثاً، إلى الخِضابِ
مخبون مذال:
قد جاءَكم أنَّكم يَوماً، إِذا ... ما ذُقُتُم المَوتَ، سوف تُبعَثُونْ
مطويّ مذال:
يا صاحِ، قد أخلفَتْ أسماءُ ما ... كانتْ تُمنّيِكَ، مِن حُسنِ وِصالْ
مخبول مذال:
هذا مَقامي، قريباً مِن أخي ... كلُّ امريءٍ قائمٌ معَ أخِيهْ
الوافر
هو، في البناء، على نوعين: مسدّس ومربّع: والمسدّس السالم: مقطوف العروض والضرب. العروض واحدة وضربها واحد:
لنا غَنَمٌ، نُسوّقُها، غِزارٌ ... كأنَّ قُرُونَ جلتَّهِا العِصِيُّ
ولا يجوز في فعولن هذا زحاف. ومثلُ قول الحطيئة:
فَضَلتَ، عنِ الرّجالِ، بخَصلتيَنِ ... وَرِثتَهما، كما وُرِثَ الوَلاءُ شاذّ.
المسدّس المُزاحَف: معصوب:
إذا لم تَستِطعْ شَيئاً فَدَعْهُ ... وجاوِزْهُ، إِلى ما تَستطيِعُ
منقوص:
لسَلاَّمةَ دارٌ، بِحَفيرٍ ... كباقي الخَلَقِ، السَّحْقِ، قِفارُ
معقول:
مَنازلٌ، لِفَرْتَنَي، قِفارٌ ... كأنَّما رُسُومُها سُطُورُ
أعضب:
إنْ نَزَلَ الشّتِاءُ بدارِ قَومٍ ... تَجَنَّبَ جارَ بَيتهِمُ الشّتِاءُ
أقصم:
ما قالُوا لنا سَدَداً، ولكنْ ... تَفاحَشَ قَولُهمُ، وأتَوا بهُجْرِ
أجمّ:
أنتَ خَيرُ مَن رَكِبَ المَطايا ... وأكرمَهُمُ أخاً، وأباً، وأُمَّاً
أعقص:
لَولا مَلِكٌ، رَؤُفٌ، رَحِيمٌ ... تَدارَكنَي، برَحْمِتِه، هَلكتُ
المربَّع السالم، سالم العروض والضرب:
لقد عَلِمتْ رَبيعةُ أنَّ ... حَبلَكَ واهنٌ، خَلَقُ
سالم العروض معصوب الضرب:
عَجبتُ لَمْعشَرٍ، عَدَلُوا ... بُمعتَمِرٍ أبا عَمرِو
وقد جاء القطف في ضرب المربَّع. قال:
بكيتَ، وما يَرُدُّ لك ال ... بُكاءُ، على الحَزِينِ؟
المربَّع المزاحَف معصوب:
أهاجَكَ مَنزِلٌ أقْوَى ... وَغيَّر آيَةُ الِغَيرُ؟
الكامل
هو، في البناء، على نوعين: مسدّس، ومربَّع.
المسدّس السالم، سالم العروض والضرب:
وإذا صَحَوتُ فما أُقَصّرُ عن نَدىً ... وكما عَلِمتِ شَمائلي، وتَكرُّمي
سالم العروض مقطوع الضرب:
وإذا دَعَونَك عَمَّهنَّ فإِنَّهُ ... نَسَبٌ، يَزيدُكَ عندَهنَّ خَبالا
سالم العروض أحذَ الضرب مضمره:
لَمنِ الدّيارُ، برامتَيَنِ، فعاقلٍ ... دَرسَت وغَيَّر آيَها القَطرُ؟
العروض الثانية، ولها ضربان: أحذّ العروض والضرب:
لِمَنِ الدّيِارُ، مَحا مَعارِفَها ... هَطِلٌ أَجشُّ، وبارِحٌ تَرِبُ؟
أحذّ العروض أحذّ الضرب مضمره:
ولأنتَ أشجَعُ من أُسامةَ، إذْ ... دُعِيتْ: نَزالِ، ولُجَّ في الذُّعْرِ
وقد جاء عن العرب فَعِلُنْ في الضرب، والعروضُ متفاعلن. وأباه الخليل. قال:
عَهدي بها، حِيناً، وفيها أهلُها ... ولكلّ دارٍ نُقلةٌ، وبَدَلْ
أحذّ الضرب.
ولا تجوز الإِذالة، ولا الترفيل، في المسدّس. وقد شذّ مثلُ قوله:
يَهَبُ المِئِينَ مع الِمِئينَ، وإنْ تتا ... بَعَتِ السّنِونَ فنارُ عَمرٍ وخَيرُ نارْ
مذال مضمر، ومثل قوله:
ولنا تِهامةُ، والنُّجُودُ، وخَيلُنا ... في كلٍّ فجٍّ ما تَزالُ تثُيرُ غارهْ
مرفَّل.
وقول حسان:
لِمَنِ الصَّبيُّ، بجانبِ ال ... بَطحاءِ، مُلقىً، غَيرَ ذِي مَهدِ؟
من الضرب الثالث، محذوف الصدر، يتمُّ ب مَنْ مُخْبِرِيْ.
المسدّس المزاحَف: مضمر:
إنّي امرؤٌ من خَيرِ عَبْسٍ، مَصِباً ... شَطرِي، وأحمي سائرِي بالمُنصُلِ
مقطوع مضمر:
ولقد أبِيتُ من الفَتاةِ، بمَنزلٍ ... فأبيتُ لا حَرِجٌ، ولا مَحُرومٌ
موقوص:
يَذُبُّ، عنَ حرِيِمهِ، بنَبِلِه ... وسَيِفِه، ورُمْحِهِ، ويَحتمي
مخزول:
مَنزِلةٌ صَمَّ صَداها، وَعفَتْ ... أرسُمُها، إنْ سُئلتْ لم تُجِبِ
المربَّع السالم، سالم العروض، مرفَّل الضرب:
ولقد سبَقَتَهُمُ إليّ ... فلِمْ نَزَعْتَ، وأنت آخِر؟
سالم العروض مُذال الضرب:
جَدَثٌ، يكونُ مُقامُهُ ... أبداً، بُمختلَفِ الرّياحْ
سالم العروض، والضرب:
وإذا افتَقَرتَ فلا تَكنْ ... متُخَشِعّاً، وتَجَمَّلِ
سالم العروض مقطوع الضرب:
وإذا هُمُ ذكروُا الإِسا ... ءةَ أكثَرُوا الحَسَناتِ
المربَّع المُزاحَف: مضمر:
وإذا الهَوى كَرِهَ الهُدى ... وأبى التُّقى، فاعصِ الهَوى
مقطوع مضمر:
وأبو الحُليسِ، ورَبِّ مكَّس ... ةَ فارغٌ، مَشغُولُ
موقوص:
ولوَ أنها وُزنِتْ شمَا ... مِ، بِحلِمهِ، لشالتِ
مخزول:
خُلِطتْ مَرارتُها لنا، ... بَحلاوةٍ، كالعَسَلِ
مضمر مذال:
وإذا افتَقرتُ، أو اختُبِرْ ... تُ، حَمِدتُ رَبَّ العالَميِنْ
موقوص مُذال:
كُتِبَ الشَّقاءُ عليهما ... فهما لهُ ميُسَّرانْ
مخزول مُذال:
وأجِبْ أخاكَ، إذا دعا ... كَ، مُعالِناً، غيرَ مُخافْ
مضمر مرفَّل:
وغَرَرتَني، وزَعَمتَ أنَّ ... كَ لاِبنٌ، بالصَّيفِ، تامِرْ
موقوص مرفَّل:
ولقد شَهِدتُ وَفاتَهم ... وَنقلتُهم، إلى المَقابرْ
مخزول مرفَّل:
صَفَحُوا عن ابِنكَ، إنّ في اب ... نِكَ حِدَّةً، حينَ يُكلَّمْ
الهزج
لم يُستعمل إلاَّ مجزوءاً.
السالم: سالم العروض والضرب:
عفا من آل ليلى، السَّهْ ... بُ، فالأملاحُ، فالغَمْرُ
سالم العروض محذوف الضرب:
وما ظَهرِي، لباغي الضَّيْ ... مِ، بالظَّهر، الذَّلْولِ
المُزاحَف: مقبوض:
فقلتُ: لا تَخَفْ شيئاً ... فما عليكَ من بأسِ
وإنما يجوز القبض، في صدره، وابتدائه، دون عروضه، وضربه. وقال الزجاج: إن جاء لم يُستَنكرْ: مكفوف:
فهذانِ يَذُودانِ ... وذا، مِن كَثَبٍ، يَرْمِي
أخرم:
أدَّوا ما استعارُوهُ ... فإنَّ العَيشَ عاريَّهْ
أشتر:
في الذَّيِنَ قد ماتُوا ... وفيما جَمَّعُوا، عِبْرَهْ
أخرب:
لو كانَ أبُو بِشْرٍ ... أميراً ما رَضِيناهُ
الرجز
وهو، في البناء، على أربعة أنواع: مسدّس، ومربَّع، ومشطور، ومنهوك.
المسدّس السالم: سالم العروض والضرب:
دارٌ لسَلمى، إذ سُليَمى جارةٌ ... قَفْرٌ، تَرَى آياتِها مِثلَ الزُّبُرْ
سالم العروض مقطوع الضرب:
القَلبُ منها مُستَرِيحٌ، سالمٌ ... والقَلبُ منّي جاهدٌ، مَجهُودُ
المسدّس المُزاحَف: مخبون:
فطالمَا، وطالمَا، وطالمَا ... سَقَى، بكَفِّ خالدٍ، وأطعَما
مطويّ:
ما وَلدَتْ والدةٌ من وَلَدٍ ... أكرمَ من عَبدِ منَافٍ، حَسبَا
مخبول:
وثِقَلٍ مَنَعَ خَيرَ طَلَبٍ ... وعَجَلٍ مَنَعَ خَيرَ تُؤَدَهْ
المربَّع السالم: سالم العروض والضرب:
قد هاجَ قَلبي مَنزِلٌ ... من أمِّ عَمروٍ، مُقفِرُ
المربَّع المُزاحَف: مطويّ العروض والضرب:
هل يَستوِي، عندَكَ، مَن ... تَهوَى، ومَن لا تَمِقُهْ؟
مخبول:
لامَتْكَ بنْتُ مَطَرٍ ... ما أنت وابنةَ مَطَرْ؟
المشطور السالم، وهو عند الخليل ليس بشعر:
ما هاجَ أحزاناً، وشَجْواً، قد شَجا
ربّ يّسرْ، بفضلك، وكرمك.
قال الشيخ الإمام الأجلّ العَلَّامة، جار الله، فخرُ خوَارزم، أبو القاسم، محمود بن عمر الزمخشريّ، رحمه الله تعالى: أسألُ الله الذي عَدَّلَ موازينَ قِسطِه، وعايرَ مكاييل قَبضِه وبسِطِه، ودعا في كتابه بالويل، على المطفّفين في الكيل، وكره لعباده السَّرَف والبخس، وحظر عليهم الشطط والوكس، أن يحملني على السَّويَّةِ فيما أُورد وأُصْدِرُ، والاقتصاد فيما آتي وأذرُ. ويأخذَ بيدي، إلى وزن الأمور بميزان العقل السليم، فإنه المعيار المعتدل والقسطاس المستقيم، حتى أكون من القائمين على الحق وبه، والذاهبين عن الصواب وإليه. وأحمده، وأصلّي على خير خلقه، محمدٍ، وآله، وعلى الذين انتهجوا منهجهم في بدء الأمر ومآله.
أعلم أنَّ أصناف العلوم الأدبية ترتقي إلى اثني عشر صنفاً: الأول: علم اللغة.
والثاني: علم الأبنية.
والثالث: علم الاشتقاق.
والرابع: علم الإِعراب.
والخامس: علم المعاني.
والسادس: علم البيان.
والسابع: علم العروض.
والثامن: علم القوافي.
والتاسع: إنشاء النثر.
والعاشر: قرض الشعر.
والحادي عشر: علم الكتابة.
والثاني عشر: المحاضرات.
ولَعَهدي بهذه الأصناف لا يُسمَعُ لها صدًى، ولا تُرى لها عينٌ ولا أثر، فيما بين أهل بلادنا، وساكنه ديارنا. اللهمَّ إلاَّ متنَ اللغةِ، هكذا غُفلاً لا يَسِمهُ التحقيق، وعرياناً لا يُشمل بالإتقان، إلى أن قيَّضَ اللهُ للعَمَى أن تنكشف ضبابته، وللجهل أن تنقشع ربابته، بيُمن نَقيبةِ سيّدنا ومولانا، الإِمام الأستاذ الرئيس الأجلّ، فريدِ العصر، فخرِ العرب والعجم، جمالِ الزمان، نجمِ الدّين، أدام الله عزَّ الفضلِ وأهلهِ، بإطالة بقائه، وإدامة علائه. لا جرَمَ أنه فتح الأبواب إلى تلك الفضائل، ورفع الحجب دون أولئك المناقب، مُفهِمّاً ومُوقِفّاً، ومُرشداً ومطرّفاً، ومُرشّحاً ومُرغبّاً. حتى أنهجتِ المسالكُ، واتلأبَّتِ الأساليب، وهزَّ الأدبُ مَناكبَه، وأرخى الفضل ذوائبه، وغادر بذلك آثاراً أبقى من المسند لا ينمحي رقمُها، ولا ينطمس رسمهُا. فمتى تفوَّهنا بحرف من الأصناف المعدودة فهو التقاط من ذلك المعدِن، واستقاء من ذلك المَصبّ.
وقد لاحت لي، ببركات الانتماء إلى حَضْرته، ومَيامن الانضواء إلى سُدَّتِه، طريقةٌ في باب العروض عذراء، ما أظنُّها وُطئت قبلي. فعمدتُ إلى تحرير هذه النسخة منها، وأوفدتُها على مجلسه العالي، لأفّخِمَ شأنها، وأعلي مكانها، بمدّ يده إِليها، واطّلاِع عينه عليها. فإنه شريعة للفضائل يُحام حواليها، ومدينة للعلوم والآداب يهاجَرُ إليها.
فصل
أُقدّمُ، بين يدي الخوض فيما أنا بصدده، مقدّمةً. وهي أنَّ بناء الشعر العربي على الوزن المُخترعِ، الخارج عن بحور شعر العرب، لا يَقدحُ في كونه شعراً عندَ بعضهم. وبعضُهم أبى ذلك، وزعم أنه لا يكون شعراً حتى يُحامَى فيه وزن من أوزانهم.
والذي ينصر المذهب الأول هو أن حَدَّ الشعر لفظٌ، موزونٌ، مقفّى، يدلّ على معنى. فهذه أربعة أشياء: اللفظ، المعنى، الوزن، القافية. فاللفظ وحده هو الذي يقع فيه الاختلاف بين العرب والعجم. فإنَّ العربيّ يأتي به عربيّاً، والعجميّ يأتي به عجميّاً. وأما الثلاثة الأُخر فالأمر فيها على التَّساوي بين الأمم قاطبة. ألا ترى أنا لو علمنا قصيدة على قافية، لم يُقَفّ بِها أحدٌ من شعراء العرب، ساغ ذلك مساغاً لا مجالَ فيه للإِنكار.
وكذلك لو اخترعنا معاني، لم يسبقونا إليها، لم يكن بنا بأس، بل يُعدّ ذلك من جملة المزايا وذلك لأن الأمم عن آخرها متساوية بالنسبة إلى المعاني والقوافي والافتنان فيها، لا اختصاص لها بأمة دون غيرها. فكذلك الوزنُ، لتساوي الناس في معرفته، والإحاطة بأن الشيئين إذا توازنا، وليس لأحدهما رُجحان على الآخر، فقد عادل هذا ذاك ككفَّتيِ الميزان.
ثم إنَّ من تعاطى التصنيف في العروض، من أهل هذا المذهب، فليس غرضه الذي يؤمّه أن يحصر الأوزان التي إذا بُني الشعر على غيرها لم يكن شعراً عربيّاً، وأنَّ ما يرجع إلى حديث الوزن مقصور على هذه البحور الستةَ عشرَ لا يتجاوزها. إنما الغرض حصر الأوزان التي قالت العرب عليها أشعارهَا. فليس تجاوز مقولاتها بمحظور في القياس، على ما ذكرت.
فصل أَسَاسُ الشِّعْرِ
أعلم أنّ أساس بناء الشعر شيئان: أحدهما مُركَّب من حرفين: إمَّا متحرّكٍ وساكنٍ، واسمه سَبَبٌ خفيفٌ، مثل لُنْ من فَعُولُنْ. وإمَّا متحرّكين، واسمه سببٌ ثقيل، مثل عَلَ من مُفاعَلَتُنْ.
والثاني مركَّب من ثلاثة أحرف: إمَّا متحرّكَين يتوسطهما ساكن، واسمه وَتدٌ مفروق، مثل لاتُ من مَفْعُولاتُ. وإمَّا متحرّكين يعَقبُهما ساكن، واسمه وَتِدٌ مجموع، مثل عِلُنْ من فاعِلُنْ.
وإذا اقترنَ السببان متقدّمِاً الثقيلُ منهما على الخفيف سُميَّ ذلك الفاصلةَ الصُّغرَى، مثل مُتَفا من مُتفاعِلُنْ. وإذا اقترن السبب الثقيل والوتد المجموع متقدّماً السبب على الوتد سُمَّي ذلك الفاصلةَ الكبرى، مثل فَعَلَتُنْ. ومنهم من سُمَّي الأولى فاصلة، والثانية فاضلة بالضاد المعجمة.
ثم إنه يَتركَّب منهما ثمانية أجزاء، تُسمَّى الأفاعيل والتَّفاعيل: اثنان منهما خماسيَّان، وستَّة سباعيّة. فأحد الخماسيين متركب من وتد مجموع، بعده سبب خفيف، وهو فَعُولُنْ. والثاني عكس هذا، أعني أنَّ سببه متقدّم على وتده، وهو فاعِلُنْ. ألا ترى أنك لو قلبت فعولن فقلت لُنْ فَعُو كان بوزن فاعلن. وكذلك لو قلبت فاعلن فقلت عِلُنْ فا كان بوزن فَعُولُنْ.
وأما السباعية فإنها على ثلاثة أصناف: منها ما هو متركب من سببين خفيفين ووتد مجموع، وهو ثلاثة أجزاء، وتسمى أركاناً أيضاً: أحدها سبباه متقدّمان على وتده المجموع، وهو مسَتْفعِلُنْ.
والثاني عكس هذا، أعني أن وتده متقدّم على سببيه، وهو مَفاعِيلُنْ. ألا ترى أنك لو قلت عِيْلُنْ مفا كان بوزن مُستَفْعِلُنْ. وكذلك لو قلت عِلُنْ مُسْتَفْ كان بوزن مَفاعِيلُنْ.
والثالث سبباه يكتنفان وتده، وهو فاعِلاتُنْ.
ومنها ما تركَّب من سببين: ثقيل وخفيف، وهو الذي يسمونه الفاصلة، ومن وتد مجموع. وهو جزءان: أحدهما وتده مقدّم على فاصلته، وهو مُفاعَلَتُنْ.
والثاني عكس هذا، أعني أن فاصلته متقدّمة على وتده، وهو مُتَفاعِلُنْ. ألا ترى أنك لو قلبت فقلت عِلُنْ مُتَفا وازنَ مُفاعَلَتُنْ. وكذلك لو قلت عَلَتُنْ مُفا وازنَ مُتَفاعِلُنْ.
ومنها ما تركَّب من سببين خفيفين ووتد مفروق، وهو مَفْعُولاتُ وحده.
فهذه هي الأصول التي بُنيَت أوزان العرب، عن آخرها، عليها، لا يشذّ منها شيء عنها. ولكلّ واحد من هذه الأصول فروع تتشعَّب منه.
ف فَعُولُنْ له ستة فروع: فَعُولُ، فَعُولْ، فَعْلُنْ، فَعْلُ، فَعُلْ، فَعْ.
فالأول: المقبوض. والقَبْضُ: إسقاطُ الخامس الساكن.
والثاني: المقصور. والقَصْر: إسقاط ساكن السبب وتسكين متحركة.
والثالث: الأثلم. والثَّلْم: أن تَخرِمَ سالماً والخَرْم: أن تُسقط أول الوتد المجموع في أول البيت. والسالم: الجزء الذي لا زِحاف فيه فيصير عُوْلُنْ، ويردّ إلى فَعْلُنْ.
والرابع: الأثرم. والثَّرْم: أن تَخرم مقبوضاً، فيصير عُولُ، ويردّ إلى فَعْلُ.
والخامس: المحذوف. والحَذْف: إسقاط السبب الخفيف من آخر الجزء فيصير فَعُو، ويردّ إلى فَعُلْ.
والسادس: الأبتر. والبَتْر أن يجتمع فيه الحذف والقطع. والقطع في الوتد كالقصر في السبب.
وفاعِلُن له فرعان: فَعِلُنْ، فَعْلُنْ.
فالأول: المخبون. والخَبْنُ أن تُسقِط ثاني سببه.
والثاني: المقطوع. صار فاعِلْ فردّ إلى فَعْلُنْ.
ومُسْتَفْعِلُنْ له أحد عشر فرعاً: مَفاعِلُنْ مُفْتَعِلُنْ، فَعَلتُنْ، مُستَفْعِلُ، مفَاعِلُ، مفَعْوُلُنْ، فَعُولُنْ، مُستفْعِلانْ، مفَاعِلانْ، مُفْتَعِلانْ، فَعَلتَانْ.
فالأول: المخبون. وقد ذكرنا الخَبْن. صار مُتَفْعِلُنْ، فردَّ إلى مَفاعِلُنْ.
والثاني: المَطويّ. والطَّيّ: إسقاط ساكن ثاني سببيه، وهو الفاء، فيصير مُسْتَعِلُنْ، ويردّ إلى مُفْتَعِلُنْ.
والثالث: المخبول. والخبل: أن يُجمع عليه الخبن والطيّ، فيصير مُتَعِلُنْ، ويردّ إلى فَعَلَتُنْ.
والرابع: المكفوف. والكفّ: إسقاط السابع الساكن.
والخامِس : ......................................
والسادس: المقطوع. صار مُستَفْعِلْ، فردّ إلى مَفْعُولُنْ.
والسابع: المكبولُ، وهو المخبون المقطوع. صار مُتَفْعِلْ، فردّ إلى فَعُولُنْ.
والثامن: المُذال. والإِذالة: أن يُزاد على تعريته حرف ساكن. والُمعرَّى لقب الجزء السالم من الزيادة.
والتاسع: المُذال المَخبون. صار مُتَفْعِلانْ، فردّ إلى مَفاعِلانْ.
والعاشر: المُذال المَطويّ. صار مُسْتَعِلانْ، فردّ إلى مُفْتَعِلانْ.
والحادي عشر: المُذال المَخبول. صار مُتَعِلانْ، فردّ إلى فَعَلتَانْ.
ومَفاعِيلُنْ له سبعة فروع: مفَاعِلُنْ، مفَاعِيلُ، مَفاعِيلْ، فَعُولُنْ، مَفْعُولُنْ، فاعِلُنْ، مَفْعُولُ.
فالأول: المقبوض.
والثاني: المكفوف.
والثالث: المقصور.
والرابع: المحذوق. صار مَفاعِيْ، فنقل إلى فَعُولُنْ.
والخامس: الأخرم. والخَرْم: أن تخرم سالماً. صار فاعِيلُنْ، فردّ إلى مَفْعُولُنْ.
والسادس: الأشتر. والشَّتْرُ: أن تخرم مقبوضاً فيصير فاعِلُنْ.
والسابع: الأخرب. والخَرْب: أن تخرم مكفوفاً. فيصير فاعِيلُ، ويردّ إلى مَفْعُولُ.
وفاعِلاتُنْ له أحد عشر فرعاً: فَعِلاتُنْ، فاعِلاتُ، فَعِلاتُ، فاعِلانْ، فَعِلانْ، فاعِلُنْ، فَعِلُنْ، فَعْلُنْ مَفْعُولُنْ، فاعِلِيَّانْ، فَعِليَّانْ.
فالأول: المخبون. وإنما يُسمَّى مخبوناً إذا وقع في أول البيت.
فأمَّا إذا وقع في حشوه فاسمه الصَّدْر. والصدر هو الذي خُبِنَ بالمعاقبة. والمعاقبة: أن يجوز إثبات الحرفين معاً، ولا يجوز إسقاطهما معاً. فالألف من فاعلاتن والنون منه، أو من فاعلاتن غيِره الواقعِ قبله يتعاقبان. فلك أن تقول فاعلاتن فا أو فاعلاتُ فا أو فاعلاتُنْ فَ. وليس لك أن تقول فاعلاتُ فَ. والجزء السالم من المعاقبة يُسمَّى بريئاً.
والثاني: المكفوف. وإذا كان بالمعاقبة فاسمه العجز.
والثالث: المشكول. ولا يخلو فَعِلاتُ من أن يقع في أول البيت، أو في حشوه. فإن وقع في أول البيت يُسمَّى المشكولَ العجز.
وإن وقع في الحشو يُسمَّى المشكولَ الطرفين، لأنه عوقب خبنه وكفه قبلاً وبعداً. وقد أجاز الخليل وأصحابة المعاقبة بين ساكني السببين الملتقيين، من آخر المصراع الأول، وأول المصراع الثاني. وأباها غيره.
والرابع: المقصور. صار فاعِلاتْ، فردّ إلى فاعِلانْ.
والخامس: المقصور المخبون. صار فَعِلات، فردّ إلى فَعِلانْ.
والسادس: المحذوف. صار فاعلا، فردّ إلى فاعِلُنْ.
والسابع: المحذوف المخبون. صار فَعِلا فردّ إلى فَعِلُنْ والثامن: الأبتر. صار فاعِلْ، فردّ إلى فَعْلُنْ.
والتاسع: المُشَّعث. والتشعيث: أن تُسقط أحد متحرّكي وتده.
فيصير فاعاتُنْ أو فالاتُنْ، ويردّ إلى مَفْعُولُنْ. أو أن تَخْبِنَ، وتسكن أول حرف من وتده، فيصير فَعْلاتُنْ، ثم يردّ إلى مَفعُولُنْ.
والعاشر: المُسبَّغُ. والتَّسبيغُ في السبب كالإِذالة في الوتد.
صار فاعِلاتانْ، فردّ إلى فاعِلِيَّانْ.
والحادي عشر: المُسبَّغ المخبون. فيصير فَعِليّانْ.
ومُفاعَلَتُنْ له ثمانية فروع: مَفاعِيلُنْ، مَفاعِلُنْ، مَفاعِيلُ، فَعُولُنْ، مَفْتَعِلُنْ، مَفْعُولُنْ، فاعِلُنْ، مَفْعُولُ.
فالأول: المَعصوب. والعَصْب: تسكين الخامس حتى يصير مُفاعَلْتُنْ، ويردّ إلى مَفاعِيلُنْ.
والثاني: المَعقول. والعَقْل: إسقاط خامسه بعد إسكانه، حتى يصير مُفاعَتُنْ، ويردّ إلى مَفاعِلُنْ.
والثالث: المنقوص. والنَّقْص: الكفّ بعد العَصْب، حتى يصير مُفاعَلْتُ، ويردّ إلى مَفاعِيلُ.
فالحاصل أن بين ساكني سببيه، بعد ما عُصب، معاقبةً.
فإسقاط الأول يسمَّى عقلاً. وإسقاط الثاني يسمَّى نقصاً.
والرابع: المقطوف. والقَطْف: الحذف بعد العصب، حتى يصير مَفاعِلْ، ويردّ إلى فَعُولُنْ.
والخامس: الأعضب. والعَضْبُ: أن تخرم سالماً، فيصير فاعَلَتُنْ. ويردّ إلى مُفْتعِلُنْ.
والسادس: الأقصم. والقَصْم: أن تخرم معصوباً. فيصير فاعَلْتُنْ، ويردّ إلى مَفْعُولُنْ.
والسابع: الأجمّ. والجَمَمُ: أن تخرم معقولاً. فيصير فاعَتُنْ، ويردّ إلى فاعِلُنْ.
والثامن: الأعقص. والعَقْصُ: أن تخرم منقوصاً. فيصير فاعَلْتُ، ويردّ إلى مَفْعولُ.
....................................................
فالأول: المضمر، والإضمار: أن تسكن الثاني. فيصير مُتْفاعِلُنْ، ويردّ إلى مُستَفْعِلُنْ.
والثاني: الموقوص. والوقَصْ: إسقاط الثاني بعد إسكاته. فيصير مُفاعِلنْ، ويردّ إلى مَفاعِلنْ.
والثالث: المخزول. والخَزْل: إسقاط الرابع بعد إسكان الثاني. حتى يصير مُتْفَعِلُنْ، ويرد إلى مُتْفَعِلُنْ، ويرد إلى مُفْتَعِلُنْ. فالحاصل أنه يلتقي بعد الإضمار سببان: فيتعاقب ساكناهما.
والرابع: المقطوع. صار مُتَفاعِلْ فردّ إلى فَعِلاتُنْ.
والخامس: المقطوع المضمر. صار مُتْفاعِلْ فردّ إلى مَفْعُولُنْ.
والسادس: الأحذّ. والحَذَذَ: سقوط الوتد المجموع. حتى يصير مُتَفا، ويردّ إلى فَعلُنْ.
والسابع: الأحذ المضمر. صار مُتْفا، فردّ إلى فَعْلُنْ.
والثامن: المُذال.
والتاسع: المُذال المُضمر.
والعاشر: المُذال المَوقوص.
والحادي عشر: المُذال المَخزول.
والثاني عشر: المُرفَّل. والتَّرفيل: زيادة السبب الخفيف على تعريته حتى يصير مُتَفاعِلاتُنْ.
والثالث عشر: المُرفَّل المُضمر.
والرابع عشر: المُرفَّل المَوقوص.
والخامس عشر: المُرفَّل المخزول.
ومَفْعُولاتُ له أحد عشر فرعاً: فَعُولاتُ، فاعِلاتُ، فَعِلاتُ، مَفْعُولانْ، فَعُولانْ، فاعِلانْ، مَفْعُولُنْ، فَعُولُنْ، فاعِلُنْ، فَعِلُنْ، فَعْلُنْ.
فالأول: المخبون. صار مَعُولاتُ، فردّ إلى فَعُولاتُ.
والثاني: المَطويّ. صار مَفْعُلاتُ، فردّ إلى فاعِلاتُ.
والثالث: المخبول. صار مَعُلاتُ، فردّ إلى فَعِلاتُ.
والرابع: الموقوف. والوقف: أن تسكن آخر متحركي وتده المفروق، فيصير مَفْعُولاتْ، ويردّ إلى مَفْعُولانْ.
والخامس: الَموقوف المَخبون.
والسادس: المَوقوف المَطويّ.
والسابع: المكسوف بالسين غير المعجمة، والشينُ تصحيف.
والكسف: أن تحذف آخر متحر كي وتده المفروق. فيبقى مَفْعُولا ويردّ إلى مَفْعُولُنْ.
والثامن: المَكسوف المَخبون.
والتاسع: المَكسوف المَطويّ.
والعاشر: المَكسوف المَخبول.
والحادي عشر: الأصلم. والصَّلْم: أن تسقط الوتد المفروق. فيبقى مَفْعُو، ويردّ إلى فَعْلُنْ.
ولا نريد أن الفروع، المذكورة عند كل أصل، أينما وقع جازت فيه. وإنما يجوز فيه بعضها أو كلّها، في بعض المواضع، دون بعض. ويتضَّح لك جليَّة ذلك إذا استقريتَ أبيات الشواهد. لكنِ المرادُ أنّ كلّ أصل منها هذه فروعه، على الإطلاق.
ولا يكون له فروع وراءها.
فصل تَرْكِيْبُ بحور الشِّعر
وقد سلكوا في تركيب بحور الشعر، من هذه الأجزاء الثمانية، أربعة طرق: أحدها: أنهم كرَّروا الجزء الواحد بعينه، من غير أن يُصحِبوه غيره. وذلك في جميعها، ما خلا واحداً وهو مفعولات.
ف فعولن ثماني مرات يسمى المتقارب.
و فاعلن ثماني مرات يسمى الرَّكْض.
و مستفعلن ست مرات يسمى الرَّجَز.
و مفاعيلن ست مرات يسمى الهَزَج.
و فاعلاتن ست مرات يسمى الرَّمَل.
ومتفاعلن ست مرات يسمى الكامل.
ومفاعلتن ست مرات يسمى الوافر.
والثاني: أنهم أزوجوا بين جزأين، كأنّ كل واحد منهما هو الآخر. وذلك إزواجهم بين مستفعلن ومفعولاتُ، لأنهما على نسق واحد، في تقدم السببين، وتأخر الوتد. لا فرق بينهما إلاَّ أن وتد ذلك مجموع، ووتد هذا مفروق. وهذا بمنزلة تكريرهم الجزء الواحد، كما هو. ف مفعولات وإن فارق سائر الأجزاء، في أنْ لم يكرّر وحده، فقد كِرّر مع جزء لا يكاد يبُاينه.
ومستفعلن مستفعلن مفعولات مرتين يسمى السَّريع.
ومستفعلن مفعولاتُ مستفعلن مرتين يسمى المنسرح.
ومفعولاتُ مستفعلن مستفعلن مرتين يسمى المقتضب.
والثالث: أنهم أزوجوا بين خماسيّ وسباعيّ، لو حذف من السباعيّ ما طال الخماسيّ لم يتباينا، في الوزن. وذلك إزواجهم بين فعولن ومفاعلين؛ ألا ترى أنك لو حذفت لُنْ من مفاعيلن وجدت مَفاعي جارياً على فعولن. وبين مستفعلن وفاعلن؛ ألا ترى أنك لو حذفت مُسْ من مُستفعلُن وجدت تَفْعِلن جارياً فاعلن. وبين فاعلاتن وفاعلن؛ ألا ترى أنك لو حذفت تُنْ من فاعلاتن جرى فاعلا على فاعلن.
ف فعولن مفاعيلن أربع مرات يسمى الطويل.
و فاعلاتن فاعلن أربع مرات يسمى المديد.
و مستفعلن فاعلن أربع مرات يسمى البسيط.
والرابع: أنهم أزوجوا بين سباعيَّين، لو رددتهما إلى الخماسيّ، بحذف سبب من كل واحد منهما، توازنا. وذلك إزواجهم بين فاعلاتن ومستفعلن؛ لأنك لو حذفت تُنْ من فاعلاتن ومُسْ من مستفعلن، بقي فاعلا وتَفْعِلُنْ متوازنين. وبين مفاعيلن وفاعلاتن، لأنك لو حذفت لُنْ من مفاعيلن، وفا من فاعلاتن، بقي مفاعي وعلاتن متوازنين.
ف فاعلاتن مستفعِ لُنْ فاعلاتن مرتين يسمى الخفف.
و مستفعِ لُنْ فاعلاتن فاعلاتن مرتين يسمى المجتث.
ومفاعيل فاعِ لاتُنْ مفاعيلُن مرتين يسمى المضارع.
ثم إن بعض هذه البحور يشابك بعضا ًبأن ينفكّ هذا عن هذا. ومثال ذلك أنك لو عمدت إلى الوافر فزحلَفْتَ وتده الواقع في صدر البيت إلى عجزه. فقلت: عَلَتُنْ مُفا، عَلَتْنْ مُفَا، عَلَتُنْ مُفا،عَلَتُنْ مُفا،عَلَتُنْ مَفا،علتن مفا وجدت الكامل قد انفكّ عن الوافر. وكذلك لو زَحلفتَ الفاصلة الأولى من الكامل إلى العجز، فقلت: عِلُنْ مُتَفا، عِلُنْ مُتَفا، عِلُنْ مُتَفا، عِلُنْ مُتَفا، عِلُنْ مُتَفا، عِلُنْ مُتَفا وجدت الوافر منفكاً عن الكامل.
وهذه الشبكة الفكَّية بين الطويل والمديد والبسيط، وبين الوافر والكامل، وبين الهزج والرجز والرمل، وبين السريع والمنسرح والخفيف والمضارع والمقتضب والمجتثّ، وبين المتقارب والركض.
وهذه الدوائر تطلعك على كيفيّة الأمر، في فكّ بعضها عن بعض. وصورةُ المتحرّك شِبهُ ميم، وصورةُ الساكن شِبهُ ألف.
فصل كيفية تقطيع الأبيات
وكيفية تقطيع الأبيات أن تَتَّبع اللفظ، وما يؤدّيه اللسان، من أصداء الحروف، وتُنكّبَ عن اصطلاحات الخطّ جانباً، فلا يُلغى التنوين، ولا الحرف المدغم، ولا واو الإطلاق، ولا ألفه، ولا ياؤه، لأنها أشياء ثابتة في اللفظ. وتلغى ألفاتُ الوصل الواقعة في الدَّرج، وألف التثنية التي لاقاها ساكن بعدها، وغيرُ ذلك مما لا يلفظ به. وأن تنظر إلى نفوس الحركات مطلقة، دون أحوالها.
وهذه أبيات البحور السالمةُ الأجزاء، المُعرَّاتُها، كتبتها على الصورة التي يجب أن يكون عليها التقطيع، اختصاراً للطريق إلى الوقوف على كيفيته.
طويل:
سقللا هر بعيأم معمرن وإنمحت ... مغاني هما سححن منلوب لهططالا
مديد:
بينهممش بوبتن تصطليها فتيتن ... ماجنوفي هاولا مثلشخبش شائلي
بسيط:
نار لقرى أوقدو قصر نلغا شيكمو ... نيرانكم خيرها نالقرى مُوقده
وافر:
وعندكمو مصادقمن وقائعنا ... فمالكمو لدى حملا تناثبتو
كامل:
وإذا صحو تفما أقص صرعن ندن ... وكما علم تشمائلي وتكررمي
هزج:
لقد شاقت كفلأ حدا جأظعانو ... كما شاقت كيوملبي نغربان
رجز:
دار نلسل مي إذ سلي مي جارتن ... قفر نتري أاياتها مثلززر
رَمَل:
أانساتن ناعماتن فيخدورن ... قاتلاتن بلعيونل فاتراتي
سريع:
إننبنعب دلقيسعن نجدنسارَ ... ما أنجدت أصحابهو إللاغار
منسرح:
إننلهما ملقرملل ذيزرتهو ... ألفيتهو كالبحرلل ذييزخرو
خفيف:
حلل أهلي ما بيندر ني فبادو ... لي وحللت علوييتن بسسخالي
مضارع:
رمتقلبي يومحزوى بعينيها ... فأصمتهو نافذاتن منننبلي
مقتضب:
خففت عبس عن أرضها فستبدلت ... قومنجار همبلعشا ياساغبو
مجتث:
لا تسقني خمرعامن وسقنيها ... دهرييتن عتتقت في عهد أادم
متقارب:
فأمما تميمن تميمب نمررن ... فألفا هملقو مروبي نياما
ركض:
حاربو قومهم ثمملم يرعوو ... لصصلا حللذي خيرهو راهنو
فصل أبيات شواهد
وإذ قد فرغتُ عن ذكر الأصول وفروعها، وعن تركيب البحور، والدوائر، والأشعار بكيفيّة التقطيع، لم يبق عليّ إلاَّ سوق أبيات الشواهد، ليُعرف بها الجائز في بناء كلّ بحر من غير الجائز، ولتستبين مواقع الفروع المذكورة من الأصول.
وأقدّم قبل أن أسوقها، ألقاباً شتَّى، لا بدَّ من الإِحاطة بها: فأول أجزاء المصراع الأول صدر، وآخرها عروض. وأول أجزاء المصراع الثاني ابتداء، وآخرها ضربٌ، وعَجُزٌ، وقافيةٌ عند بعضهم. والمتوسَّط من الأجزاء في المصراعين حَشْو.
ولا يجوز الخرم، عند الأكثر، إلاَّ في الصدر. وقد جوَّزوا في الابتداء، كقوله:
فَلمَّا أتاني، والسَّماءُ تَبُلُّهُ ... قُلت لهُ: أهلاً وسَهلاً ومَرحبَا
وقد جمع الآخر الأمرين جميعاً، في قوله:
لكنْ عُبيدُ اللهِ لمّا أتيُتُه ... أعطىَ عطاءً، لا قليلاً، ولا نَزْرا
والموفور: الذي لا خرم فيه.
وأما الخزم بالزاي فلا يكون، بالاتفاق إلاَّ في الصدر. وهو زيادة حرف، كقوله:
وإذا أنتَ جازيتَ أمرأَ السّوءِ فِعلَهُ ... أتيتَ من الأخلاقِ ما ليس راضيا
أو حرفين، كقوله:
قد فاتَنِي، اليَومَ، من حَدي ... ثِكَ، ما لَستُ مُدْرِكَهْ
أو ثلاثة أحرف، كقوله:
إذا خَدِرَت رِجلي ذكرتُكِ، يا ... فَوزُ، كيما يَذهبُ الخَدَرُ
أو أربعة أحرف، كقوله:
اشْدُدْ حيازِيمَكَ، للَموتِ ... فإنَّ الموتَ لاقِيكا
فإذا خالف الصدر سائر أجزاء البيت بحزم أو زحاف سمّي ابتداء. وإذا خالفت العروض سائر أجزاء البيت بنقصان أو زيادة لازمة سميت فصلاً. والضرب إذا كان كذلك سميّ غاية. وإذا زيد على آخر الضرب زيادة ليست منه سمَّي زائداً. وإذا لم تلحقه هذه الزيادة سمي مُعَرّى.
وإذا توالت في الضرب أربع حركات واقعة بين ساكنين، ك فَعَلَتُنْ إذا وقعت ضرباً بعد جزء آخره نون ساكنة، كقولك: مستفعلن فعلتن، ف فَعَلَتُ أربع حركات متوالية، قد توسطت بين نون ساكنين، سمّي المتكاوس. وإذا توالت فيه ثلاث حركات، بين ساكنين، ك مفاعلتن ومفتعلن، سمّي المتراكب. وإذا توالى فيه متحركان بين ساكنين، ك متفاعلن، سمّي المتدارك. وإذا كان فيه حرف متحرك بين ساكنين، ك مفاعيلن، سمّي المتواتر. وإذا اجتمع فيه ساكنان، ك مستفعلان، سمّي المترادف.
وكلّ واحد من العروض، والضرب، إذا خالف الحشو، بسلامة، أو زحاف، سمّي معتلاًّ. وكذلك المصراع الذي يقع فيه. وإذا كان مثل الحشو سمّي البيت حشواً.
وإذا سلم العروض والضرب من الانتقاص، وهو الحذف اللازم، سمّي الصحيح. وكل جزء سقط ساكن سببه، أو سكّن متحرّكه، سمّي مُزاحَفاً. وإلاَّ فهو سالم. وكل جزء ترك فيه حرفان منه زائدان على الاعتدال فهو المتمَّم، كما جاء فاعلاتن في الضرب الأول من الرمل، وعروضه فاعلن.
ويسمَّى المصراع الأول صدراً وعروضاً، والثاني عجزاً وضرباً، وقافية عند بعضهم.
وكل مصراع يستوفي دائرته فهو التام. وإذا لم يأت الانتقاص على جميع جزئه الأخير فهو الوافي. وإذا أتى عليه فهو المجزوء. وإذا أتى على جزأين منه فهو المنهوك. والبيت المعتدل: الذي استُوفي مصراعاه من خير خُلف بين أجزائهما. والمشطور: الذي ذهب شطره. والمخلَّع: مسدّسُ البسيط. والمراقبة بين الحرفين: إلاَّ يجوز سقوطهما، ولا ثبوتهما معاً، كما في فاء مفعولات وواوها في المقتضب. والمعاقبة: ما يجوز ثبوتهما معاً، ولا يجوز سقوطهما معاً، كما بين سببي مفاعيلن في المضارع.
أبيات الشواهد
الطويل
هو في البناء مثمّن، كما هو في الدائرة. وله عروض واحدة مقبوضة، وضروبها ثلاثة: السالم: مقبوض العروض سالم الضرب:
أبا مُنذِرِ، كانتْ غُروراً صَحيفَتي ... فلم أُعطِكم في الطَّوعِ مالي، ولا عِرضِي
مقبوض العروض والضرب:
ستُبدِي لكَ الأيَّام ما كنتَ جاهلاً ... ويأتيكَ بالأخبارِ مَن لم تَزوّدِ
مقبوض العروض محذوف الضرب:
أقيموا، بَني النُّعمان، عنَّا صُدُوركم ... وإلاَّ تُقيموا، صاغرينَ، الرُّؤوسا
وفعولن الواقع قبل الضرب المحذوف، لا يكاد يجيء إلا مقبوضاً، كقوله:
وما كلُّ ذِي لُبٍّ بمؤتيكَ نُصحَهُ ... وما كلُّ مُؤتٍ نُصْحَهُ بلَبيتِ
ولا يجوز الحذف، في سائر الأجزاء، إلاَّ أن يكون البيت مصرَّعاً، فيقع في عروضه. وقد جُوّز في عروض البيت، غير المصرَّع، كقوله:
جَزىَ اللهُ عَبساً، عَبس آلِ بَغيضٍ ... جزاءَ الكلابِ النَّابحاتِ، وقد فَعَلْ
وقد روُي عن المفضَّل قوله:
ثيِابُ بَني عَوفٍ طهَارَى، نَقَّيةٌ ... وأوجهُهُم، عندَ المَشاهدِ، غُرَّانْ
المزاحف: مقبوض:
أتطلُبُ مَن أُسودُ بِيشةَ دُونَهُ ... أبو مَطَرٍ، وعامرٌ، وأبو سَعْدِ؟
مكفوف:
شاقتْك أحداجُ سُليمى، بعاقلٍ ... فعَيناكَ، للبَينِ، تَجودانِ بالدمعِ
أثرم:
هاجَكَ رَبَعٌ، دارسُ الرَّسمِ بِالّلوى ... لأسماءَ، عَفَّى آيَهُ المُورُ، والقَطْرُ
أثلم:
لكنَّ عبدَ اللهِ لمّا أَتيتُهُ ... أعطَى عطَاءً، لا قليلاً ولا نَزْرا
المديد
هو، في البناء، على نوعين: مربَّع ومسدَّس.
المسدَّس السالم: العروض الأولى وضربها واحد، كقوله:
يا لَبَكرٍ، أنشِروا لي كُلَيباً ... يا لَبكرٍ، أينَ أينَ الفِرارُ؟
سالم العروض والضرب.
العروض الثانية عروضها واحدة وضروبها ثلاثة: محذوف العروض مقصور الضرب:
لا يَغرَّنَّ امرَأً عَيْشُهُ ... كلُّ عَيشٍ صائرٌ للزَّوالْ
محذوف العروض والضرب:
اعْلَمُوا أنّي، لكم، حافِظٌ ... شاهداً ما كنتُ، أم غائبا
محذوف العروض أبتر الضرب:
إنَّما الذَّلفاءُ ياقُوتةٌ ... أُخرِجَتْ، من كيسِ دِهقانِ
محذوف العروض والضرب، مخبونهما:
للفَتى عَقلٌ، يَعيشُ بهِ ... حيثُ تَهدِي ساقَهُ قَدَمُهْ
محذوف العروض مخبونها، أبتر الضرب:
ربَّ نارٍ بِتُّ أرمُقُها ... تَقضَمُ الهِندِيَّ، والغارا
وعن الكسائي أن هذين البيتين من البسيط، بإلقاء مستفعلن من صدره.
المُسدّس المُزاحَف: مخبون:
ومتى مايَعٍ، منكَ، كلاماً ... يَتكلَّمْ، فيُجبْكَ بعَقْلِ
مكفوف:
لَن يَزالَ قَومُنا مُخْصبِيِنَ ... صالحِينَ، ما اتَّقوا، واستقامُوا
عجز وطرفان:
لمنِ الدّيارُ، غَيَّرَهنَّ ... كلُّ داني المُزْنِ، جَونِ الرَّبابِ؟
المربَّع: جاء لأهل الجاهلية عليه غيرُ شعر، إلاَّ أنّ الخليل أغفله:
يا لَبَكرٍ، لا تَنُوا ... ليسَ ذا حِينَ وَنَى
دارتِ الحَربُ رَحاً ... فادْفُعوها، بِرحَا
بُؤسَ للحَربِ التَّي ... تَرَكَتْ قومِي سُدَى
طافَ، يَبغِي نَجوةً ... مِنْ هَلاكٍ، فَهَلَكْ
وهو عند الزجَّاج من مجزوء الرمل، المحذوف العروض والضرب. قال: وأكثر ما رأيته جاء في هذا فَعِلُنْ.
البسيط
هو، في البناء، على نوعين: مثَّمن، ومسدّس، وهو المخلَّع الذي ذكرنا.
المثَّمن السالم: مخبون العروض والضرب:
يا حارِ، لا أُرمَيَنْ منكم، بداهيةٍ ... لم تَلقَها سُوقةٌ، قَبلي، وما مَلِكُ
مخبون العروض مقطوع الضرب:
قد أشهَدُ الغارةَ الشَّعواءَ تحمِلُني ... جَرداء مَعروقةُ اللّحييَنِ سُرحُوبُ
ولا يجوز مكان العين في فَعْلُنْ إلاَّ التليين. وهو أن يكون ألفاً أو واواً أو ياء.
المثَّمن المُزاحَف: مخبون:
لقد خَلَتْ حِقَبٌ، صُروفُها عَجَبٌ ... فأحدثَتْ غِيراً، وأعقَبتْ دُوَلا
مطويّ:
ارتَحلُوا غُدوةً، وانطلقَوُا بُكَراً ... في زُمَرٍ منهمُ، تتَبُعها زُمَرُ
مخبول:
وزَعَموا أنَّهم لَقِيَهُم رَجُلٌ ... فأخذُوا مالَهُ، وضَربُوا عُنُقَهْ
المسدّس السالم العروض، ولها ثلاثة أضرب:
إنا ذَمَمْنا، على ما خَيَّلَتْ، ... سَعْد بنَ زيدٍ، وَعمراً من تَميم
سالم العروض مذال الضرب.
سالم العروض والضرب:
ماذا وُقُوفي على رَبعٍ، خَلا ... مُخلَولِقٍ، دارسٍ، مُستعجِمِ؟
سالم العروض مقطوع الضرب:
سيرُوا معاً، إنَّما مِيعادُكم ... يومَ الثلاثاءِ، بَطنَ الوادي
مقطوع العروض والضرب:
ما هَيَّجَ الشَّوقَ، من أطلالٍ ... أضحَتْ قِفاراً، كَوحيِ الواحي
العروض الثانية، ولها ضرب واحد.
المسدّس المُزاحَف: مطويّ:
يا بِنتَ عَجْلانَ، ما أصبَرنَي ... على خُطُوبٍ، كنَحتٍ بالقَدُومْ!
مذال مخبون الضرب:
إنَّي لَمُثْنٍ عليها، فاسمُعوا ... فيها خِصالٌ، تُعَدُّ، أربَعُ
مخبول الضرب:
ماذا تَذَكَّرتَ من زَيدِيَّةٍ ... بَيضاءَ، حَلَّتْ جَنُوبَ مَلَلِ؟
مكبول العروض والضرب:
أصبحتُ والشَّيبُ قد عَلانِي ... يَدعُو حَثيثاً، إلى الخِضابِ
مخبون مذال:
قد جاءَكم أنَّكم يَوماً، إِذا ... ما ذُقُتُم المَوتَ، سوف تُبعَثُونْ
مطويّ مذال:
يا صاحِ، قد أخلفَتْ أسماءُ ما ... كانتْ تُمنّيِكَ، مِن حُسنِ وِصالْ
مخبول مذال:
هذا مَقامي، قريباً مِن أخي ... كلُّ امريءٍ قائمٌ معَ أخِيهْ
الوافر
هو، في البناء، على نوعين: مسدّس ومربّع: والمسدّس السالم: مقطوف العروض والضرب. العروض واحدة وضربها واحد:
لنا غَنَمٌ، نُسوّقُها، غِزارٌ ... كأنَّ قُرُونَ جلتَّهِا العِصِيُّ
ولا يجوز في فعولن هذا زحاف. ومثلُ قول الحطيئة:
فَضَلتَ، عنِ الرّجالِ، بخَصلتيَنِ ... وَرِثتَهما، كما وُرِثَ الوَلاءُ شاذّ.
المسدّس المُزاحَف: معصوب:
إذا لم تَستِطعْ شَيئاً فَدَعْهُ ... وجاوِزْهُ، إِلى ما تَستطيِعُ
منقوص:
لسَلاَّمةَ دارٌ، بِحَفيرٍ ... كباقي الخَلَقِ، السَّحْقِ، قِفارُ
معقول:
مَنازلٌ، لِفَرْتَنَي، قِفارٌ ... كأنَّما رُسُومُها سُطُورُ
أعضب:
إنْ نَزَلَ الشّتِاءُ بدارِ قَومٍ ... تَجَنَّبَ جارَ بَيتهِمُ الشّتِاءُ
أقصم:
ما قالُوا لنا سَدَداً، ولكنْ ... تَفاحَشَ قَولُهمُ، وأتَوا بهُجْرِ
أجمّ:
أنتَ خَيرُ مَن رَكِبَ المَطايا ... وأكرمَهُمُ أخاً، وأباً، وأُمَّاً
أعقص:
لَولا مَلِكٌ، رَؤُفٌ، رَحِيمٌ ... تَدارَكنَي، برَحْمِتِه، هَلكتُ
المربَّع السالم، سالم العروض والضرب:
لقد عَلِمتْ رَبيعةُ أنَّ ... حَبلَكَ واهنٌ، خَلَقُ
سالم العروض معصوب الضرب:
عَجبتُ لَمْعشَرٍ، عَدَلُوا ... بُمعتَمِرٍ أبا عَمرِو
وقد جاء القطف في ضرب المربَّع. قال:
بكيتَ، وما يَرُدُّ لك ال ... بُكاءُ، على الحَزِينِ؟
المربَّع المزاحَف معصوب:
أهاجَكَ مَنزِلٌ أقْوَى ... وَغيَّر آيَةُ الِغَيرُ؟
الكامل
هو، في البناء، على نوعين: مسدّس، ومربَّع.
المسدّس السالم، سالم العروض والضرب:
وإذا صَحَوتُ فما أُقَصّرُ عن نَدىً ... وكما عَلِمتِ شَمائلي، وتَكرُّمي
سالم العروض مقطوع الضرب:
وإذا دَعَونَك عَمَّهنَّ فإِنَّهُ ... نَسَبٌ، يَزيدُكَ عندَهنَّ خَبالا
سالم العروض أحذَ الضرب مضمره:
لَمنِ الدّيارُ، برامتَيَنِ، فعاقلٍ ... دَرسَت وغَيَّر آيَها القَطرُ؟
العروض الثانية، ولها ضربان: أحذّ العروض والضرب:
لِمَنِ الدّيِارُ، مَحا مَعارِفَها ... هَطِلٌ أَجشُّ، وبارِحٌ تَرِبُ؟
أحذّ العروض أحذّ الضرب مضمره:
ولأنتَ أشجَعُ من أُسامةَ، إذْ ... دُعِيتْ: نَزالِ، ولُجَّ في الذُّعْرِ
وقد جاء عن العرب فَعِلُنْ في الضرب، والعروضُ متفاعلن. وأباه الخليل. قال:
عَهدي بها، حِيناً، وفيها أهلُها ... ولكلّ دارٍ نُقلةٌ، وبَدَلْ
أحذّ الضرب.
ولا تجوز الإِذالة، ولا الترفيل، في المسدّس. وقد شذّ مثلُ قوله:
يَهَبُ المِئِينَ مع الِمِئينَ، وإنْ تتا ... بَعَتِ السّنِونَ فنارُ عَمرٍ وخَيرُ نارْ
مذال مضمر، ومثل قوله:
ولنا تِهامةُ، والنُّجُودُ، وخَيلُنا ... في كلٍّ فجٍّ ما تَزالُ تثُيرُ غارهْ
مرفَّل.
وقول حسان:
لِمَنِ الصَّبيُّ، بجانبِ ال ... بَطحاءِ، مُلقىً، غَيرَ ذِي مَهدِ؟
من الضرب الثالث، محذوف الصدر، يتمُّ ب مَنْ مُخْبِرِيْ.
المسدّس المزاحَف: مضمر:
إنّي امرؤٌ من خَيرِ عَبْسٍ، مَصِباً ... شَطرِي، وأحمي سائرِي بالمُنصُلِ
مقطوع مضمر:
ولقد أبِيتُ من الفَتاةِ، بمَنزلٍ ... فأبيتُ لا حَرِجٌ، ولا مَحُرومٌ
موقوص:
يَذُبُّ، عنَ حرِيِمهِ، بنَبِلِه ... وسَيِفِه، ورُمْحِهِ، ويَحتمي
مخزول:
مَنزِلةٌ صَمَّ صَداها، وَعفَتْ ... أرسُمُها، إنْ سُئلتْ لم تُجِبِ
المربَّع السالم، سالم العروض، مرفَّل الضرب:
ولقد سبَقَتَهُمُ إليّ ... فلِمْ نَزَعْتَ، وأنت آخِر؟
سالم العروض مُذال الضرب:
جَدَثٌ، يكونُ مُقامُهُ ... أبداً، بُمختلَفِ الرّياحْ
سالم العروض، والضرب:
وإذا افتَقَرتَ فلا تَكنْ ... متُخَشِعّاً، وتَجَمَّلِ
سالم العروض مقطوع الضرب:
وإذا هُمُ ذكروُا الإِسا ... ءةَ أكثَرُوا الحَسَناتِ
المربَّع المُزاحَف: مضمر:
وإذا الهَوى كَرِهَ الهُدى ... وأبى التُّقى، فاعصِ الهَوى
مقطوع مضمر:
وأبو الحُليسِ، ورَبِّ مكَّس ... ةَ فارغٌ، مَشغُولُ
موقوص:
ولوَ أنها وُزنِتْ شمَا ... مِ، بِحلِمهِ، لشالتِ
مخزول:
خُلِطتْ مَرارتُها لنا، ... بَحلاوةٍ، كالعَسَلِ
مضمر مذال:
وإذا افتَقرتُ، أو اختُبِرْ ... تُ، حَمِدتُ رَبَّ العالَميِنْ
موقوص مُذال:
كُتِبَ الشَّقاءُ عليهما ... فهما لهُ ميُسَّرانْ
مخزول مُذال:
وأجِبْ أخاكَ، إذا دعا ... كَ، مُعالِناً، غيرَ مُخافْ
مضمر مرفَّل:
وغَرَرتَني، وزَعَمتَ أنَّ ... كَ لاِبنٌ، بالصَّيفِ، تامِرْ
موقوص مرفَّل:
ولقد شَهِدتُ وَفاتَهم ... وَنقلتُهم، إلى المَقابرْ
مخزول مرفَّل:
صَفَحُوا عن ابِنكَ، إنّ في اب ... نِكَ حِدَّةً، حينَ يُكلَّمْ
الهزج
لم يُستعمل إلاَّ مجزوءاً.
السالم: سالم العروض والضرب:
عفا من آل ليلى، السَّهْ ... بُ، فالأملاحُ، فالغَمْرُ
سالم العروض محذوف الضرب:
وما ظَهرِي، لباغي الضَّيْ ... مِ، بالظَّهر، الذَّلْولِ
المُزاحَف: مقبوض:
فقلتُ: لا تَخَفْ شيئاً ... فما عليكَ من بأسِ
وإنما يجوز القبض، في صدره، وابتدائه، دون عروضه، وضربه. وقال الزجاج: إن جاء لم يُستَنكرْ: مكفوف:
فهذانِ يَذُودانِ ... وذا، مِن كَثَبٍ، يَرْمِي
أخرم:
أدَّوا ما استعارُوهُ ... فإنَّ العَيشَ عاريَّهْ
أشتر:
في الذَّيِنَ قد ماتُوا ... وفيما جَمَّعُوا، عِبْرَهْ
أخرب:
لو كانَ أبُو بِشْرٍ ... أميراً ما رَضِيناهُ
الرجز
وهو، في البناء، على أربعة أنواع: مسدّس، ومربَّع، ومشطور، ومنهوك.
المسدّس السالم: سالم العروض والضرب:
دارٌ لسَلمى، إذ سُليَمى جارةٌ ... قَفْرٌ، تَرَى آياتِها مِثلَ الزُّبُرْ
سالم العروض مقطوع الضرب:
القَلبُ منها مُستَرِيحٌ، سالمٌ ... والقَلبُ منّي جاهدٌ، مَجهُودُ
المسدّس المُزاحَف: مخبون:
فطالمَا، وطالمَا، وطالمَا ... سَقَى، بكَفِّ خالدٍ، وأطعَما
مطويّ:
ما وَلدَتْ والدةٌ من وَلَدٍ ... أكرمَ من عَبدِ منَافٍ، حَسبَا
مخبول:
وثِقَلٍ مَنَعَ خَيرَ طَلَبٍ ... وعَجَلٍ مَنَعَ خَيرَ تُؤَدَهْ
المربَّع السالم: سالم العروض والضرب:
قد هاجَ قَلبي مَنزِلٌ ... من أمِّ عَمروٍ، مُقفِرُ
المربَّع المُزاحَف: مطويّ العروض والضرب:
هل يَستوِي، عندَكَ، مَن ... تَهوَى، ومَن لا تَمِقُهْ؟
مخبول:
لامَتْكَ بنْتُ مَطَرٍ ... ما أنت وابنةَ مَطَرْ؟
المشطور السالم، وهو عند الخليل ليس بشعر:
ما هاجَ أحزاناً، وشَجْواً، قد شَجا
Jumat, 19 Maret 2010
KPU & KPK
KOMISI PEMILIHAN UMUM DAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Tata Negara
Oleh dosen pengampu : Drs. Imron Rosyadi, M.Ag.
/media/CHARIST-EAS/logo-logo penting/unmuh surakarta.jpg
disusun oleh :
Haris Firmansyah I 000090015
Yeni Wahyuningsih I 000070027
JURUSAN SYARI’AH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2009
Komisi Pemilihan Umum
1. Sejarah Komisi Pemilihan Umum.
Secara institusional, Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang ada sekarang merupakan KPU ketiga yang dibentuk setelah Pemilu demokratis sejak reformasi 1998. KPU pertama (1999- 2001) dibentuk dengan Keppres No 16 Tahun 1999 yang berisikan 53 orang anggota yang berasal dari unsur pemerintah dan Partai Politik dan dilantik oleh Presiden BJ Habibie. KPU kedua (2001-2007) dibentuk dengan Keppres No 10 Tahun 2001 yang berisikan 11 orang anggota yang berasal dari unsur akademis dan LSM dan dilantik oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada tanggal 11 April 2001. KPU ketiga (2007-2012) dibentuk berdasarkan Keppres No 101/P/2007 yang berisikan 7 orang anggota yang berasal dari anggota KPU Provinsi, akademisi, peneliti dan birokrat dilantik tanggal 23 Oktober 2007 minus Prof. DR. Ir. Syamsul Bahri, M.S yang urung dilantik Presiden karena masalah hukum.
Tepat 3 (tiga) tahun setelah berakhirnya penyelenggaraan Pemilu 2004, muncul pemikiran di kalangan pemerintah dan DPR untuk meningkatkan kualitas pemilihan umum, salah satunya kualitas penyelenggara Pemilu. Sebagai penyelenggara pemilu, KPU dituntut independen dan non-partisan.
Untuk itu atas usul insiatif DPR RI menyusun dan bersama pemerintah mengesahkan UU Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu. Sebelumnya keberadaan penyelenggara Pemilu terdapat dalam Pasal 22 E Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD, UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Dalam UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu diatur mengenai penyelenggara Pemilihan Umum yang dilaksanakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Sifat nasional mencerminkan bahwa wilayah kerja dan tanggung jawab KPU sebagai penyelenggara Pemilihan Umum mencakup seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sifat tetap menunjukkan KPU sebagai lembaga yang menjalankan tugas secara berkesinambungan meskipun dibatasi oleh masa jabatan tertentu. Sifat mandiri menegaskan KPU dalam menyelenggarakan Pemilihan Umum bebas dari pengaruh pihak mana pun.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu juga mengatur kedudukan panitia pemilihan yang meliputi PPK, PPS, KPPS dan PPLN serta KPPSLN yang merupakan penyelenggara Pemilu yang bersifat ad hoc. Panitia tersebut mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan semua tahapan penyelenggaraan Pemilu dalam rangka mengawal terwujudnya Pemilu secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Dalam rangka mewujudkan KPU dan Bawaslu yang memiliki integritas dan kredibilitas sebagai Penyelenggara Pemilu, disusun dan ditetapkan Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Agar Kode Etik Penyelenggara Pemilu dapat diterapkan dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum, dibentuk Dewan Kehormatan KPU, KPU Provinsi, dan Bawaslu.
Di dalam UU Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD, jumlah anggota KPU adalah 11 orang. Dengan diundangkannya UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, jumlah anggota KPU berkurang menjadi 7 orang. Pengurangan jumlah anggota KPU dari 11 orang menjadi 7 orang tidak mengubah secara mendasar pembagian tugas, fungsi, wewenang dan kewajiban KPU dalam merencanakan dan melaksanakan tahap-tahap, jadwal dan mekanisme Pemilu DPR, DPD, DPRD, Pemilu Presiden/Wakil Presiden dan Pemilu Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah.
Menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, komposisi keanggotaan KPU harus memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen). Masa keanggotaan KPU 5 (lima) tahun terhitung sejak pengucapan sumpah/janji saat pelantikan.
2. Asas penyelenggaraan pemilu.
Penyelenggaraan Pemilu berpedoman kepada asas : mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi dan efektivitas.
3. Sistematika Pemilihan Anggota KPU.
Sistematika pemilihan calon anggota KPU menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu adalah Presiden membentuk Panitia Tim Seleksi calon anggota KPU tanggal 25 Mei 2007 yang terdiri dari lima orang yang membantu Presiden menetapkan calon anggota KPU yang kemudian diajukan kepada DPR untuk mengikuti fit and proper test. Sesuai dengan bunyi Pasal 13 ayat (3) Undang-undang N0 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, Tim Seleksi Calon Anggota KPU pada tanggal 9 Juli 2007 telah menerima 545 orang pendaftar yang berminat menjadi calon anggota KPU. Dari 545 orang pendaftar, 270 orang lolos seleksi administratif untuk mengikuti tes tertulis. Dari 270 orang calon yang lolos tes administratif, 45 orang bakal calon anggota KPU lolos tes tertulis dan rekam jejak yang diumumkan tanggal 31 Juli 2007.
Panitia Tim Seleksi Calon Anggota KPU memilih 21 (dua puluh satu) nama bakal calon anggota KPU dan menyampaikannya kepada Presiden RI, selanjutnya Presiden menyampaikan 21 nama bakal calon anggota KPU kepada DPR RI untuk mengikuti fit and proper test. DPR melakukan fit and proper test.dari tanggal 1 s/d tanggal 3 Oktober 2007. Akhirnya Komisi II DPR RI memilih dan menyusun urutan peringkat 21 (dua puluh satu) nama calon anggota KPU.
DPR melalui voting memilih 7 (tujuh) peringkat teratas dalam urutan peringkat satu sampai urutan ke 7 (tujuh) sebagai anggota KPU terpilih yaitu :
1.Prof. Dr. H. Abdul Hafiz Anshary Az, MA (43 suara) mantan Ketua KPU Provinsi Kalimantan Selatan;
2.Sri Nuryanti, Sip. MA (42 suara), peneliti LIPI;
3.Dra. Endang Sulastri, M.Si (39 suara), aktivis perempuan;
4.I Gusti Putu Artha, Sp, M.Si (37 suara), Anggota KPU Provinsi Bali;
5.Prof. Dr. Ir. Syamsul Bahri, M.S (36 suara), Dosen Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang;
6.Dra. Andi Nurpati, M.Pd (29 suara), Guru MAN I Model Bandar Lampung;
7.Drs. H. Abdul Aziz, MA (27 suara), Direktur Ditmapenda, Bagais, Departemen Agama;
Nama ke 7 (tujuh) peringkat teratas anggota KPU terpilih, disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 9 Oktober 2007. Namun hanya 6 (enam) orang yang dilantik dan diangkat sumpahnya oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 23 Oktober 2007. Sedangkan Prof. Dr. Ir. Syamsul Bahri M.S. urung dilantik karena terlibat persoalan hukum.
4. Tugas Anggota KPU.
Ada 7 (tujuh) tugas berat Pemilu 2009 menanti anggota KPU yaitu :
1. Merencanakan program, anggaran serta menetapkan jadwal Pemilu;
2.Penyesuaian struktur organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Jenderal KPU paling lambat 3 bulan sejak pelantikan anggota KPU;
3.Mempersiapkan pembentukan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) paling lambat 5 (lima) bulan setelah pelantikan anggota KPU;
4.Bersama-sama Bawaslu menyiapkan kode etik, paling lambat 3 (tiga) bulan setelah Bawaslu terbentuk;
5.Memverifikasi secara administratif dan faktual serta menetapkan peserta Pemilu;
6.Memutakhirkan data pemilih berdasarkan data kependudukan dan menetapkannya sebagai daftar pemilih tetap;
7.Menetapkan standar serta kebutuhan pengadaan dan pendistribusian perlengkapan barang dan jasa Pemilu.
5. Pemilu DPR, DPD, DPRD, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2004
Pemilu 2004 menganut sistem Pemilu proporsional terbuka di mana beberapa kursi diperebutkan dalam suatu daerah pemilihan. Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka. Cara ini belum pernah diterapkan pada pemilu-pemilu sebelumnya, walaupun secara teknis tidak jauh berbeda. Dalam sistem ini hak suara pemilih terwakili secara proporsional karena di dalam surat suara tercantum nama Parpol dan nama calon.
Dalam penyelenggaraan Pemilu, KPU bekerja berdasarkan tahapan jadwal Pemilu Legislatif dan tahapan jadwal Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Tahapan pelaksanaan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2004 berdasarkan jadwal yang dikeluarkan KPU sepeti pendaftaran Pemilih dan Pendaftaran Penduduk Berkelanjutan, Pemetaan daerah pemilihan dan penetapan jumlah kursi DPR dan DPRD, pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah DPR, DPD, DPRD, penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT), proses pendaftaran, verifikasi, dan penetapan partai politik peserta Pemilu 2004 dan kampanye peserta Pemilu.
Untuk mengawasi jalannya Pemilu, dibentuk Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) berkedudukan di ibukota Republik Indonesia.Di samping Panwaslu ada juga pemantau pemilu baik dari dalam maupun dari luar negeri. Pemantau Pemilu dari dalam negeri mempunyai struktur organisasi berjenjang dari pusat hingga ke daerah yang akreditasinya diberikan oleh KPU. Secara keseluruhan terdapat 112 lembaga pemantau Pemilu yang mendaftar untuk berpartisipasi sebagai pemantau, dengan rincian 90 berasal dari Pemantau dalam negeri dan 22 berasal dari Pemantau luar negeri yang lulus akreditasi dan mendapat sertifikat sebagai Pemantau Pemilu 2004.
Pemerintah AS memuji rakyat Indonesia atas keberhasilan melewati masa transisi menuju demokrasi secara mengesankan. Indonesia juga telah sukses menyelesaikan tahapan-tahapan Pemilu tahun 2004 ini, mulai dari Pemilu Legislatif April lalu, kemudian Pilpres putaran pertama Juli, hingga Pilpres putaran terakhir 20 September lalu dengan damai. Pelaksanaan Pemilihan Umum 2004 di Indonesia itu membuka mata dunia bahwa demokrasi dapat tumbuh dan berkembang dengan baik di Indonesia. Selain sebagai negara Muslim terbesar di dunia dan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, Pemilu di Indonesia juga harus melakukan pemilihan terhadap ribuan calon legislatif dan menyelenggarakan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung.
6. Sekretariat Jenderal Komisi Pemilihan Umum.
KPU mempunyai tugas, wewenang dan kewajiban untuk mengoordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikan semua tahapan Pemilu DPR, DPD dan DPRD, Pemilu Presiden/Wakil Presiden serta Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Termasuk merencanakan program dan anggaran serta menetapkan jadwal; menyusun dan menetapkan tata kerja KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, KPPS, PPLN, dan KPPSLN serta menyusun dan menetapkan pedoman yang bersifat teknis untuk tiap-tiap tahapan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Guna mendukung tercapainya sasaran tersebut anggota KPU dibantu oleh sebuah Sekretariat Jenderal KPU yang dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal KPU dan Wakil Sekretaris Jenderal KPU yang secara teknis operasional bertanggung jawab kepada KPU. Sekretaris Jenderal KPU dan Wakil Sekretaris Jenderal KPU mengkoordinasikan 7 (tujuh) Biro di lingkungan Setjen KPU.
Untuk mengelola administrasi keuangan serta pengadaan barang dan jasa berdasarkan peraturan perundang-undangan, pimpinan KPU membentuk alat kelengkapan berupa divisi-divisi dan Ada pula Koordinator Wilayah (Korwil) yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan.
DIVISI KOMISI PEMILIHAN UMUM
Divisi Teknis Penyelenggaraan : Dra. Andi Nurpati, M.Pd
Divisi Perencanaan Program, Keuangan Dan Logistik : Drs. Abdul Aziz , M.A
Divisi Hukum dan Pengawasan : I Gusti Putu Artha , SP. MSi
Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih dan PSDM : Dra. Endang Sulastri, M.Si
Divisi Humas,Data Informasi & Hub Antar Lembaga: Sri Nuryanti, S.IP, MA
Divisi Umum dan Organisasi : Prof. Dr. Abdul Hafiz Anshary AZ, MA
KOORDINATOR WILAYAH KOMISI PEMILIHAN UMUM
Korwil Sumatera I : Prof. Dr. Abdul Hafiz Anshary AZ, MA
Korwil Sumatera II : Drs. Abdul Aziz , M.A
Korwil Jawa : Dra. Endang Sulastri, M.Si
Korwil Kalimantan dan Maluku : I Gusti Putu Artha , SP. Msi
Korwil Sulawesi : Dra. Andi Nurpati, M.Pd
Korwil Bali, Nusa Tenggara dan Papua : Sri Nuryanti, S.IP, MA
Lokasi Kantor Pusat KPU.
Kantor pusat KPU terletak di Jl. Imam Bonjol No. 29 Jakarta 10310.
Telp 021-31937223. Fax 021-3157759.
Email : redaktur@kpu.go.id.
KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
1.Pendahuluan.
Komisi Pemberantasan Korupsi, atau disingkat menjadi KPK, adalah komisi di Indonesia yang dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi di Indonesia. Komisi ini didirikan berdasarkan kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketua KPK adalah Antasari Azhar (Non Aktif), saat ini KPK dipimpin secara kolektif.
Gedung KPK saat ini ada di kawasan Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan, Indonesia.
2. Sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia.
2.1. Masa orde lama.
Pada masa Orde Lama, tercatat dua kali dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi. Yang pertama, dengan perangkat aturan Undang-Undang Keadaan Bahaya. Lembaga ini disebut Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran). Badan ini dipimpin oleh A.H. Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota, yakni Profesor M. Yamin dan Roeslan Abdulgani. Kepada Paran inilah semua pejabat harus menyampaikan data mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian formulir yang disediakan. Mudah ditebak, model perlawanan para pejabat yang korup pada saat itu adalah bereaksi keras dengan dalih yuridis bahwa dengan doktrin pertanggungjawaban secara langsung kepada Presiden, formulir itu tidak diserahkan kepada Paran, tapi langsung kepada Presiden. Diimbuhi dengan kekacauan politik, Paran berakhir tragis, deadlock, dan akhirnya menyerahkan kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda.
2.2. Operasi Budhi.
Pada 1963, melalui Keppres No. 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan, dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan Operasi Budhi. Kali ini dengan tugas yang lebih berat, yakni menyeret pelaku korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktek korupsi dan kolusi.
2.3. Orde Baru.
Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan pada 16 Agustus 1967, Soeharto terang-terangan mengkritik Orde Lama, yang tidak mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan demokrasi yang terpusat ke istana. Pidato itu seakan memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa Agung. Namun ternyata ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan berujung pada kebijakan Soeharto untuk menunjuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof Johannes, I.J. Kasimo, Mr Wilopo, dan A. Tjokroaminoto.
2.4. Era Reformasi.
Di era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun, di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis.
3. KPK di bawah Taufiequrachman Ruki (2003-2007)
Beliau lahir di Rangkasbitung, Banten, 18 Mei 1946 dan menyelesaikan studinya di Fakultas Hukum Untag, Jakarta tahun 1987. Taufiq yang pangkat terakhirnya Irjen Polisi ini, beristri Atti Risaltri Suriagunawan.
Saat aktif di Polri, sejumlah jabatan pernah dia pegang, seperti Kapolsek Kelari, Kapolres Cianjur, Kapolres Tasikmalaya dan Kapolwil Malang. Selain itu sejak tahun 1992 hingga tahun 2000, dia pernah menjadi anggota DPR/MPR dari Fraksi TNI dan Polri.
Pada tanggal 16 Desember 2003, Taufiequrachman Ruki dilantik menjadi Ketua KPK. Di bawah kepemimpinan Taufiequrachman Ruki, KPK hendak memposisikan dirinya sebagai katalisator (pemicu atau trigger) bagi aparat dan institusi lain untuk terciptanya jalannya sebuah "good and clean governance" (pemerintahan baik dan bersih) di Republik Indonesia. Sebagai seorang mantan Anggota DPR RI dari tahun 1992 sampai 2001, walaupun Taufiequrachman konsisten, dia tetap mendapat kritik dari berbagai pihak tentang dugaan tebang pilih pemberantasan korupsi.
Taufiequrachman mengemukakan data hasil survei Transparency Internasional mengenai penilaian masyarakat bisnis dunia terhadap pelayanan publik di Indonesia. Hasil survei itu memberikan nilai IPK (Indeks Persepsi Korupsi) sebesar 2,2 kepada Indonesia. Nilai tersebut menempatkan Indonesia pada urutan 137 dari 159 negara tersurvei. Lebih lanjut disampaikan, survei terbaru Transparency International yaitu "Barometer Korupsi Global", menempatkan partai politik di Indonesia sebagai institusi terkorup dengan nilai 4,2 (dengan rentang penilaian 1-5, 5 untuk yang terkorup). Di Asia, Indonesia menduduki prestasi sebagai negara terkorup dengan skor 9.25 (terkorup 10) di atas India (8,9), Vietnam (8,67), Filipina (8,33) dan Thailand (7,33).
Pada tahun 2007 Taufiequrachman Ruki digantikan oleh Antasari Azhar sebagai Ketua KPK.
4. KPK di bawah Antasari Azhar (2007-2009).
Lahir di Pangkal Pinang, Bangka Belitung, pada 18 Maret 1953. Mengenyam pendidikan dasar di SD Negeri I Belitung sebelum menyelesaikan pendidikan SMP dan SMA-nya di Jakarta. Enam tahun di Jakarta, Antasari kembali ke Palembang ketika mengikuti jenjang perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya. Selama masa kuliah itu, Antasari tergolong mahasiswa yang gemar berorganisasi. Beliau pernah menjabat sebagai Ketua Senat Fakultas Hukum dan Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa Universitas Sriwijaya.
Beliau meraih gelar magister hukumnya di STIH “IBLAM” di Commercial Law New South Wales University Sidney pada 1996 dan Investigation For Environment Law, EPA, Melbourne pada tahun 2000.
Pada 5 Desember 2007, Komisi III DPR melalui voting, memutuskan Antasari untuk memegang tampuk Pimpinan KPK periode 2007-2011 bersama empat orang lainnya. Ketika itu sebenarnya suara Antasari berada di bawah perolehan suara Chandra M. Hamzah. Namun pada saat babak kedua untuk memilih Ketua KPK, Antasari yang kemudian berhasil meraih suara terbesar dengan mengalahkan Chandra M. Hamzah.
Antasari Azhar dilantik sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi pada hari selasa, 18 Desember 2007 setelah terpilih lewat pemungutan suara di DPR. Pengucapan sumpahnya sebagai Pimpinan KPK periode 2007- 2011 dilakukan di hadapan Presiden Republik Indonesia di Istana Negara.
Sejak dilantik menjadi Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Antasari Azhar tak pernah lepas dari sorotan khalayak. Banyak kalangan tak yakin, KPK di bawah kendali mantan Direktur Penuntutan pada JAM Pidum Kejagung itu bisa bekerja profesional.
Namun, dalam hitungan hari, Antasari berhasil membalikkan opini publik yang meragukan kinerjanya. Di antara kasus-kasus korupsi yang berhasil diungkap pada zaman Antasari Azhar adalah :
1. Mantan Kapolri Rusdihardjo. Ditahan sejak 16 Januari 2008 di Rutan Brimob Kelapa Dua. Terlibat kasus dugaan korupsi pada pungli pada pengurusan dokumen keimigrasian saat menjabat sebagai Duta Besar RI di Malaysia sebesar 6.150.051 ringgit Malaysia atau sekitar Rp15 miliar.
2. Direktur Hukum BI Oey Hoey Tiong dan mantan Kepala Biro BI Surabaya Rusli Simanjuntak. Ditahan KPK sejak 14 Februari 2008 Oey Hoey Tiong ditahan di Rutan Polda Metro Jaya Rusli Simanjuntak ditahan di Rutan Brimob Kelapa Dua. Kedua petinggi BI ini ditetapkan tersangka dalam penggunaan dana YPPI sebesar Rp 100 miliar.
3. Gubernur Bank Indonesia (BI) Burhanuddin Abdullah. Ditahan sejak 10 April 2008 di Rutan Mabes Polri. Burhanuddin diduga telah menggunakan dana YPPI sebesar Rp 100 miliar.
4. Aulia Pohan, besan Presiden SBY. Aulia Pohan ditahan sejak Kamis 27 November 2008. Dia bersama tersangka lain diduga terlibat dalam pengucuran dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) sebesar Rp100 miliar.
5. Jaksa Urip Tri Gunawan dan Arthalita Suryani. Jaksa Urip dan Arthalita ditangkap pada 2 Maret 2008. Urip ditahan di Rutan Brimob Kelapa Dua, Arthalita ditahan di Rutan Pondok Bambu. Jaksa Urip tertangkap tangan menerima 610.000 dolar AS dari Arthalita Suryani di rumah obligor BLBI Syamsul Nursalim di kawasan Permata Hijau, Jakarta Selatan. Urip di vonis ditingkat pengadilan Tipikor dan diperkuat ditingkat kasasi di Mahkamah Agung selama 20 tahun penjara. Sedangkan Arthalita di vonis di Tipikor selama 5 tahun penjara.
6. Pimpro Pengembangan Pelatihan dan Pengadaan alat pelatihan Depnakertrans Taswin Zein. Ditahan 12 Maret 2008 di Rutan Polda Metro Jaya. Taswin diduga terlibat dalam kasus penggelembungan Anggaran Biaya Tambahan (ABT) Depnakertrans tahun 2004 sebesar Rp 15 miliar dan Anggaran Daftar Isian sebesar Rp 35 miliar.
7. Mantan Gubernur Riau Saleh Djasit (1998-2004). Ditahan sejak 20 Maret 2008 di Rutan Polda Metro Jaya. Saleh yang juga anggota DPR RI (Partai Golkar) ditetapkan sebagai tersangka sejak November 2007 dalam kasus dugaan korupsi pengadaan 20 unit mobil pemadam kebakaran senilai Rp 15 miliar. Saleh Djasit telah di vonis Pengadilan Tipikor selama 4 tahun penjara.
8. Mantan gubernur Jawa Barat Danny Setiawan dan Dirjen Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri Oentarto Sindung Mawardi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus Damkar. Danny Setiawan ditahan KPK pada 10 November 2008.
9. Anggota DPR RI (PPP) Al Amin Nur Nasution dan Sekda Kabupaten Bintan Azirwan. Ditangkap tanggal 9 April 2008. Saat tertangkap ditemukan Rp 71juta dan 33.000 dolar Singapura. Dia ditangkap bersama tiga orang lainnya di Hotel Ritz Carlton.
10. Anggota DPR RI (Partai Golkar) Hamka Yamdhu dan mantan Anggota DPR RI (Partai Golkar) Anthony Zeidra Abidin. Ditahan pada 17 April 2008. Mereka diduga menerima Rp 31,5 miliar dari Bank Indonesia.
11. Bupati Lombok Barat Iskandar dan Dirut PT Varindo Lombok Inti Izzat Husein ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi tukar guling (ruilslag) bekas kantor lama bupati Lombok Barat.
12. Mantan Direktur Keuangan (Dirkeu) PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) Ranendra Dangin ditahan KPK pada Kamis, 8 Januari 2009 di Rumah Tahanan Cipinang, Jakarta Timur. Rendra dijadikan tersangka dalam kasus dugaan korupsi impor gula pasir putih yang dilakukan atas kerja sama antara PT RNI dan Bulog.
Tersangka lain setelah Antasari Azhar ditahan di Mapolda Metro Jaya : -
1. Haryadi Sadono, mantan General Manager PLN Distribusi Jawa Timur yang sekarang menjabat Direktur PLN Distribusi Luar Jawa, Madura, dan Bali, ditetapkan sebagai tersangka pada Selasa (5/5/09) dalam kasus dugaan korupsi PLN Distribusi Jawa Timur.
2. KPK menahan mantan Gubernur Sumatra Selatan (Sumsel) Syahrial Oesman, Senin (11/5/09) dalam kasus kasus korupsi proyek pelabuhan Tanjung Api-api, Sumsel. Syahrial ditahan di Rutan Cipinang, Jakarta Timur.
Dan masih banyak kasus korupsi lain yang berhasil diungkap dan dipersidangkan pada zaman beliau.
Pada 14 Maret 2009, Antasari terjerat kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, Dirut PT. Putra Rajawali Banjaran yang tertembak mati usai bermain golf di Padang Golf Moderland, Cikokol, Tanggerang.
Pada 11 Oktober 2009, sesuai dengan Keputusan Presiden No. 78/P Tahun 2009, Antasari diberhentikan dari posisinya sebagai ketua merangkap anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2007-2011.
5. Konsep Pemberantasan Korupsi.
5.1. Carrot and Stick (kecukupan dan hukuman).
Carrot adalah pendapatan netto untuk pegawai negeri, baik sipil maupun TNI dan polisi yang jelas mencukupi untuk hidup dengan standar yang sesuai dengan pendidikan, jabatan, martabat, dan pengetahuannya.
Stick adalah hukuman yang berat bila carrot sudah dipenuhi tapi masih bertindak korupsi.
Keberhasilan konsep ini telah dibuktikan oleh Singapura. Dan sekarang sedang berlangsung di China.
5.2. Sistem Penggajian (salary system).
Sistem penggajian ini harus dibenahi yang sesuai dengan merit system (sistem penilaian jasa). Yang tingkat pekerjaan serta tanggung jawabnya lebih berat harus mendapatkan pendapatan netto yang lebih besar.
5.3. Perampingan Birokrasi.
Bila suatu birokrasi disusun sesuai dengan kebutuhannya untuk mencapai tujuan yang optimal, maka jumlah PNS dapat diperkecil. Pengeluaran untuk gaji, ruang kerja, ATK, listrik, biaya perjalanan dan sebagainya akan dapat diperhemat dalam jumlah yang besar.
5.4. Kritik.
Dalam kabinet Gus Dur tidak sedikit menteri dan anggota DPR yang langsung saja mengkritik dengan tajam. Di saat sebagian besar rakyat hidup dalam kemiskinan, pemerintah malah menaikkan pendapatan bersih untik dirinya sendiri sampai standar internasional.
Juga dikatakan bahwa dalam lingkungan Departemen Keuangan pernah dicoba meningkatkan pendapatan bersih hingga 10 kali lipat, tapi ternyata masih korup.
Menanggapi kritikan ini, Kwik Kian Gie (Menko Ekuin pada saat itu) mangatakan bahwa hal itu terjadi karena yang masioh berkorupsi tidak diapa-apakan. Jadi carrot-nya diberikan, tapi stick-nya tidak diterapkan.
5.5. Alternatif lain.
6. Dasar hukum KPK
Yang menjadi dasar hukum KPK antara lain :
- UU RI nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
- Keppres RI No. 73 Tahun 2003 tentang Pembentukan Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
- UU RI No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari KKN.
- UU RI No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
- UU RI No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
- UU RI No. 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
- PP RI No. 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
- PP RI No. 19 Tahun 2000 Tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
- PP RI No. 109 Tahun 109 Tahun 2000 Tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Daftar Pustaka.
http://www.kpu.go.id/
http://www.antikorupsi.org/
http://id.wikipedia.org/wiki/kpu/
http://id.wikipedia.org/wiki/kpk/
Kwik Kian Gie, Pemberantasan Korupsi untuk Meraih Kemandirian, Kemakmuran, Kesejahteraan, dan keadilan. 2003.
Gayo, Iwan. Buku Pintar, Jakarta : Pustaka Warga Negara, 2001.
Transparecy International Indonesia.
Indonesia Corruption Watch.
Daftar Kasus Korupsi di Indonesia.
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Tata Negara
Oleh dosen pengampu : Drs. Imron Rosyadi, M.Ag.
/media/CHARIST-EAS/logo-logo penting/unmuh surakarta.jpg
disusun oleh :
Haris Firmansyah I 000090015
Yeni Wahyuningsih I 000070027
JURUSAN SYARI’AH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2009
Komisi Pemilihan Umum
1. Sejarah Komisi Pemilihan Umum.
Secara institusional, Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang ada sekarang merupakan KPU ketiga yang dibentuk setelah Pemilu demokratis sejak reformasi 1998. KPU pertama (1999- 2001) dibentuk dengan Keppres No 16 Tahun 1999 yang berisikan 53 orang anggota yang berasal dari unsur pemerintah dan Partai Politik dan dilantik oleh Presiden BJ Habibie. KPU kedua (2001-2007) dibentuk dengan Keppres No 10 Tahun 2001 yang berisikan 11 orang anggota yang berasal dari unsur akademis dan LSM dan dilantik oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada tanggal 11 April 2001. KPU ketiga (2007-2012) dibentuk berdasarkan Keppres No 101/P/2007 yang berisikan 7 orang anggota yang berasal dari anggota KPU Provinsi, akademisi, peneliti dan birokrat dilantik tanggal 23 Oktober 2007 minus Prof. DR. Ir. Syamsul Bahri, M.S yang urung dilantik Presiden karena masalah hukum.
Tepat 3 (tiga) tahun setelah berakhirnya penyelenggaraan Pemilu 2004, muncul pemikiran di kalangan pemerintah dan DPR untuk meningkatkan kualitas pemilihan umum, salah satunya kualitas penyelenggara Pemilu. Sebagai penyelenggara pemilu, KPU dituntut independen dan non-partisan.
Untuk itu atas usul insiatif DPR RI menyusun dan bersama pemerintah mengesahkan UU Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu. Sebelumnya keberadaan penyelenggara Pemilu terdapat dalam Pasal 22 E Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD, UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Dalam UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu diatur mengenai penyelenggara Pemilihan Umum yang dilaksanakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Sifat nasional mencerminkan bahwa wilayah kerja dan tanggung jawab KPU sebagai penyelenggara Pemilihan Umum mencakup seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sifat tetap menunjukkan KPU sebagai lembaga yang menjalankan tugas secara berkesinambungan meskipun dibatasi oleh masa jabatan tertentu. Sifat mandiri menegaskan KPU dalam menyelenggarakan Pemilihan Umum bebas dari pengaruh pihak mana pun.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu juga mengatur kedudukan panitia pemilihan yang meliputi PPK, PPS, KPPS dan PPLN serta KPPSLN yang merupakan penyelenggara Pemilu yang bersifat ad hoc. Panitia tersebut mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan semua tahapan penyelenggaraan Pemilu dalam rangka mengawal terwujudnya Pemilu secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Dalam rangka mewujudkan KPU dan Bawaslu yang memiliki integritas dan kredibilitas sebagai Penyelenggara Pemilu, disusun dan ditetapkan Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Agar Kode Etik Penyelenggara Pemilu dapat diterapkan dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum, dibentuk Dewan Kehormatan KPU, KPU Provinsi, dan Bawaslu.
Di dalam UU Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD, jumlah anggota KPU adalah 11 orang. Dengan diundangkannya UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, jumlah anggota KPU berkurang menjadi 7 orang. Pengurangan jumlah anggota KPU dari 11 orang menjadi 7 orang tidak mengubah secara mendasar pembagian tugas, fungsi, wewenang dan kewajiban KPU dalam merencanakan dan melaksanakan tahap-tahap, jadwal dan mekanisme Pemilu DPR, DPD, DPRD, Pemilu Presiden/Wakil Presiden dan Pemilu Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah.
Menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, komposisi keanggotaan KPU harus memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen). Masa keanggotaan KPU 5 (lima) tahun terhitung sejak pengucapan sumpah/janji saat pelantikan.
2. Asas penyelenggaraan pemilu.
Penyelenggaraan Pemilu berpedoman kepada asas : mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi dan efektivitas.
3. Sistematika Pemilihan Anggota KPU.
Sistematika pemilihan calon anggota KPU menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu adalah Presiden membentuk Panitia Tim Seleksi calon anggota KPU tanggal 25 Mei 2007 yang terdiri dari lima orang yang membantu Presiden menetapkan calon anggota KPU yang kemudian diajukan kepada DPR untuk mengikuti fit and proper test. Sesuai dengan bunyi Pasal 13 ayat (3) Undang-undang N0 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, Tim Seleksi Calon Anggota KPU pada tanggal 9 Juli 2007 telah menerima 545 orang pendaftar yang berminat menjadi calon anggota KPU. Dari 545 orang pendaftar, 270 orang lolos seleksi administratif untuk mengikuti tes tertulis. Dari 270 orang calon yang lolos tes administratif, 45 orang bakal calon anggota KPU lolos tes tertulis dan rekam jejak yang diumumkan tanggal 31 Juli 2007.
Panitia Tim Seleksi Calon Anggota KPU memilih 21 (dua puluh satu) nama bakal calon anggota KPU dan menyampaikannya kepada Presiden RI, selanjutnya Presiden menyampaikan 21 nama bakal calon anggota KPU kepada DPR RI untuk mengikuti fit and proper test. DPR melakukan fit and proper test.dari tanggal 1 s/d tanggal 3 Oktober 2007. Akhirnya Komisi II DPR RI memilih dan menyusun urutan peringkat 21 (dua puluh satu) nama calon anggota KPU.
DPR melalui voting memilih 7 (tujuh) peringkat teratas dalam urutan peringkat satu sampai urutan ke 7 (tujuh) sebagai anggota KPU terpilih yaitu :
1.Prof. Dr. H. Abdul Hafiz Anshary Az, MA (43 suara) mantan Ketua KPU Provinsi Kalimantan Selatan;
2.Sri Nuryanti, Sip. MA (42 suara), peneliti LIPI;
3.Dra. Endang Sulastri, M.Si (39 suara), aktivis perempuan;
4.I Gusti Putu Artha, Sp, M.Si (37 suara), Anggota KPU Provinsi Bali;
5.Prof. Dr. Ir. Syamsul Bahri, M.S (36 suara), Dosen Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang;
6.Dra. Andi Nurpati, M.Pd (29 suara), Guru MAN I Model Bandar Lampung;
7.Drs. H. Abdul Aziz, MA (27 suara), Direktur Ditmapenda, Bagais, Departemen Agama;
Nama ke 7 (tujuh) peringkat teratas anggota KPU terpilih, disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 9 Oktober 2007. Namun hanya 6 (enam) orang yang dilantik dan diangkat sumpahnya oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 23 Oktober 2007. Sedangkan Prof. Dr. Ir. Syamsul Bahri M.S. urung dilantik karena terlibat persoalan hukum.
4. Tugas Anggota KPU.
Ada 7 (tujuh) tugas berat Pemilu 2009 menanti anggota KPU yaitu :
1. Merencanakan program, anggaran serta menetapkan jadwal Pemilu;
2.Penyesuaian struktur organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Jenderal KPU paling lambat 3 bulan sejak pelantikan anggota KPU;
3.Mempersiapkan pembentukan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) paling lambat 5 (lima) bulan setelah pelantikan anggota KPU;
4.Bersama-sama Bawaslu menyiapkan kode etik, paling lambat 3 (tiga) bulan setelah Bawaslu terbentuk;
5.Memverifikasi secara administratif dan faktual serta menetapkan peserta Pemilu;
6.Memutakhirkan data pemilih berdasarkan data kependudukan dan menetapkannya sebagai daftar pemilih tetap;
7.Menetapkan standar serta kebutuhan pengadaan dan pendistribusian perlengkapan barang dan jasa Pemilu.
5. Pemilu DPR, DPD, DPRD, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2004
Pemilu 2004 menganut sistem Pemilu proporsional terbuka di mana beberapa kursi diperebutkan dalam suatu daerah pemilihan. Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka. Cara ini belum pernah diterapkan pada pemilu-pemilu sebelumnya, walaupun secara teknis tidak jauh berbeda. Dalam sistem ini hak suara pemilih terwakili secara proporsional karena di dalam surat suara tercantum nama Parpol dan nama calon.
Dalam penyelenggaraan Pemilu, KPU bekerja berdasarkan tahapan jadwal Pemilu Legislatif dan tahapan jadwal Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Tahapan pelaksanaan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2004 berdasarkan jadwal yang dikeluarkan KPU sepeti pendaftaran Pemilih dan Pendaftaran Penduduk Berkelanjutan, Pemetaan daerah pemilihan dan penetapan jumlah kursi DPR dan DPRD, pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah DPR, DPD, DPRD, penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT), proses pendaftaran, verifikasi, dan penetapan partai politik peserta Pemilu 2004 dan kampanye peserta Pemilu.
Untuk mengawasi jalannya Pemilu, dibentuk Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) berkedudukan di ibukota Republik Indonesia.Di samping Panwaslu ada juga pemantau pemilu baik dari dalam maupun dari luar negeri. Pemantau Pemilu dari dalam negeri mempunyai struktur organisasi berjenjang dari pusat hingga ke daerah yang akreditasinya diberikan oleh KPU. Secara keseluruhan terdapat 112 lembaga pemantau Pemilu yang mendaftar untuk berpartisipasi sebagai pemantau, dengan rincian 90 berasal dari Pemantau dalam negeri dan 22 berasal dari Pemantau luar negeri yang lulus akreditasi dan mendapat sertifikat sebagai Pemantau Pemilu 2004.
Pemerintah AS memuji rakyat Indonesia atas keberhasilan melewati masa transisi menuju demokrasi secara mengesankan. Indonesia juga telah sukses menyelesaikan tahapan-tahapan Pemilu tahun 2004 ini, mulai dari Pemilu Legislatif April lalu, kemudian Pilpres putaran pertama Juli, hingga Pilpres putaran terakhir 20 September lalu dengan damai. Pelaksanaan Pemilihan Umum 2004 di Indonesia itu membuka mata dunia bahwa demokrasi dapat tumbuh dan berkembang dengan baik di Indonesia. Selain sebagai negara Muslim terbesar di dunia dan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, Pemilu di Indonesia juga harus melakukan pemilihan terhadap ribuan calon legislatif dan menyelenggarakan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung.
6. Sekretariat Jenderal Komisi Pemilihan Umum.
KPU mempunyai tugas, wewenang dan kewajiban untuk mengoordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikan semua tahapan Pemilu DPR, DPD dan DPRD, Pemilu Presiden/Wakil Presiden serta Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Termasuk merencanakan program dan anggaran serta menetapkan jadwal; menyusun dan menetapkan tata kerja KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, KPPS, PPLN, dan KPPSLN serta menyusun dan menetapkan pedoman yang bersifat teknis untuk tiap-tiap tahapan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Guna mendukung tercapainya sasaran tersebut anggota KPU dibantu oleh sebuah Sekretariat Jenderal KPU yang dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal KPU dan Wakil Sekretaris Jenderal KPU yang secara teknis operasional bertanggung jawab kepada KPU. Sekretaris Jenderal KPU dan Wakil Sekretaris Jenderal KPU mengkoordinasikan 7 (tujuh) Biro di lingkungan Setjen KPU.
Untuk mengelola administrasi keuangan serta pengadaan barang dan jasa berdasarkan peraturan perundang-undangan, pimpinan KPU membentuk alat kelengkapan berupa divisi-divisi dan Ada pula Koordinator Wilayah (Korwil) yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan.
DIVISI KOMISI PEMILIHAN UMUM
Divisi Teknis Penyelenggaraan : Dra. Andi Nurpati, M.Pd
Divisi Perencanaan Program, Keuangan Dan Logistik : Drs. Abdul Aziz , M.A
Divisi Hukum dan Pengawasan : I Gusti Putu Artha , SP. MSi
Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih dan PSDM : Dra. Endang Sulastri, M.Si
Divisi Humas,Data Informasi & Hub Antar Lembaga: Sri Nuryanti, S.IP, MA
Divisi Umum dan Organisasi : Prof. Dr. Abdul Hafiz Anshary AZ, MA
KOORDINATOR WILAYAH KOMISI PEMILIHAN UMUM
Korwil Sumatera I : Prof. Dr. Abdul Hafiz Anshary AZ, MA
Korwil Sumatera II : Drs. Abdul Aziz , M.A
Korwil Jawa : Dra. Endang Sulastri, M.Si
Korwil Kalimantan dan Maluku : I Gusti Putu Artha , SP. Msi
Korwil Sulawesi : Dra. Andi Nurpati, M.Pd
Korwil Bali, Nusa Tenggara dan Papua : Sri Nuryanti, S.IP, MA
Lokasi Kantor Pusat KPU.
Kantor pusat KPU terletak di Jl. Imam Bonjol No. 29 Jakarta 10310.
Telp 021-31937223. Fax 021-3157759.
Email : redaktur@kpu.go.id.
KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
1.Pendahuluan.
Komisi Pemberantasan Korupsi, atau disingkat menjadi KPK, adalah komisi di Indonesia yang dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi di Indonesia. Komisi ini didirikan berdasarkan kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketua KPK adalah Antasari Azhar (Non Aktif), saat ini KPK dipimpin secara kolektif.
Gedung KPK saat ini ada di kawasan Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan, Indonesia.
2. Sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia.
2.1. Masa orde lama.
Pada masa Orde Lama, tercatat dua kali dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi. Yang pertama, dengan perangkat aturan Undang-Undang Keadaan Bahaya. Lembaga ini disebut Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran). Badan ini dipimpin oleh A.H. Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota, yakni Profesor M. Yamin dan Roeslan Abdulgani. Kepada Paran inilah semua pejabat harus menyampaikan data mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian formulir yang disediakan. Mudah ditebak, model perlawanan para pejabat yang korup pada saat itu adalah bereaksi keras dengan dalih yuridis bahwa dengan doktrin pertanggungjawaban secara langsung kepada Presiden, formulir itu tidak diserahkan kepada Paran, tapi langsung kepada Presiden. Diimbuhi dengan kekacauan politik, Paran berakhir tragis, deadlock, dan akhirnya menyerahkan kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda.
2.2. Operasi Budhi.
Pada 1963, melalui Keppres No. 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan, dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan Operasi Budhi. Kali ini dengan tugas yang lebih berat, yakni menyeret pelaku korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktek korupsi dan kolusi.
2.3. Orde Baru.
Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan pada 16 Agustus 1967, Soeharto terang-terangan mengkritik Orde Lama, yang tidak mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan demokrasi yang terpusat ke istana. Pidato itu seakan memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa Agung. Namun ternyata ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan berujung pada kebijakan Soeharto untuk menunjuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof Johannes, I.J. Kasimo, Mr Wilopo, dan A. Tjokroaminoto.
2.4. Era Reformasi.
Di era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun, di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis.
3. KPK di bawah Taufiequrachman Ruki (2003-2007)
Beliau lahir di Rangkasbitung, Banten, 18 Mei 1946 dan menyelesaikan studinya di Fakultas Hukum Untag, Jakarta tahun 1987. Taufiq yang pangkat terakhirnya Irjen Polisi ini, beristri Atti Risaltri Suriagunawan.
Saat aktif di Polri, sejumlah jabatan pernah dia pegang, seperti Kapolsek Kelari, Kapolres Cianjur, Kapolres Tasikmalaya dan Kapolwil Malang. Selain itu sejak tahun 1992 hingga tahun 2000, dia pernah menjadi anggota DPR/MPR dari Fraksi TNI dan Polri.
Pada tanggal 16 Desember 2003, Taufiequrachman Ruki dilantik menjadi Ketua KPK. Di bawah kepemimpinan Taufiequrachman Ruki, KPK hendak memposisikan dirinya sebagai katalisator (pemicu atau trigger) bagi aparat dan institusi lain untuk terciptanya jalannya sebuah "good and clean governance" (pemerintahan baik dan bersih) di Republik Indonesia. Sebagai seorang mantan Anggota DPR RI dari tahun 1992 sampai 2001, walaupun Taufiequrachman konsisten, dia tetap mendapat kritik dari berbagai pihak tentang dugaan tebang pilih pemberantasan korupsi.
Taufiequrachman mengemukakan data hasil survei Transparency Internasional mengenai penilaian masyarakat bisnis dunia terhadap pelayanan publik di Indonesia. Hasil survei itu memberikan nilai IPK (Indeks Persepsi Korupsi) sebesar 2,2 kepada Indonesia. Nilai tersebut menempatkan Indonesia pada urutan 137 dari 159 negara tersurvei. Lebih lanjut disampaikan, survei terbaru Transparency International yaitu "Barometer Korupsi Global", menempatkan partai politik di Indonesia sebagai institusi terkorup dengan nilai 4,2 (dengan rentang penilaian 1-5, 5 untuk yang terkorup). Di Asia, Indonesia menduduki prestasi sebagai negara terkorup dengan skor 9.25 (terkorup 10) di atas India (8,9), Vietnam (8,67), Filipina (8,33) dan Thailand (7,33).
Pada tahun 2007 Taufiequrachman Ruki digantikan oleh Antasari Azhar sebagai Ketua KPK.
4. KPK di bawah Antasari Azhar (2007-2009).
Lahir di Pangkal Pinang, Bangka Belitung, pada 18 Maret 1953. Mengenyam pendidikan dasar di SD Negeri I Belitung sebelum menyelesaikan pendidikan SMP dan SMA-nya di Jakarta. Enam tahun di Jakarta, Antasari kembali ke Palembang ketika mengikuti jenjang perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya. Selama masa kuliah itu, Antasari tergolong mahasiswa yang gemar berorganisasi. Beliau pernah menjabat sebagai Ketua Senat Fakultas Hukum dan Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa Universitas Sriwijaya.
Beliau meraih gelar magister hukumnya di STIH “IBLAM” di Commercial Law New South Wales University Sidney pada 1996 dan Investigation For Environment Law, EPA, Melbourne pada tahun 2000.
Pada 5 Desember 2007, Komisi III DPR melalui voting, memutuskan Antasari untuk memegang tampuk Pimpinan KPK periode 2007-2011 bersama empat orang lainnya. Ketika itu sebenarnya suara Antasari berada di bawah perolehan suara Chandra M. Hamzah. Namun pada saat babak kedua untuk memilih Ketua KPK, Antasari yang kemudian berhasil meraih suara terbesar dengan mengalahkan Chandra M. Hamzah.
Antasari Azhar dilantik sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi pada hari selasa, 18 Desember 2007 setelah terpilih lewat pemungutan suara di DPR. Pengucapan sumpahnya sebagai Pimpinan KPK periode 2007- 2011 dilakukan di hadapan Presiden Republik Indonesia di Istana Negara.
Sejak dilantik menjadi Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Antasari Azhar tak pernah lepas dari sorotan khalayak. Banyak kalangan tak yakin, KPK di bawah kendali mantan Direktur Penuntutan pada JAM Pidum Kejagung itu bisa bekerja profesional.
Namun, dalam hitungan hari, Antasari berhasil membalikkan opini publik yang meragukan kinerjanya. Di antara kasus-kasus korupsi yang berhasil diungkap pada zaman Antasari Azhar adalah :
1. Mantan Kapolri Rusdihardjo. Ditahan sejak 16 Januari 2008 di Rutan Brimob Kelapa Dua. Terlibat kasus dugaan korupsi pada pungli pada pengurusan dokumen keimigrasian saat menjabat sebagai Duta Besar RI di Malaysia sebesar 6.150.051 ringgit Malaysia atau sekitar Rp15 miliar.
2. Direktur Hukum BI Oey Hoey Tiong dan mantan Kepala Biro BI Surabaya Rusli Simanjuntak. Ditahan KPK sejak 14 Februari 2008 Oey Hoey Tiong ditahan di Rutan Polda Metro Jaya Rusli Simanjuntak ditahan di Rutan Brimob Kelapa Dua. Kedua petinggi BI ini ditetapkan tersangka dalam penggunaan dana YPPI sebesar Rp 100 miliar.
3. Gubernur Bank Indonesia (BI) Burhanuddin Abdullah. Ditahan sejak 10 April 2008 di Rutan Mabes Polri. Burhanuddin diduga telah menggunakan dana YPPI sebesar Rp 100 miliar.
4. Aulia Pohan, besan Presiden SBY. Aulia Pohan ditahan sejak Kamis 27 November 2008. Dia bersama tersangka lain diduga terlibat dalam pengucuran dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) sebesar Rp100 miliar.
5. Jaksa Urip Tri Gunawan dan Arthalita Suryani. Jaksa Urip dan Arthalita ditangkap pada 2 Maret 2008. Urip ditahan di Rutan Brimob Kelapa Dua, Arthalita ditahan di Rutan Pondok Bambu. Jaksa Urip tertangkap tangan menerima 610.000 dolar AS dari Arthalita Suryani di rumah obligor BLBI Syamsul Nursalim di kawasan Permata Hijau, Jakarta Selatan. Urip di vonis ditingkat pengadilan Tipikor dan diperkuat ditingkat kasasi di Mahkamah Agung selama 20 tahun penjara. Sedangkan Arthalita di vonis di Tipikor selama 5 tahun penjara.
6. Pimpro Pengembangan Pelatihan dan Pengadaan alat pelatihan Depnakertrans Taswin Zein. Ditahan 12 Maret 2008 di Rutan Polda Metro Jaya. Taswin diduga terlibat dalam kasus penggelembungan Anggaran Biaya Tambahan (ABT) Depnakertrans tahun 2004 sebesar Rp 15 miliar dan Anggaran Daftar Isian sebesar Rp 35 miliar.
7. Mantan Gubernur Riau Saleh Djasit (1998-2004). Ditahan sejak 20 Maret 2008 di Rutan Polda Metro Jaya. Saleh yang juga anggota DPR RI (Partai Golkar) ditetapkan sebagai tersangka sejak November 2007 dalam kasus dugaan korupsi pengadaan 20 unit mobil pemadam kebakaran senilai Rp 15 miliar. Saleh Djasit telah di vonis Pengadilan Tipikor selama 4 tahun penjara.
8. Mantan gubernur Jawa Barat Danny Setiawan dan Dirjen Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri Oentarto Sindung Mawardi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus Damkar. Danny Setiawan ditahan KPK pada 10 November 2008.
9. Anggota DPR RI (PPP) Al Amin Nur Nasution dan Sekda Kabupaten Bintan Azirwan. Ditangkap tanggal 9 April 2008. Saat tertangkap ditemukan Rp 71juta dan 33.000 dolar Singapura. Dia ditangkap bersama tiga orang lainnya di Hotel Ritz Carlton.
10. Anggota DPR RI (Partai Golkar) Hamka Yamdhu dan mantan Anggota DPR RI (Partai Golkar) Anthony Zeidra Abidin. Ditahan pada 17 April 2008. Mereka diduga menerima Rp 31,5 miliar dari Bank Indonesia.
11. Bupati Lombok Barat Iskandar dan Dirut PT Varindo Lombok Inti Izzat Husein ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi tukar guling (ruilslag) bekas kantor lama bupati Lombok Barat.
12. Mantan Direktur Keuangan (Dirkeu) PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) Ranendra Dangin ditahan KPK pada Kamis, 8 Januari 2009 di Rumah Tahanan Cipinang, Jakarta Timur. Rendra dijadikan tersangka dalam kasus dugaan korupsi impor gula pasir putih yang dilakukan atas kerja sama antara PT RNI dan Bulog.
Tersangka lain setelah Antasari Azhar ditahan di Mapolda Metro Jaya : -
1. Haryadi Sadono, mantan General Manager PLN Distribusi Jawa Timur yang sekarang menjabat Direktur PLN Distribusi Luar Jawa, Madura, dan Bali, ditetapkan sebagai tersangka pada Selasa (5/5/09) dalam kasus dugaan korupsi PLN Distribusi Jawa Timur.
2. KPK menahan mantan Gubernur Sumatra Selatan (Sumsel) Syahrial Oesman, Senin (11/5/09) dalam kasus kasus korupsi proyek pelabuhan Tanjung Api-api, Sumsel. Syahrial ditahan di Rutan Cipinang, Jakarta Timur.
Dan masih banyak kasus korupsi lain yang berhasil diungkap dan dipersidangkan pada zaman beliau.
Pada 14 Maret 2009, Antasari terjerat kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, Dirut PT. Putra Rajawali Banjaran yang tertembak mati usai bermain golf di Padang Golf Moderland, Cikokol, Tanggerang.
Pada 11 Oktober 2009, sesuai dengan Keputusan Presiden No. 78/P Tahun 2009, Antasari diberhentikan dari posisinya sebagai ketua merangkap anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2007-2011.
5. Konsep Pemberantasan Korupsi.
5.1. Carrot and Stick (kecukupan dan hukuman).
Carrot adalah pendapatan netto untuk pegawai negeri, baik sipil maupun TNI dan polisi yang jelas mencukupi untuk hidup dengan standar yang sesuai dengan pendidikan, jabatan, martabat, dan pengetahuannya.
Stick adalah hukuman yang berat bila carrot sudah dipenuhi tapi masih bertindak korupsi.
Keberhasilan konsep ini telah dibuktikan oleh Singapura. Dan sekarang sedang berlangsung di China.
5.2. Sistem Penggajian (salary system).
Sistem penggajian ini harus dibenahi yang sesuai dengan merit system (sistem penilaian jasa). Yang tingkat pekerjaan serta tanggung jawabnya lebih berat harus mendapatkan pendapatan netto yang lebih besar.
5.3. Perampingan Birokrasi.
Bila suatu birokrasi disusun sesuai dengan kebutuhannya untuk mencapai tujuan yang optimal, maka jumlah PNS dapat diperkecil. Pengeluaran untuk gaji, ruang kerja, ATK, listrik, biaya perjalanan dan sebagainya akan dapat diperhemat dalam jumlah yang besar.
5.4. Kritik.
Dalam kabinet Gus Dur tidak sedikit menteri dan anggota DPR yang langsung saja mengkritik dengan tajam. Di saat sebagian besar rakyat hidup dalam kemiskinan, pemerintah malah menaikkan pendapatan bersih untik dirinya sendiri sampai standar internasional.
Juga dikatakan bahwa dalam lingkungan Departemen Keuangan pernah dicoba meningkatkan pendapatan bersih hingga 10 kali lipat, tapi ternyata masih korup.
Menanggapi kritikan ini, Kwik Kian Gie (Menko Ekuin pada saat itu) mangatakan bahwa hal itu terjadi karena yang masioh berkorupsi tidak diapa-apakan. Jadi carrot-nya diberikan, tapi stick-nya tidak diterapkan.
5.5. Alternatif lain.
6. Dasar hukum KPK
Yang menjadi dasar hukum KPK antara lain :
- UU RI nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
- Keppres RI No. 73 Tahun 2003 tentang Pembentukan Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
- UU RI No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari KKN.
- UU RI No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
- UU RI No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
- UU RI No. 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
- PP RI No. 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
- PP RI No. 19 Tahun 2000 Tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
- PP RI No. 109 Tahun 109 Tahun 2000 Tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Daftar Pustaka.
http://www.kpu.go.id/
http://www.antikorupsi.org/
http://id.wikipedia.org/wiki/kpu/
http://id.wikipedia.org/wiki/kpk/
Kwik Kian Gie, Pemberantasan Korupsi untuk Meraih Kemandirian, Kemakmuran, Kesejahteraan, dan keadilan. 2003.
Gayo, Iwan. Buku Pintar, Jakarta : Pustaka Warga Negara, 2001.
Transparecy International Indonesia.
Indonesia Corruption Watch.
Daftar Kasus Korupsi di Indonesia.
Langganan:
Postingan (Atom)