Kamis, 25 Maret 2010

BAHAYA FITNAH TAKFIR

Dunia Islam dan kaum muslimin dewasa ini cukup menyedihkan. Tuduhan demi tuduhan dilemparkan musuh-musuh Allah Subhanahu wa Ta'ala, akibat ulah sebagian kelompok kaum muslimin. Musuh-musuh Islam terus mengintai negara dan masyarakat Islam; mengintai kapan kaum muslimin berbuat salah, kapan menjadi materialis dan kapan cinta dunia menguasainya.

Akhirnya, masa-masa yang ditunggupun tiba. Kaum muslimin hidup bergelimang dunia dan dosa. Kebodohan menjadi ciri mereka, menyebabkan keluar dan menyelisihi syariat. Tanpa sadar membuat kerusakan di bumi dan seisinya. Padahal sesuatu yang menyelisihi, pasti berbahaya; apalagi dalam permasalahan agama.

Kehinaan dan fitnah pun melanda kaum muslimin, sebagai konsekwensi akibat melanggar dan jauhnya mereka dari syariat RasulNya.

Allah berfirman,

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih". [An Nur:63].

Bermunculanlah penyakit dan fitnah dalam tubuh kaum muslimin. Membuat mereka bingung, sedih dan berpecah-belah. Semoga Allah mengembalikan dan mempersatukan kaum muslimin di atas ajaran agama Islam yang benar.

Diantara fitnah yang muncul dan sangat berbahaya dalam tubuh kaum muslimin, yaitu fitnah takfir. Takfir ialah vonis kafir terhadap orang lain yang menyimpang dari syari’at Islam. Fitnah ini berawal dari munculnya sekte Khawarij pada zaman Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu. Fitnah ini pernah mengguncang dunia Islam. Menumpahkan ribuan, bahkan jutaan darah kaum muslimin. Telah banyak harta dan jiwa yang dikorbankan kaum muslimin untuk meredam fitnah ini

Lihatlah, sejak pembunuhan khalifah dan menantu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam Utsman bin Affan Radhiyallahu 'anhu, disusul dengan terbunuhnya khalifah dan menantu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu, hingga pemberontakan mereka terhadap negara Islam Bani Umayyah dan Abbasiyah, serta negara-negara Islam hingga saat ini. Sehingga Dr. Ghalib bin Ali Al ‘Awajiy menyatakan,“Khawarij merupakan salah satu firqah besar yang melakukan revolusi berdarah dalam sejarah politik Islam. Mereka telah menyibukkan negara-negara Islam dalam waktu yang sangat panjang sekali.” [1]

Pertama kali muncul, mereka mencela sebaik-baiknya orang shalih waktu itu. Yaitu Khalifah Ali Radhiyallahu 'anhu. Bukanlah satu hal aneh, karena tokoh pertama mereka yang bernama Dzul Khuwaishirah telah mencela sebaik-baiknya makhluk Allah, yaitu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dikisahkan dalam riwayat dibawah ini :

أَنَّ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقْسِمُ قِسْمًا أَتَاهُ ذُو الْخُوَيْصِرَةِ وَهُوَ رَجُلٌ مِنْ بَنِي تَمِيمٍ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ اعْدِلْ فَقَالَ وَيْلَكَ وَمَنْ يَعْدِلُ إِذَا لَمْ أَعْدِلْ قَدْ خِبْتَ وَخَسِرْتَ إِنْ لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ فَقَالَ عُمَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ائْذَنْ لِي فِيهِ فَأَضْرِبَ عُنُقَهُ فَقَالَ دَعْهُ فَإِنَّ لَهُ أَصْحَابًا يَحْقِرُ أَحَدُكُمْ صَلَاتَهُ مَعَ صَلَاتِهِمْ وَصِيَامَهُ مَعَ صِيَامِهِمْ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ

"Sesungguhnya Abu Sa’id Al Khudri bercerita,”Ketika kami bersama Rasululluh Shallallahu 'alaihi wa sallam dan beliau membagi-bagikan sesuatu. Datanglah Dzul Khuwaishirah seorang yang berasal dari Bani Tamim kepada beliau, lalu berkata,’Wahai Rasulullah berbuat adillah!’ Lalu beliau menjawab,’Celaku kamu, siapakah yang berbuat adil, jika aku tidak berbuat adil? Engkau telah rugi dan celaka jika aku tidak adil’. Umar berkata,’Wahai Rasulullah izinkanlah aku memenggal lehernya’. Beliau menjawab,’Biarkan dia! Sesungguhnya dia memiliki pengikut. Salah seorang dari kalian akan meremehkan sholatnya dibanding sholat mereka dan puasanya dibanding puasa mereka. Mereka membaca Al Qur’an, tapi hanya ditenggorokan mereka saja. Mereka meninggalkan agama, sebagaimana anak panah keluar dari busurnya’.” [Mutafaqun alaihi].

Nampaklah, bahwa kemunculan Khawarij berawal dari persoalan harta dan penentangan terhadap pemimpin. Sungguh benar sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ

"Sesungguhnya setiap umat memiliki fitnah, dan fitnah umatku adalah harta".

Dzul Khuwaishirah menentang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan slogan keadilan. Menuntut keadilan, hak dan persamaan. Dia menuduh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berbuat tidak adil, sehingga menuntut Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan keadaan pengikutnya.

Tuduhan dan tuntutan seperti ini ditujukan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tentunya, kepada orang yang berada dibawah (sesudah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam), dari para penguasa dan wali amri kaum muslimin lebih gampang dan mudah bagi mereka menyampaikan tuntutannya. Ketika pengikut Dzul Khuwaishirah muncul pada zaman Ali bin Abi Thalib, juga karena persoalan harta dan penentangan mereka terhadap kebijakan Khalifah Ali Radhiyallahu 'anhu [2]. Setelah itu, mereka mengkafirkan pelaku dosa besar, menghalalkan darah dan harta kaum muslimin seluruhnya, kecuali anggota sektenya. Inilah yang melandasi pemberontakan mereka dan membunuh orang-orang yang tidak bersalah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan dalam haditsnya,

إِنَّ مِنْ ضِئْضِئِ هَذَا قَوْمًا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ الْإِسْلَامِ مُرُوقَ السَّهْمِ مِنْ الرَّمِيَّةِ يَقْتُلُونَ أَهْلَ الْإِسْلَامِ وَيَدَعُونَ أَهْلَ الْأَوْثَانِ لَئِنْ أَنَا أَدْرَكْتُهُمْ قَتَلْتُهُمْ قَتْلَ عَادٍ

"Sesungguhnya di belakang orang ini akan lahir satu kaum yangmembaca Al Qur’an, tetapi tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka lepas dari Islam, seperti lepasnya anak panah dari busurnya. Mereka membunuh kaum muslimin dan membiarkan penyembah berhala. Sungguh, jika aku mendapatkan mereka, niscaya aku bunuh mereka dengan cara pembunuhan kaum ‘Ad".[3]

Dan dalam riwayat yang lainnya:

هُمْ شَرُّ قَتْلَى قُتِلُوا تَحْتَ أَدِيمِ السَّمَاءِ

"Mereka adalah sejelek-jelek orang yang terbunuh di bawah langit" [4]

Kaum Khawarij ini diperangi kaum muslimin, hingga hampir hilang dari permukaan bumi. Memang, kumpulan mereka ini masih ada di beberapa tempat, seperti: di Oman, Maroko, Al Jazair dan Zanjibar. Diwakili oleh sekte Ibadhiyah. Meskipun demikian, pemikiran dan aqidah mereka masih eksis dan bertebaran di sekitar kaum muslimin. dan terkadang sebagian kaum muslimin tidak sadar memiliki pemikiran dan aqidah mereka ini.

Kemudian lebih dari seperempat abad yang lalu muncullah istilah takfir dan hijrah, ditandai dengan satu kejadian besar. Yaitu pembunuhan terhadap penulis kitab At Tafsir wal Mufassirun, Syaikh Muhammad Husein Adz Dzahabi.

Jamaah takfir wal hijrah ini dikatakan oleh para peniliti, sebagai bagian dari Jamaah Ikhwanul Muslimin. Mereka kecewa dengan sikap dan tindakan tokoh-tokoh pemimpin Ikhwanul Muslimin dengan peran mereka dalam politik negeri Mesir. Lalu mengangkat panji hakimiyah sebagai simbol pemisah kafir dan Islam. Pada akhirnya, mereka mengkafirkan seluruh kaum muslimin, baik penguasa maupun rakyatnya –tentu- kecuali anggota jamaah mereka.

Dari takfir ini, mereka melakukan pembunuhan, peledakan dan pelecehan hak para ulama serta kaum muslimin. Mereka mengambil pemikirannya berdasarkan tulisan dan pernyataan Sayyid Quthub yang telah menjadi imam dan pemikir sejatinya. Kita akan semakin jelas melihatnya, jika mencermati dan menelaah pemikiran Sayyid Quthub, salah seorang tokoh legendaries Jamaah Ikhwanul Muslimin. Mereka banyak menjadikan pemikiran tokoh intelektual ini dalam kaidah beragama. Memnyebabkan mereka menjadi orang yang cepat memvonis kafir terhadap orang lain. Mencela para ulama yang tidak cocok atau dianggap tidak sesuai dengan mereka. Hal ini tidaklah mengherankan. Karena orang yang telah terkena fitnah takfir, tentunya tidak lepas dari gaya penampilan para pendahulu mereka dari kalangan Khawarij. Beberapa pemikiran Sayyid Quthub tentang takfir, dapat diketahui besarnya bahaya yang muncul karenanya.

Tentang takfir ini [5], Sayyid Quthub mengkafirkan hampir seluruh kaum muslimin, termasuk para muadzin yang selalu melantunkan kalimat tauhid. Seperti ini dapat dilihat pada tulisan beliau. Diantara pernyataan beliau, ialah:

1. Manusia telah murtad kepada penyembahan makhluk (paganisme) dan kejahatan agama serta telah keluar dari Laa ilaha Illa Allah. Walaupun sebaian mereka masih selalu mengumandangkan Laa ilaha Illa Allah diatas tempat beradzan”.[6]

2. Manusia telah kembali kepada kejahiliyahan, dan keluar dari Laa ilaha Illa Allah … Manusia seluruhnya -termasuk orang–orang yang selalu mengumandangkan kalimat Laa ilaha illa Allah pada adzan-adzan di timur sampai barat bumi ini tanpa pengertian dan pembuktian nyata- bahkan mereka ini lebih berat dosa dan adzabnya pada hari kiamat; karena mereka telah murtad kepada penyembahan makhluk, setelah jelas bagi mereka petunjuk dan setelah mereka berada di agama Allah [7].

3. Masyarakat yang menganggap dirinya muslim masuk ke dalam lingkungan masyarakat jahiliyah, bukan karena meyakini uluhiyah kepada selain Allah. Bukan pula karena menunjukkan syi’ar-syi’ar peribadatan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala, akan tetapi mereka masuk ke dalam lingkup ini karena tidak beribadah kepada Allah saja dalam hukum-hukum kehidupannya.[8]

4. Orang yang tidak mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam hakimiyah –di semua zaman dan tempat- adalah orang-orang musyrik. Tidak mengeluarkan mereka dari kesyirikan ini, walaupun mereka berkeyakinan terhadap Laa ilaha illa Allah dan tidak pula syi’ar (peribadatan) yang mereka tujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.[9]

5. Di permukaan bumi ini, tidak ada satupun negara Islam dan tidak pula masyarakat muslim [10].

Sayyid Quthub mengkafirkan masyarakat kaum muslimin yang ada. Karena –masyarakat muslim itu- tidak menggunakan hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam mengatur kehidupan mereka. Akan tetapi, beliau mensifatkan penyembah berhala -dari kalangan kaum musyrikin- dengan pernyataannya: "Kesyirikan mereka yang hakiki bukanlah pada permasalahan ini -yaitu penyembahan berhala untuk mendekatkan diri dan meminta syafaat di hadapan Allah- dan tidak pula islamnya orang yang masuk Islam karena meninggalkan permohonan syafaat kepada para berhala tersebut".[11]

Perhatikanlah pernyataan beliau ini. Bukankah menyelisihi firman Allah Subhanahu wa Ta'ala berikut ini?

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أَمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan),"Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu," [An Nahl:36]

إِنَّ اللهَ لاَيَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَادُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَآءُ

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu", [An Nisa:48].

Bahkan para Rasul berdakwah mengajak kaumnya untuk tidak menyembah selain Allah Subhanahu wa Ta'ala dan menyatakan,

يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَالَكُم مِّنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ

"Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Ilah bagimu selainNya". [Al A’raf:59].

Kemudian kaum ‘Ad membantah ajakan nabi mereka dengan menyatakan,

قَالُوا أَجِئْتَنَا لِنَعْبُدَ اللهَ وَحْدَهُ وَنَذَرَ مَاكَانَ يَعْبُدُ ءَابَآؤُنَا فَأْتِنَا بِمَا تَعِدُنَآ إِن كُنتَ مِنَ الصَّادِقِينَ

"Mereka berkata,"Apakah kamu datang kepada kami, agar kami hanya menyembah Allah saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami, maka datangkanlah adzab yang kamu ancamkan kepada kami, jika kamu termasuk orang-orang yang benar." [Al A’raf:70].

Demikian juga kaum Nabi Nuh Alaihissallam, ketika didakwahi untuk tidak menyembah orang shalih yang diyakini dapat memberi syafaat dan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, mereka menyatakan,

وَقَالُوا لاَ تَذَرُنَّ ءَالِهَتَكُمْ وَلاَتَذَرُنَّ وَدًّا وَلاَسُوَاعًا وَلاَيَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا

"Dan mereka berkata,"Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) ilah-ilah kamu, dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwaa', yaghuts, ya'uq dan nasr," [Nuh:23].

Ternyata dakwah para Rasul ialah mengajak manusia menyembah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan menjauhi syirik dalam peribadatan, bukan syirik hakimiyah; tidak seperti yang mereka inginkan. Bahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menegaskan dalam pernyataan beliau :

يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ الْأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِي لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً

"Wahai Bani Adam, sesungguhnya jika kamu menjumpaiKu dengan membawa sepenuh bumi kesalahan, kemudian menjumpaiKu dalam keadaan tidak menyekutukanKu, sungguh Aku akan memberimu sepenuh pengampunan bumi" [12].

يَا مُعَاذُ أَتَدْرِي مَا حَقُّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ قَالَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا أَتَدْرِي مَا حَقُّهُمْ عَلَيْهِ قَالَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ أَنْ لَا يُعَذِّبَهُمْ

"Wahai Mu’adz, tahukah engkau, apa hak Allah atas hambaNya?Dia (Mu’adz) menjawab,“Allah dan RasulNya lebih mengetahui.” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,“MenyembahNya dan tidak menyekutukanNya. Apakah engkau tahu, apa hak mereka atas Allah?” Mu’adz menjawab,“Allah dan RasulNya lebih mengetahui.” Beliau menjawab,“Tidak mengadzab mereka.” [13]

Subhanallah! Seandainya memang benar perkataan dan pernyataan Sayyid Quthub ini, tentulah apa yang didakwahkan para Rasul tersebut tidak sesuai dengan kenyataan dan kebutuhan umat manusia. Ini sungguh kesalahan yang sangat fatal sekali.

Pemikiran takfir ini terus merebak di kalangan para pemuda kaum muslimin yang bersemangat. Sehingga, akibatnya mereka mengorbankan diri untuk meledakkan bom, merusak dan membunuh dengan dalih jihad suci melawan orang kafir. Bahkan lebih dari itu, mereka melecehkan para ulama dan mengkafirkannya. Lantaran para ulama itu tidak mengkafirkan orang yang telah kafir. Sungguh mengerikan akibat ditimbulkan dari pemikiran takfir ini.

Maka, sudah seharusnya kaum muslimin senantiasa waspada terhadap kembalinya pemikiran-pemikiran yang merusak ini. Yaitu dengan menuntut ilmu agama dari para ulama, dan tidak tergesa-gesa memvonis kafir (takfir) terhadap orang lain, serta senantiasa menyerahkan permasalahan kepada ahlinya.


PERNYATAAN SYAIKH MUHAMMAD BIN SHALIH AL 'UTSAIMIN RAHIMAHULLAH
TENTANG TAKFIR


Takfir, satu perkara yang sangat mendasar. Rasulullah SAW mengingatkan kita untuk tidak mudah menuduh kafir kepada saudaranya. Sebab, bila tuduhan kafir tersebut tidak benar, maka akan berbalik kepada yang menuduh. Berikut, kami sampaikan pendapat Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin tentang takfir.
Semoga dapat menambah pengetahuan dan pemahaman kita terhadap urgensi takfir. Disadur dari dua kitab Beliau rahimahullah, yaitu : Kitab Al Al Qaul Al Mufid ‘Ala Kitab At Tauhid dan Syarh Kasyfu Asy Syubuhat (Wa Yalihi Syarh Al Ushul As Sittah).
_______________________________________________________


ORANG-ORANG YANG BERHUKUM TIDAK DENGAN APA YANG DITURUNKAN ALLAH [13]
Tentang orang-orang yang berhukum tidak dengan hukum yang diturunkan Allah, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah mengatakan, bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan tiga penyebutan, yaitu :

1. Kafir, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman dalam surat Al Ma’idah : 44, (Artinya: "Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang kafir".)

2. Dhalim, Allah berfirman dalam surat Al Ma’idah : 45, (Artinya: "Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang dhalim").

3. Fasik, Allah berfirman dalam surat Al Maidah : 47 (Artinya : "Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang fasik").

Berkaitan dengan tiga ayat di atas, para ulama berbeda pendapat.

Pertama : Ada yang mengatakan, tiga penyebutan (sifat) pada tiga ayat tersebut ditujukan kepada satu pribadi. Sebab, orang kafir adalah juga orang yang dhalim, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

وَالْكَافِرُونَ هُمُ الظَّالِمُونَ

"Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang dhalim".[Al Baqarah:254].

Orang kafir adalah juga orang fasik, berdasarkan firmanNya:

وَأَمَّا الَّذِينَ فَسَقُوا فَمَأْوَاهُمُ النَّارُ

"Adapun orang-orang yang fasik, maka tempat kembali mereka adalah neraka" [As Sajdah:20].

Arti ‘fasaquu’ (orang-orang yang fasik dalam ayat ini) ialah orang-orang yang kafir.

Kedua : Adapula yang mengatakan, tiga penyebutan (sifat) tersebut diperuntukkan bagi tiga pribadi. Masing-masing sesuai dengan keadaan hukumnya, yaitu:

A. Seseorang akan menjadi kafir, jika mengalami salah satu diantara tiga keadaan berikut:

1. Jika meyakini bolehnya berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah, dengan dalil:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ

"Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki" [Al Ma’idah:50].

Setiap hukum yang menyelisihi hukum Allah, berarti merupakan hukum jahiliyah. Berdasarkan dalil ijma’ yang qath’i, tidak diperbolehkan berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah. Dengan demikian, orang yang menghalalkan dan memperbolehkan berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah, berarti menyelisihi ijma’ kaum muslimin yang qath’i. Berarti ia kafir dan murtad. Keadaannya, seperti orang yang meyakini halalnya zina dan meminum khamr, atau meyakini haramnya roti atau susu.

2. Jika meyakini, bahwa hukum selain Allah sama baiknya dengan hukum Allah.
3. Jika meyakini, bahwa hukum selain Allah lebih baik dari hukum Allah.

Berdasarkan dalil firman Allah Subhanahu wa Ta'ala

وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ

"Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" [Al Ma’idah:50].

Ayat ini mengandung ketetapan, sesungguhnya hukum Allah merupakan hukum terbaik, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ

"Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?" [At Tiin:8].

Apabila Allah merupakan hakim yang terbaik hukumnya (sebab Allah adalah Ahkamul Hakimin), maka barangsiapa yang mengklaim, bahwa hukum selain Allah sama baiknya dengan hukum Allah, atau bahkan lebih baik lagi, berarti ia telah kafir, sebab ia tidak percaya kepada Al Qur’an.

B. Atau, seseorang hanya akan menjadi dhalim (tidak kafir) jika:
Meyakini, bahwa hukum yang diturunkan Allah adalah sebaik-baik hukum. Merupakan hukum yang paling bermanfaat bagi hamba dan negara, serta mestinya wajib diterapkan. Namun, karena kebencian dan kedengkian terhadap orang yang diadili, ia (orang yang menghakimi) menghukumi berdasarkan selain apa yang diturunkan Allah, maka ia dhalim.

C. Atau, seseorang hanya akan menjadi fasik (tidak kafir), jika:
Dia menerapkan hukum menurut hawa nafsunya. Misalnya, menghukum seseorang karena suap yang diterimanya, atau karena kerabat, sahabat. Atau karena ada sesuatu harapan di balik itu. Padahal ia meyakini, bahwa hukum Allah adalah yang terbaik dan wajib diikuti, maka ia fasik. Meskipun bisa juga dikatakan dhalim, namum sifat fasik lebih tepat bagi dirinya.

Diantara dua pendapat di atas, maka yang kuat adalah pendapat kedua. Yaitu, tiga penyebutan yang diberikan Allah (kafir, dhalim dan fasik) tersebut diperuntukkan bagi tiga pribadi. Masing-masing sesuai dengan keadaannya (bisa kafir, atau hanya dhalim, atau fasik, peny.).

Adapun bagi orang yang membuat undang-undang hukum lain -padahal ia mengetahui ada hukum Allah dan hukum buatannya ini menyelisihi hukum Allah- maka orang ini telah mengganti syari’at Allah dengan undang-undang buatannya. Berarti ia kafir. Sebab, dengan adanya undang-undang buatannya ini, tidaklah ia membenci syari’at Allah, melainkan karena pasti -ia yakini- bahwa undang-undang tersebut lebih baik bagi manusia dan negara dibanding syari’at Allah.

Meskipun kami mengatakan bahwa ia kafir (artinya, perbuatan itu bisa menyebabkan kekafiran), Akan tetapi bisa jadi si pembuat undang-undang tersebut ma’dzur (termaafkan). Karena, misalnya ia terpedaya. Umpamanya dikatakan kepadanya,‘Ini tidak menyalahi Islam’, atau ‘Ini termasuk mashalih mursalah’, atau ‘Ini termasuk masalah yang oleh Islam dikembalikan kepada manusia’. (Lihat hal. 266-269)

Selanjutnya, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam Kitab yang sama (hal. 271-272) berkata lagi:

Hendaknya difahami, bahwa seseorang wajib merasa takut kepada Allah (Rabb-nya) dalam menetapkan semua masalah hukum. Sehingga hendaknya, ia tidak terburu-buru menetapkan kepastian hukum, khususnya berkaitan dengan takfir (menjatuhkan hukum kafir terhadap seseorang). Suatu (penetapan hukum) yang kini menjadi mudah diucapkan oleh sebagian orang yang memiliki ghirah agama yang tinggi dan sangat emosional, tanpa berpikir jeli.

Padahal jika seseorang mengkafirkan orang lain, sedangkan orang lain itu tidak kafir, maka tuduhan kafir kembali kepada dirinya.

Mengkafirkan seseorang akan mengakibatkan banyak konsekwensi hukum. Diantaranya, orang yang dikafirkan menjadi halal darah dan hartanya. Begitu pula semua konsekwensi hukum kafir lainnya. Sebaliknya, kita tidak boleh pula takut mengkafirkan orang yang telah dikafirkan oleh Allah dan RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun tetapi wajib membedakan antara takfir mu’ayyan (mengkafirkan terhadap pribadi tertentu) dengan takfir ghairil mu’ayyan (mengkafirkan secara umum, tidak kepada pribadi tertentu).

Untuk mengkafirkan pribadi tertentu, membutuhkan dua hal:

Pertama : Ada ketetapan yang sudah jelas (berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah. Lihat Syarh Kasyfu Asy Syubuhat Fi At Tauhid, hal. 57). Bahwa sesuatu yang dilakukan oleh seseorang tertentu merupakan perbuatan yang benar-benar bersifat kekafiran.

Kedua : Syarat-syarat kekafiran atas dirinya sudah tepat. Diantara syaratnya yang terpenting, ialah ia faham, bahwa perbuatannya adalah mukaffir (menyebabkan ia kafir). Sehingga apabila ia tidak faham (jahil), maka ia tidak kafir. Karena itulah para ulama menyebutkan, diantara syarat pelaksanaan hukum hadd (pidana), hendaknya si terpidana memahami haramnya sesuatu yang dilakukannya. Ini berkaitan dengan pelaksanaan hukum hadd (pidana), bukan hukum mengkafirkan. Tentunya dalam masalah hukum mengkafirkan, maka yang lebih layak dan utama ialah harus lebih berhati-hati. Allah Subhanahu w Ta'ala berfirman:

لِئَلاَّ يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللهِ حُجَّةُُ بَعْدَ الرُّسُلِ

"Agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu". [An Nisa’:165].

وَمَاكُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً

"dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul". [Al Isra’:15].

وَمَاكَانَ اللهُ لِيُضِلَّ قَوْمًا بَعْدَ إِذْ هَدَاهُمْ حَتَّى يُبَيِّنَ لَهُم مَّايَتَّقُونَ

"Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskanNya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi". [At Taubah:115]

Disamping syarat-syarat takfir harus terpenuhi, penghalang-penghalangnya juga harus tidak ada. Sehingga, jika seseorang melakukan perbuatan yang bersifat kekafiran, namun karena adanya paksaan atau karena kebingungan, maka ia tidak menjadi kafir. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

مَن كَفَرَ بِاللهِ مِن بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِاْلإِيمَانِ

"Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)". [An Nahl:106].

Juga berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mengkisahkan tentang seseorang yang tengah putus asa kehilangan onta beserta seluruh perbekalannya di tengah padang sahara sendirian. Tiba-tiba onta beserta segala perbekalannya ditemukan kembali. Karena sangat gembiranya, ia sampai mengatakan : ‘Ya Allah, Engkau adalah hambaKu, dan aku adalah TuhanMu’. Dia keliru dalam berkata, disebabkan teramat gembiranya.

TENTANG BODOH (TIDAK MENGERTI), ADAKAH PELAKU KEKAFIRAN KARENA BODOH BISA TERMAAFKAN? [14]
Berkaitan dengan permasalahan pertanyaan ini, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah menyangsikan pernyataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah yang mengatakan : …… seseorang bisa kafir hanya karena suatu perkataan yang ia cetuskan melalui lidahnya. Padahal ia mengucapkannya dengan tidak mengerti (bodoh), ternyata ia tidak termaafkan karena ketidak-mengertian (kebodohan)nya itu.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata, “Saya tidak yakin bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah berpandangan kalau kebodohan (ketidak-mengertian) tidak termaafkan (menyebabkan kekafirannya), kecuali jika kebodohannya benar-benar diakibatkan karena enggan mempelajari kebenaran. Misalnya, jika seseorang pernah mendengar kebenaran, tetapi ia tidak mempedulikannya dan mengabaikan upaya mempelajarinya. Maka yang ini tentu tidak termaafkan kebodohannya. Mengapa saya tidak yakin hal itu dari Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah ?

Sebab, beliau mempunyai pernyataan lain yang menunjukkan, bahwa beliau berpandangan ada maaf bagi kebodohan.

Beliau pernah ditanya tentang sesuatu yang menyebabkan orang diperangi karenanya, dan tentang sesuatu yang menyebabkan orang dinyatakan kafir karenanya?

Beliau menjawab: Rukun Islam yang lima, diawali dengan dua kalimat syahadat. Kemudian dilanjutkan empat rukun lainnya. Empat rukun Islam itu, jika seseorang telah mengikrarkan (mengimani)nya, namun kemudian tidak mengamalkannya karena bermalas-malas. Maka, sekalipun kami memeranginya -sebab ia tidak mengerjakannya- tetapi kami tidak mengkafirkannya. Ulama berselisih pendapat tentang orang yang meninggalkan shalat karena malas, bukan karena juhud (ingkar). Dan kami tidak mengkafirkan, kecuali dalam hal yang sudah menjadi kesepakatan semua ulama (jika ditinggalkan), yaitu dua kalimat syahadat.

Selanjutnya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah memaparkan secara panjang lebar tentang perkataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab berkaitan dengan siapa-siapa orang yang dinyatakan kafir (secara umum) oleh beliau. Kemudian menukil perkataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab berikutnya: Adapun tentang tuduhan dusta dan bohong atas nama kami -ialah seperti perkataan mereka- bahwa kami mengkafirkan semua orang, mewajibkan orang bergabung dengan kami jika sudah mampu memperlihatkan agamanya. Atau (menuduh) kami (telah) menganggap kafir terhadap orang yang tidak mengkafirkan orang lain, atau tidak mau memerangi orang lain. Semua ini dan tuduhan-tuduhan lainnya yang lebih keji, hanyalah kedustaan dan kebohongan. Dimaksudkan untuk menghalangi umat agar tidak bisa memahami agama Allah dan RasulNya.

Jika kami tidak berani mengkafirkan orang yang menyembah patung di kuburan Abdul Qadir (Al Jailani) atau patung di kuburan Ahmad Al Badawi dan lain-lainnya -disebabkan oleh kebodohan (ketidak mengertian) mereka- maka bagaimana mungkin kami akan mengkafirkan orang yang tidak musyrik kepada Allah hanya karena tidak mau bergabung dengan kami, atau tidak mau mengkafirkan orang lain atau tidak mau memerangi orang lain?!.

سُبْحَانَكَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ

Maha suci Engkau Ya Allah!. Ini merupakan kedustaan yang besar… …

Selanjutnya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah mengatakan,”Perselisihan pendapat dalam masalah udzur bil jahli (termaafkan karena kebodohan), adalah seperti perselisihan fiqhiyah ijtihadiyah lainnya. Bisa jadi perselisihan itu hanya merupakan perselisihan lafdzi (redaksional) saja. Disebabkan berkaitan dengan penetapan hukum terhadap pribadi tertentu. Artinya, semua sepakat bahwa suatu perkataan tertentu adalah kufur, atau suatu perbuatan tertentu adalah kufur, atau meninggalkam perbuatan tertentu adalah kufur. Akan tetapi, tepatkah penetapan hukum kafir tersebut kepada seorang pribadi tertentu (mu’ayyan) dikarenakan syarat-syarat yang menuntut kekafirannya ada, sedangkan penghalangnya tidak ada? Ataukah penetapan hukum tersebut tidak dapat dikenakan kepadanya, karena sebagian syarat yang menuntut kekafirannya tidak ada, atau karena adanya sebagian penghalang?

Sebab, jahil (tidak mengerti, bodoh) terhadap perkara yang bersifat mengkafirkan terjadi karena dua macam sebab:

Pertama : Dari non muslim atau tidak beragama sama sekali, namun tidak pernah terlintas dalam benaknya, bahwa ada agama yang menyelisihi agama yang selama ini dianutnya. Maka orang semacam ini, berlaku hukum secara dhahir di dunia (yakni kafir). Adapun di akhirat, urusannya terserah kepada Allah l . Tetapi yang kuat, ia akan diuji di akhirat sesuai dengan kehendak Allah k . Allah-lah yang lebih mengetahui apa yang mereka kerjakan. Tetapi kita mengetahui, bahwa seseorang tidak akan masuk neraka kecuali disebabkan oleh suatu dosa, berdasarkan firman Allah:

وَلاَيَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا

"Dan Rabbmu tidak menganiaya seorang juapun". [Al-Kahfi : 49].

Kita katakan, hukumnya berlangsung secara dhahir baginya di dunia, yakni hukum kafir. Sebab ia tidak beragama Islam. Jadi tak mungkin ia dihukumi sebagai Islam. Kemudian, mengapa kita katakan bahwa pendapat yang kuat, ia akan diuji di akhirat? Sebab, banyak atsar yang menerangkan tentang itu yang dibawakan oleh Imam Ibnu Al Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Thariq Al Hijratain ketika beliau membahas madzhab ke 8 tentang bagaimana kedudukan anak-anaknya orang musyrik. Di bawah pembahasan tentang peringkat para mukallaf yang keempatbelas.

Kedua : Dari seseorang yang beragama Islam, tetapi ia hidup dengan melakukan perkara yang bersifat mengkafirkan. Namun tidak terlintas dalam benaknya, bahwa tindakannya menyimpang dari Islam, dan tidak pula ada seseorang yang mengingatkannya. Maka, berlakulah hukum Islam secara dhahir baginya (artinya, ia disebut muslim, pen.). Adapun di akhirat, urusannya terserah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Itu dibuktikan dengan Al Qur’an, Sunnah serta perkataan para ulama.”

Selanjutnya Syaikh memaparkan dalil-dalil dari ayat-ayat Al Qur’an, Sunnah dan perkataan Ulama, mulai dari Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah sampai Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab –rahimahumullah-. (Lihat hal. 52-55).

Seterusnya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata,“Jadi, pada asalnya orang yang menisbatkan diri sebagai Islam, tetap dalam keadaan Islam-nya, sampai terbukti secara jelas, bahwa Islam telah lenyap dari dirinya berdasarkan tuntutan dalil syar’i. Tidak boleh secara gegabah menyatakannya sebagai kafir. Sebab, disana terdapat dua resiko berat (yang harus dihadapi):

Pertama : Membuat kebohongan atas nama Allah dalam kaitannya dengan penetapan hukum. Dan membuat kebohongan terhadap orang yang dihukumi kafir dalam kaitannya dengan pembuatan julukan kafir terhadapnya.

Tentang bohong atas nama Allah, itu jelas, sebab ia menghukumi kafir terhadap seseorang yang tidak dikafirkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Jadi, seperti orang yang mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah. Sebab menetapkan hukum kafir atau tidak, hanya menjadi hak Allah Subhanahu wa Ta'ala saja , seperti juga hak menetapkan hukum haram atau halal.

Tentang membuat kebohongan terhadap orang yang dihukumi kafir, karena telah memberikan sifat kepada seorang muslim dengan sifat sebaliknya. Ia katakana, kafir. Padahal orang tersebut terlepas dari kekafiran.

Kedua : Pantaslah jika penyebutan (anggapan) kafir itu membalik (kembali) kepada dirinya. Berdasarkan riwayat yang terdapat dalam Shahih Muslim, dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu. Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

إِذَا كَفَّرَ الرَّجُلُ أَخَاهُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا –وفي رواية-: إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ

"Bila seseorang mengkafirkan saudaranya, maka kekafiran itu kembali pada salah seorang diantara keduanya. Dalam riwayat lain: jika benar tuduhannya..., kalau tidak, (maka) akan membalik kepada dirinya". [HR Muslim, Kitab Al Iman, Bab: Bayan Hali Man Qala Li’akhihi Ya Kafir]”

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin kemudian mengemukakan dalil lain yang senada, serta menjelaskan maksudnya (namun, di sini kami tidak menukilnya, pen.). Berikutnya beliau mengatakan.

“Itulah resiko besar kedua. Yakni kembalinya tuduhan itu kepada penuduh, jika saudaranya terbebas dari kekafiran. Ini merupakan resiko besar yang benar-benar dikhawatirkan akan mengenai orang seperti itu. Sebab pada umumnya, orang yang terburu-buru menyebut muslim sebagai kafir, kagum terhadap kegiatan amal dirinya dan meremehkan orang lain. Dengan demikian, bergabunglah dalam dirinya rasa kagum terhadap amal dirinya yang justeru dapat menghanguskannya, dengan kesombongan yang akan mengakibatkan datangnya azab Allah Azza wa Jalla di neraka. Sebagaimana telah diterangkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلََّ : الكِبْرِيَاءُ رِدَائِي وَالْعَظَمَةُ إِزَارِي، فَمَنْ نَازَعَنِي وَاحِدًا مِنْهُمَا قَذَفْتُهُ فِي النَّارِ

"Allah Azza wa Jalla berfirman,”Kesombongan adalah selendangKu dan keagungan adalah kainKu. Maka, barangsiapa yang ingin mengambil salah satunya dariKu, niscaya Aku akan melemparkannya ke dalam neraka".

PENUTUP
Demikianlah, pernyataan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin yang kami nukilkan secara bebas dan ringkas dari dua kitab beliau. Hendaknya seseorang jangan gegabah melakukan takfir (menjatuhkan hukum kafir kepada orang lain). Karena takfir merupakan hukum syar’i yang kembalinya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan, ketika ditanya tentang hukum mengkafirkan masyarakat, beliau menjawab:

"Tidaklah merupakan hak setiap orang untuk melontarkan takfir (menjatuhkan hukum kafir kepada orang lain), atau berbicara tentang takfir terhadap jama’ah atau individu. Takfir mempunyai pedoman-pedomannya. Barangsiapa yang melakukan satu pembatal diantara pembatal-pembatal Islam, maka ia dihukumi sebagai kafir.

Pembatal-pembatal Islam sudah diketahui. Yang paling besar ialah syirik kepada Allah Azza wa Jalla, mengaku mengetahui ilmu ghaib, dan berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah.

Allah berfirman,

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

"Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang kafir". [Al Ma’idah : 44].

Jadi persoalan takfir adalah persoalan yang berbahaya. Tidak boleh setiap orang berbicara melancarkan tuduhan kafir kepada orang lain. Persoalan ini merupakan wewenang mahkamah syar’iyah, wewenang para ahli ilmu (ulama) yang betul-betul memiliki kedalaman ilmu. Yaitu orang-orang yang memahami Islam, memahami pembatal-pembatal Islam, memahami keadaan-keadaan serta mempelajari situasi dan kondisi manusia dan masyarakat. Merekalah orang-orang yang memiliki hak untuk takfir (menjatuhkan hukum kafir kepada seseorang) dan hak-hak lainnya.

Adapun orang-orang bodoh, individu-individu umat serta orang-orang yang baru setengah-setengah dalam belajar, maka mereka tidak mempunyai hak untuk melancarkan tuduhan kafir kepada pribadi-pribadi, jama’ah-jama’ah atau negara-negara. Sebab, mereka tidak mempunyai keahlian dalam masalah hukum ini. (Lihat Al Muntaqa min Fatawa Fadhilat, Asy Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan I/111-112, jawaban soal no. 63). Demikian. Wa nas alullaha at taufiq.


Ya Allah, kembalikanlah kami dan mereka ke dalam naungan Engkau. Tunjukanlah ke jalan yang Engkau ridhai.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12//Tahun VI/1423H/2003M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Firaqun Mu’asharah Tantasibu Ilal Islam 1/88, karya Dr. Ghalib bin Ali Al ‘Awajiy
[2]. Lihat kisahnya dalam perdebatan Ibnu Abbas dengan mereka dalam buku Mengapa Memilih Manhaj Salaf, halaman 135-140
[3]. Diriwayatkan oleh Abu Daud.
[4]. Diriwayatkan oleh At Tirmidzi, no. 2926 dan Ibnu Majah dalam Muqaddimah, no.173
[5]. Semua penukilan perkataan Sayyid Quthub diambil dari makalah Syaikh Sa’ad Al Hushein dalam Majalah Al Ashalah, 35/VI/Sya’ban 1422H, halaman 30-32, yang berjudul Fitnah At Takfir.
[6]. Fi Dzilalil Qur’an 2/1057, Cetakan Darusy Syuruq.
[7]. Ibid.
[8]. Ma’alim Fi Thariq, hal.101, Cetakan Darusy Syuruq.
[9]. Fi Dzilalil Qur’an 2/1492, Cetakan Darusy Syuruq.
[10]. Ibid. 2/2122.
[10]. Ibid. 3/1492.
[11]. Diriwayatkan oleh At Tirmidzi, no.3463.
[12]. Mutafaqun ‘alaihi
[13] Dari Kitab Al Al Qaul Al Mufid ‘Ala Kitab At Tauhid, jilid II halaman 266-272.
[14] Syarh Kasyfu Asy Syubuhat (Wa Yalihi Syarh Al Ushul As Sittah), hal. 46-60, I’dad Fahd bin Nashir As Sulaiman, Daar Ats Tsurayya.]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar