Jumat, 19 Maret 2010

Perbedaan Hukum Dalam Islam

PERBEDAAN HUKUM DALAM ISLAM


1. Pendahuluan.
Di antara ayat-ayat Al Qur’an ada yang disebut ayat muhkamat dan ayat mutasyabihat. Sebagaimana dalam firman Allah SWT :
هو الّذي أنزل عليك الكتاب منه أياتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أمّ الكِتاب و أُ خَرُ مُتَشَابِهَاتٌ ...
”Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat ...”.1
Ayat muhkamat adalah ayat yang sudah jelas arti dan maksudnya serta mudah difahami. Ayat ini disebut juga Qoth’iy ad Dalaalah, yaitu ayat yang artinya satu dan jelas serta bersifat absolut. Sedangkan ayat mutasyabihat adalah ayat yang belum jelas maksudnya dan mengandung arti lebih dari satu, sehingga untuk menentukan mana arti yang dimaksudkan ayat tersebut perlu diadakan penelitian dan pengkajian yang lebih mendalam. Ayat ini disebut juga Dzonniy ad Dalaalah. Yaitu ayat yang artinya tidak jelas dan boleh mengandung arti lebih dari satu.
Dari kedua macam ayat ini, ayat mutasyabihat lah yang menimbulkan pertentangan di antara para ulama’. Karena dalam memahami ayat tersebut mereka berbeda pendapat. Perbedaan inilah yang kemudian melahirkan aliran-aliran (madzhab) dalam Islam. Dalam teologi (ilmu kalam) muncul lima madzhab, yaitu Khawarij, Mu’tazilah, Asy’ariyah, Murji’ah, dan Mathuridiyah. Sedangkan dalam ilmu fiqih lahirlah beberapa madzhab, di antaranya madzhab Hanafiy, Syafi’iy, Malikiy, dan Hanbaliy (keempat madzhab ini adalah madzhab besar). Serta beberapa madzhab kecil lainnya, yaitu madzhab Ats Tsauriy, An Nakh’iy, Ath Thobariy, Al Auza’iy, dan Adz Dzahiriy. Khusus dalam bidang fiqh, hal tersebut merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya perbedaan pendapat.

Masih banyak faktor lain yang menjadi penyebab terjadinya perbedaan pendapat dalam Islam. Faktor-faktor inilah yang ingin dibahas oleh penulis dalam makalah ini.
2. Pembahasan.
Yang dinamakan fiqh itu metode istinbath hukumnya melalui metode ijtihadiy. Sebagaimana definisinya dalam ilmu ushul fiqh disebutkan bahwa : -
الفقه هو العلم بأ حكام الشّرعيّة التي طريقها الإجتهاد.
“Fiqh adalah suatu ilmu tentang hukum syar’i yang metode (istinbathnya) dengan cara ijtihad”.2
Sedangkan definisi ijtihad adalah : -
الإجتهادُ هو إستفراغ الوُسْعِ فِيْ نيلِ حُكْمٍ شرعيٍّ بطريقِ الإستِنْباطِ مِن الكِتابِ و السُّنَّةِ.
“Ijtihad adalah mengerahkan seluruh kemampuan demi memeroleh hukum syar’i dengan cara istinbath (mengambil hukum) dari Al Kitab dan As Sunnah”.3

Dikarenakan ijtihad itu dilakukan oleh mujtahid, di mana mujtahid juga seorang manusia dan umat Rasulullah, maka tak bisa dihindari lagi dari terjadinya ikhtilaful hukmi (perbadaan hukum) dalam Islam.

Di antara faktor penyebab terjadinya ikhtilaful hukmi dalam Islam adalah : -
2.1.Perbedaan mengenai shohih tidaknya suatu nash.
Shohihnya suatu nash (hadits) terkadang diperdebatkan. Ada sebagian ulama’ yang mau menerima keshahihan suatu nash dan ada pula yang menolaknya. Hal ini terjadi karena mereka berbeda pendapat dalam menilai tsiqoh (terpercaya) tidaknya seorang rowi, dlobith (tingkat intelektual) seorang rowi tersebut rendah atau tinggi, lemah tidaknya matan dan sanad suatu hadits, dan apakah seluruh rowi dalam sanad itu saling bertemu satu sama lain sehingga sanadnya menyambung dari Nabi SAW sampai kepada mukhorrij atau tidak.
Seperti hadits berikut : -
الجنَّةُ تحتَ أقدامِ الأُمَّهَاتِ , مَنْ شِئْنَ أَدْخَلْنَ و مَنْ شِئْنَ أَخْرَجْنَ.
“Surga itu di bawah telapak kaki para ibu. Bila ibu itu menghendaki, maka ia memasukkannya. Dan bila ia menghendaki, maka ia boleh mengeluarkannya”.

Hadits ini Maudlu’.
Diriwayakan oleh Ibnu ‘Adiy I/325, Al ‘Uqoiliy dalam kitab “ الضعفاء ” dengan sanad dari Musa bin Muhammad bin ‘Atho’, dari Abul Malih, dari Maimun, dari ‘Abdullah bin ‘Abbas ra.
Al ‘Uqoiliy berkata, “Hadits ini munkar”.4
Meskipun sudah jelas bahwa hadits ini lemah, tapi anehnya masih sering digunakan di kalangan ulama’, ustadz, kyai, dll.
Contoh lain : -
إِخْتِلافُ أُمَّتِي رَحمةٌ.
“Perselisihan pendapat di kalangan umatku adalah suatu rahmat”.
Hadits ini لا أصلَ له (tidak diketahui asal usulnya).
Para ahli hadits telah berusaha mencari sanad hadis ini, tetapi mereka tidak berhasil menemukan sanadnya.
Al Manaawiy meriwayatkan dari As Subkiy bahwa beliau pernah berkata, “Hadits ini tidak terkenal sama sekali di kalangan para ulama’ hadits”.5
Para ulama’ hadits telah sepakat bahwa hadits ini lemah. Akan tetapi sebagian ulama’ lain memakainya sebagai dalil, mengajarkannya kepada orang lain, bahkan menyampaikannya tanpa sanad.

2.2.Perbedaan dalam memahami nash.
Dalam suatu nash Al Qur’an atau Al Hadits sering terdapat kata yang mengandung makna ganda (musytarok), makna global (mujmal), dan makna kiasan (majaziy), sehingga arti yang terkandung dalm nash itu tidak jelas.
Seperti tentang pengertian kata quru’ dalam QS Al Baqarah ayat 228.6
و المطلّقاتُ يتربّصن بأنفسهنّ ثلاثةَ قُرُوْءٍ ...
“Dan para istri yang diceraikan wajib menahan diri mereka selama tiga kali quru’..”.

Kata quru’ berarti suci7, dan bisa juga berarti haidh.8
Ada sebuah riwayat dari ‘Aisyah ra. yang menjelaskan arti kata quru’ : -
عن عائشةَ رضي اللهُ عنه قالت : إنّما الأقراءُ الأطهارُ.
Dari ‘Aisyah ra. ia berkata, “(yang dimaksud) quru’ itu tidak lain melainkan (artinya) suci”.9
Contoh lain dalam masalah wudhu. Allah SWT berfirman : -
... وامسحوا برؤوسِكم وأرجُلَكُمْ ...
“…Dan usaplah kepalamu serta basuhlah kedua kakimu…”10
Ibnu Katsir, Abu ‘Amr, dan Hamzah membunyikan أرجلَكم denagn kata أرجلِكم . Ini berarti wajib kita mengusap kaki, bukan membasuhnya. Sebagaimana yang dianut oleh golongan syi’ah11. Sedangkan jumhur ulama’ membaca أرجلَكم , yang berarti wajib membasuh kaki.
Contoh lain lagi tentang batas larangan mendekati istri pada saat haidh.
... ولا تقربوهنَّ حتّى يَطْهُرْنَ ...
“...Dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci…”12
Ini merupakan larangan mendekati istri selama masa haidh. Bila telah suci (berhenti haidhnya), maka boleh didekati.
Hamzah, Al Kisa’iy, dan ‘Ashim membaca يَطَّهَّرْنَ , yang berarti bersuci (mandi). Berarti boleh mendekati istri setelah dia mandi besar. Bila haidh sudah berhenti tetapi belum mandi, maka tidak boleh didekati. Ini menurut sebagian ulama’.

2.3.Perbedaan dalam menggabungkan dan mengunggulkan nash-nash yang saling bertentangan.
Dalam suatu masalah biasanya terdapat dua atau lebih nash yang nampaknya bertentangan (ta’arudh), sehingga agak kesulitan dalam memutuskan hukum dari masalah tersebut. Untuk memutuskannya, para ulama’ memakai beberapa cara, antara lain : -
2.3.1.Dengan cara menggabungkan dua nash atau lebih yang nampak saling bertentangan itu ( طريقة الجمع ).
Seperti hadits berikut : -
عن عليٍّ رضي اللهُ عنهُ قال : قال رسول اللهِ ص : [ لا يشربنَّ أحدكم قائماً ].
Dari ‘Aliy ra. ia berkata : Rasulullah SAW telah bersabda, ”Janganlah sekali-kali seorang di antara kalian minum dengan berdiri”.13
Sedangkan pada hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, bahwa Ibnu ’Abbas ra. berkata, ”Saya pernah memberi minum kepada Rasulullah SAW berupa air zamzam. Lalu beliau meminumnya sambil berdiri”.
Sebagian ulama’ berpendapat bahwa hal itu bukan larangan haram. Dan sebagian yang lain berpendapat bahwa larangan tersebut adalah larangan haram secara muthlaq.
Ada sebagian ulama’ yang memakai metode Thoriqotul jam’i dengan mengemukakan pendapat bahwa yang dilarang dalam hal ini adalah ketika berjalan kaki. Adapun berdiri
dalam keadaan diam, maka hal itu tidak dilarang.
Contoh lain : -
عن قتادة أنّ أنسًا أخبره أنّ رسولَ اللهِ ص اعْتَمَرَ أربعًا كلُّهًنَّ في ذي القعدة ألاّ الّتي مع حَجَّتِهِ. .(1
1). Dari Qatadah ra. bahwa Anas telah mengkhabarkan kepadanya, bahwa Rasulullah SAW berumrah empat kali, semuanya pada bulan Dzulqa’dah, kecuali umrah yang (beliau kerjakan) bersama hajinya.14
عن عائشةَ رضي اللهُ عنها أنّ النّبيّ ص اعْتَمَرَ ثلاثَ عُمْرٍ. .(2
2). Dari ’Aisyah ra. bahwa Nabi SAW berumrah tiga kali umrah.15
قا ل البرّاء بنُ عَزِبٍ : اعْتَمَرَ رسولُ اللهِ ص في ذي القعدةِ قَبْلَ أنْ يَحُجَّ. .(3
3). Al Barra’ bin ’Azib telah berkata, ”Rasulullah SAW berumrah dalam bulan Dzulqa’dah sebelum naik haji (sebanyak) dua kali umrah”.16
Semua riwayat tersebut membahas masalah yang sama, yaitu berapa kali Nabi SAW berumrah. Senua riwayat itu shohih. Riwayat-riwayat tersebut nampaknya saling bertentangan (ta’arudh), tapi bisa digabungkan.
Berdasarkan riwayat dari Qatadah, bahwa umrah Nabi SAW seluruhnya berjumlah sebanyak empat kali.
Riwayat ‘Aisyah hanya menyebutkan tiga kali, yang sekali tidak disebutkan karena umrah Nabi yang ini dilakukan pada bulan haji. Sedangkan yang dimaksud oleh ‘Aisyah tiga kali itu adalah dalam bulan Dzulqa’dah.
Riwayat Al Barra’ menyebutkan dua kali. Dia tidak menyebut dua umrah yang lain. Yang tidak disebut ini adalah umrah Nabi SAW bersama hajinya dan umrah Ji’irronah17. Dia tidak menyebut dua umrah yang ini karena umrah itu bukan dalam bulan Dzulqa’dah. Dan bisa jadi pula karena dia tidak mengetahui umrah Ji’irronah, karena umrah ini tidak banyak diketahui orang. Lagi pula Al Barra’ tidak membatas hanya dua kali. Dengan cara ini terpakailah semua riwayat yang nampaknya saling bertentangan itu.18

2.3.2 Dengan sistem Nasikh-Mansukh ( طريقة النّسخ ).
النَّسخُ هو رَفْعُ حُكْمٍ شَرْعِيٍّ متقدِّمِ بدليلٍ شرعيٍّ متأخِّرٍ.
“Nasakh adalah menghapus hukum syar’i yang terdahulu dengan dalil syar’i yang datang kemudian (setelahnya)”.
Adapun cara-cara mengetahui nasakh adalah : -
a). Melalui penjelasan langsung dari Nabi SAW,
b). Melalui penjelasan dari shahabat ra,
c). Mengetahui sejarah,
d). Dengan keterangan ijma’.
Dalam hal ini hanya ijma’ shohabiy yang bisa dipakai karena nasakh itu harus menggunakan dalil syar’i (Al Qur’an dan As Sunnah), sedangkan ijma’ hanya merupakan dalil untuk nasakh.
Seperti pada riwayat berikut ini : -
عن شَدَّاد بن أوسٍ رضي الله عنه أنَّ النَّبيّ ص قال : [ أَفْطَرَ الحاجِمُ والمَحْجُومُ ] .(1
1). Dari Syaddad bin Aus ra. bahwa Nabi SAW telah bersabda, ”Orang yang membekam dan yang yang dibekam itu telah berbuka (batal puasanya)”.19
عن ابن عبّاسٍ رضي الله عنهما أنَّ النَّبيَّ ص احْتَجَمَ وهوصائِمٌ. .(2
2). Dari Ibnu ’Abbas ra. bahwa Nabi SAW berbekam, padahal beliau sedang berpuasa.20
Menurut sejarah bahwa hadits pertama itu Nabi sampaikan ketika melihat seseorang yang sedang berbekam pada bulan Ramadhan, pada waktu Fathul Makkah (tahun 8 H). Sedangkan hadits yang kedua itu Nabi sampaikan pada saat haji wada’ (tahun 9 H).
Sesuai dengan definisi nasakh, maka yang terpakai adalah hadits yang kedua, karena hadits itu adanya setelah hadits pertama.
Maka di sini hadits pertama mansukh oleh hadits kedua, sedangkan hadits kedua menjadi nasikh bagi hadits pertama.

PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG NASAKH DALAM AL QUR’AN.
Para ulama’ telah bersepakat bahwa nash Al Qur’an boleh dinasakh dengan nash Al Qur’an. Dan nash As Sunnah boleh dinasakh dengan nash As Sunnah. Lalu apakah nash Sunnah Mutawatir bisa menasakh nash Al Qur’an ?.
Syaikh ‘Aliy bin ‘Ubaidillah mengatakan bahwa ada dua riwayat dari Imam Ahmad : -
1). Bahwa nash Al Qur’an tidak boleh dinasakh dengan nash hadits mutawatir.
Pendapat ini dianut oleh Ats Tsauriy dan Asy Syafi’iy.
2). Bahwa nash Al Qur’an bisa dinasakh dengan nash hadits mutawatir.
Pendapat ini dianut oleh Abu Hanifah.
Imam Malik berkata bahwa dalil bagi riwayat yang pertama dari Imam Ahmad adalah : -
مَا نَنْسَخْ مِنْ أيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَو مِثْلِهَا ...
“Ayat yang Kami batalkan atau Kami hilangkan dari ingatan, pasti Kami ganti dengan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya”.21
عن جابر بن عبدالله رضي الله عنه أنّ النّبيَّ ص قال :[ كلامي لا يَنْسُخُ القرأنَ, يَنْسُخُ بعضُه بعضًا ].
Dari Jabir bin ‘Abdullah ra. bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, “Perkataanku tidak bisa menasakh Al Qur’an, akan tetapi Al Qur’an bisa saling menasakh antara yang satu dengan lainnya”.22
Dengan kata lain, sunnah mutawatir tidak dianggap sebanding dengan Al Qur’an. Oleh karena itu tidak bisa menjadi nasikh bagi Al Qur’an.
Adapun dalil bagi riwayat kedua dari Imam Ahmad adalah : -
وأنزلنا إليك الذِّكرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إليهم ...
“Dan Kami turunkan Al Qur’an kepadamu agar kamu menjelaskan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”.23
Menurut Imam Al Hafidz Abul Faraj ’Abdurrahman Ibnul Jauziy bahwa riwayat Imam Ahmad yang pertama yang menyatakan nash sunnah mutawatir tidak bisa menasakh nash Al Qur’an adalah pendapat yang shahih. Namun bukan berarti bisa berfungsi sebagai penasakh Al Qur’an.
Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi’iy berkata, ”Sesungguhnya yang bisa menasakh Al Qur’an hanyalah Al Qur’an itu sendiri. As Sunnah tidak bisa menjadi nasikh bagi Al Qur’an”.24
Menurut para ulama’ ahli tafsir, surah-surah dalam Al Qur’an yang mengandung ayat-ayat nasikh dan mansukh hanya ada 25 surah saja. Yang mengandung ayat-ayat mansukh saja ada 40 surah. Yang hanya mengandung ayat-ayat nasikh ada 6 surah. Dan surah-surah yang bersih dari ayat-ayat nasikh dan mansukh berjumlah 43 surah.25

2.3.2.Dengan cara memilih nash yang lebih kuat ( طريقة الترجيح ).
Seperti beberapa riwayat berikut : -
عن عائشةَ رضي اللهُ عنها أنَّ النبيّ ص جَهَرَ في صلاةِ الكُسُوفِ بقراءتِهِ فصلَّى أربعَ ركعاتٍ قي ركعتَيْنِ و أربعَ سجداتٍ.
1). Dari ‘Aisyah ra. bahwa Nabi SAW menyaringkan bacaan pada sholat kusuf, yaitu sholat dengan empat ruku’ dalam dua raka’at dan empat sujud.26
وفي روايةٍ لمسلمٍ : صلّى حِيْنَ كُسِفَتِ الشّمسُ ثمانيَ ركعاتٍ في أربعِ سجداتٍ.
2). Dan pada suatu riwayat bagi Imam Muslim : Ketika gerhana matahari Nabi SAW sholat delapan ruku’ pada empat sujud.27
وله عن جابر رضي الله عنه : صلّى سِتَّ ركعاتٍ بأربَعِ سجداتٍ.
3). Dan suatu riwayat bagi Imam Muslim dari Jabir ra. : Nabi SAW sholat enam ruku’ dengan empat sujud.28
ولأبي داودَ عن أُبَيِّ بنِ كعبٍ : صلّى فرَكَعَ خَمْسَ ركعاتٍ وسجد سجدتَيْنِ , و فعل في الثّانيةِ مِثْلَ ذلك.
4). Dan bagi Abu Dawud dari Ubay bin Ka’ab ra. : Nabi SAW sholat, lalu ruku’ lima kali ruku’ dan sujud dua kali sujud, dan beliau lakukan seperti tiu pada raka’at kedua.29

Hadits pertama menerangkan bahwa Nabi SAW sholat kusuf dengan empat ruku’ dan empat sujud.
Hadits kedua menyatakan delapan ruku’ dengan empat sujud.
Hadits ketiga menyatakan enam ruku’ dengan empat sujud.
Hadits keempat menyatakan lima ruku’ dan empat sujud pada masing-masing raka’at.

Hadits-hadits tersebut nampaknya saling bertentangan. Padahal gerhana pada zaman Nabi hanya terjadi sekali seumur hidup beliau SAW, yaitu gerhana matahari, yang bertepatan pada saat Ibrahim bin Rasulullah (anaknya Nabi) wafat30. Lalu mengapa sholat kusuf yang hanya Nabi kerjakan sekali seumur hidupnya itu memiliki berbagai versi dalam jumlah ruku’ dan sujudnya ?.
Dalam hal ini cara Thoriqotul jam’i dan Thoriqotun naskhi sudah tidak bisa diterapkan. Maka diambillah cara ketiga, yaitu Thoriqotut Tarjih.

Para ulama’ telah ahli hadits telah menyusun 8 urutan nash paling kuat (rojih) sebagai berikut : -
1.Al Qur’an Al Karim,
2.Hadits yang disepakati oleh Imam Bukhoriy dan Imam Muslim, baik Muttafaqun ’alayh (berasal dari satu shahabat), maupun Asy Syaikhon (berasal dari dua shahabat),
3.Hadits Shohih Bukhoriy,
4.Hadits Shohih Muslim,
5.Hadits yang sanadnya dipakai oleh Imam Bukhoriy dan Imam Muslim yang mana hadits itu tidak terdapat di shohih Bukhoriy dan shohih Muslim,
6.Hadits yang sanadnya dipakai oleh Imam Bukhoriy yang mana hadits itu tidak ditakhrij oleh Imam Bukhoriy,
7.Hadits yang sanadnya dipakai oleh Imam Muslim, akak tetapi Imam Muslim tidak men-takhrij hadits tersebut,
8.Hadits yang shohih dari imam-imam ahli hadits selain Imam Bukhoriy dan Imam Muslim.

Maka riwayat yang paling rojih (kuat) adalah riwayat pertama (Muttafaqun ’alayh) yang menerangkan Nabi SAW sholat kusuf dengan empat ruku’ dan empat sujud dalam dua raka’at.

2.3.3.Dengan cara memberhentikan ( طريقة التوقُّف ).
Maksudnya adalah membiarkan dua atau lebih dari nash-nash yang saling bertentangan tersebut (tidak melakukan apa-apa) setelah diusahakan tiga cara di atas, namun tidak bisa terselesaikan.

2.4.Perbedaan dalam kaidah-kaidah ushul sebagai sumber ijtihad.
Dalam mencari suatu dalil, para mujtahid mempunyai cara pandang dan metode yang berbeda. Ada yang berpendapat bahwa Qoul ash Shohabiy (perkataan seorang shahabat) itu bisa dijadikan hujjah. Ada pula yang berpendapat tidak demikian. Ada yang menggunakan metode istihsan, istishlah, dan istishhab sebagai sumber hukum. Ada pula yang menolaknya.
Perbedaan dalam hal ini terjadi pada kaidah-kaidah di luar Al Qur’an, As Sunnah, ijma’, dan qiyas. Atau lebih simpelnya terjadi pada masalah istidlal.
Istidlal itu mencakup beberapa metode hukum, antara lain istishhab, istihsan, al mashlahah al mursalah, qoul ash shohabiy, dalaalatul iqtiron, saddu adz dzariy’ah, ru’yah (mimpi) melihat Nabi, dan syari’at sebelum Islam.
Seperti perbedaan di kalangan ulama’ tentang mimpi melihat Nabi itu bisa dijadikan hujjah atau tidak. Dalam hal ini ada dua pendapat yang berbeda.
Pendapat pertama membolehkan, dengan alasan hadits Nabi SAW : -
مَنْ رأني في المنام فقد رأني فإنَّ الشّيطانَ لا يتَمَثَّلُ بي.
“Barangsiapa melihatku dalam mimpi, maka sungguh dia telah melihatku, karena syaithon tidak bisa menyerupai aku”.31
Pendapat kedua tidak membolehkan, dengan alasan : -
a). Agama sudah sempurna.32
b). Nabi SAW diperintah menyampaikan risalah agama ketika masih hidup, bukan setelah wafatnya.

2.5.Perbedaan dalam perbendaharaan hadits.
Di antara para shahabat banyak yang koleksi haditsnya tidak sama dengan shahabat lainnya. Hal ini dikarenakan tidak mungkin mereka selalu bersama-sama berkumpul dan mendampingi Nabi SAW. Jadi ketika Nabi SAW menyampaikan suatu hadits, ada sebagian shahabat yang tidak hadir pada waktu itu. Sehingga sebagian shahabat meriwayatkan suatu hadits, sedangkan shahabat yang lain tidak meriwayatkan hadits tersebut. Oleh karena di antara para shahabat sendiri koleksi haditsnya tidak sama, maka dampaknya di antara para mujtahid juga terjadi hal demikian. Perbedaan koleksi hadits yang dimiliki para mujtahid ini menjadi salah satu penyebab terjadinya ikhtilaful hukmi di antara mereka.

2.6. Perselisihan tentang ‘illat suatu hukum.
Hal ini juga menjadi salah satu penyebab terjadinya perbedaan hukum (pendapat) di kalangan ulama’. Contoh yang sering terjadi adalah [erbedaan dalam hukum memanjangkan kain celana melebihi mata kaki (isbal). Hampir seluruh riwayat hadits mengharamkan isbal. Namun ada hadits yang menegaskan ‘illat dari haramnya isbal.
عن ابن عُمَرَ رضي الله عنهما قال : قال النبيُّ ص : [ لا ينظر اللهُ إلى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ ].
Dari Ibnu ‘Umar ra. ia berkata : Nabi SAW telah bersabda, ”Allah tidak mau melihat kepada orang yang memanjangkan pakaiannya dengan sombong”.33

Yang menjadi ‘illat dalam hal ini adalah sifat sombong. Sehingga terjadi perbedaan pendapat antara pihak yang mengharamkan isbal secara mutlaq (baik dengan sombong atau tidak) dengan pihak yang mengharamkan isbal hanya karena sombong, jika tanpa sombong tidak apa-apa.
و اللهُ أَعْلَمُ بِا لصَّوابِ

3. Sikap kita dalam menghadapi perbedaan pendapat dalam hukum Islam.
Sebenarnya perbedaan ini hanya terjadi dalam masalah furu’iyyah (cabang), bukan pada masalah ashliyyah (pokok). Dalam hal ini kita harus berhati-hati dalam mengambil pendapat yang benar sesuai Al Qur’an dan As Sunnah. Jangan secara gamblang menyalahkan pendapat orang dan membenarkan pandapat yang lainnya. Serta harus sopan dan rendah diri di hadapan orang lain ketika kita mengemukakan suatu pendapat.
Para imam memberi kita nasehat dalam menyikapi hal ini.
Imam Malik berkata, “Saya ini tidak lain melainkan manusia biasa. Bisa jadi saya salah dan bisa jadi saya benar. Maka dari itu, lihatlah dan pikirkanlah baik-baik pendapat saya. Bila itu sesuai dengan Al Qur’an dan As Sunnah, maka ambillah. Dan bila itu tidak sesuai dengan Al Qur’an dan As Sunnah, maka tinggalkanlah”.

Imam Asy Syafi’iy berkata, “Apa saja yang telah berlaku menurut sunnah Rasulullah SAW padahal bertentangan dengan madzhabku, maka tinggalkanlah madzhabku karena sunnah itulah madzhab yang sebenarnya”.

Imam Abu Hanifah berkata, “Kalau ucapanku menyalahi Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, maka tinggalkanlah ucapanku”.

Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Janganlah Anda taqlid kepadaku dan jangan pula taqlid kepada Imam Malik, ataupun Imam Ats Tsauriy, ataupun kepada Imam Auza’iy, akan tetapi ambillah dari apa yang mereka ambil”.


3. Kesimpulan dan Penutup.
Manusia diciptakan dengan beraneka ragam bentuk, warna, suku, budaya, adat, dan corak yang berbeda-beda. Serta memiliki cara berfikir yang berbeda-berbeda. Maka hal ini adalah murni dari sifat alamiah manusia. Dan Allah tidak membiarkan kita dalam perselisihan. Diturunkannya Al Qur’an adalah sebagai pedoman dan pegangan hidup bagi kita. Itulah sebagaimana yang Allah jelaskan dalam QS Al Baqarah ayat 213 : -



“Manusia itu (dahulunya) satu umat. Lalu Allah mengutus para Nabi (untuk) menyampaikan kabar gembira dan peringatan. Dan dituunkan-Nya bersama mereka Kitab yang mengandung kebenaran, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Dan yang berselisih hanyalah orang-orang yang telah diberi (Kitab), setelah bukti-bukti yang nyata sampai kepada mereka, karena kedengkian di antara mereka sendiri. Maka dengan kehendakNya, Allah memberi petunjuk kepada mereka yang beriman tentang kebenaran yang mereka perselisihkan. Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus”.



Semoga Allah ‘Azza wa Jalla selalu memberi kita petunjuk dalam kehidupan kita. Mudah-mudahan kita inilah hambaNya yang diberi petunjuk olehNya, karena Allah memberi petunjuk bukan kepada sembarang orang, akan tetapi kepada hamba yang Dia kehendaki. Amiin.







DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI, Al Qur’an dan terjemahnya. Jakarta : Daarus sunnah, 2002.
Ad Dimasyqiy, Al Imam Al Hafidz ‘Imaduddin Abul Fida’ Isma’il bin Katsir Al Qurosyiy, Tafsir Al Qur’an Al ‘Adzim. Kairo-Mesir : Al Maktabah At Taufiqiyyah,.
Al Albaniy, Syaikh Muhammad Nashiruddin, Silsilah Hadits Dha’if dan Maudhu’. Jakarta : Gema Insani Press, 1997.
Al ‘Asqolaniy, Al Imam Al Hafidz Ahmad bin ‘Aliy bin Hajar, Bulughul Maram. Bandung : CV Diponegoro, 2000.
Ibnul Jauziy, Al Imam Al Hafidz Abul Faraj ‘Abdurrahman, Nawaasikhul Qur’an : An Naasikh wal Mansukh. Jakarta : Pustaka Azzam, 2002.
Hakim, Abdul Hamid, As Sullam. Surabaya : Pustaka Nabhan, _.
Koho, A. Yazid Qasim, Himpunan Hadits Lemah & Palsu. Surabaya : PT Bina Ilmu, 2000.
As Salaabisiy, Abu Muhammad Adz Dzahabiy Salam Russyad bin Laarussa’, At Tashiyl fit ‘Ilmi Mushtholahil Hadits. Bangil : Ma’had Al Ittihad Al Islamiy, 2005.
Yunus, Prof. DR. H. Mahmud, Kamus Arab-Indonesia. Jakarta : PT Mahmud Yunus wa Dzurriyyah, 1989.
Rifa’iy, Drs. Mohammad, Ushul Fiqh. Bandung : PT Ma’arif, 1973.
Ash Shiddiqiy, Prof. DR. T. M. Hasbi, Pengantar Hukum Islam. Jakarta : Bulan Bintang, 1981.
Hassan, Abdul Qadir, Kata Berjawab. Surabaya : Pustaka Progressif, 2006.
________, Kamus Al Munjid. Beirut : Daarul Masyriq, 2005.
http://www.wikipedia.com/sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat dalam hukum Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar