1. PENDAHULUAN
Bagi umat beragama, keimanan merupakan masalah fundamental dan asasi. Fundamental karena setiap umat beragama harus memiliki keimanan, dan asasi karena ia menjadi dasar keberagamaan. Sedemikian urgennya masalah keimanan sehingga ia menjadi awal bagi setiap orang yang hendak menganut suatu agama. Dalam Islam, seseorang yang masuk Islam harus mengawali dengan kesaksian keimanan kepada Tuhan dengan dua kalimat syahadat.
1.1. Pijakan keimanan bagi Fiqih Lintas Agama.
Mengambil ibarat al Qur’an, keimanan itu bagaikan akar yang menghunjam ke dalam jantung bumi. Sementara dahannya, ranting-ranting, dan bahkan buah-buah yang dihasilkan merefleksikan sehat tidaknya akar keimanan. Karena itu, bagi sebagian besar ulama, iman itu tidak cukup dengan pengakuan dari hati (
tashdiq bil qolb), dan penegasan dengan lisan (
iqrar bil lisan), tapi juga memerlukan pengamalan dengan dengan anggota badan (
al ‘amal bil jawaarih).
Al ‘Amal bil Jawaarih inilah yang merupakan pengejawantahan dari keimanan, bagaimana fiqih lintas agama membahas tentang fiqih Islam tatkala berhubungan dengan pembahasan yang melibatkan kalangan di luar komunitasnya (lintas agama), yaitu non Muslim. Dalam konteks ini, dapat difahami bahwa fiqih pun memerlukan pijakan keimanan yang kuat. Fiqih yang inklusif dan pluralis tentulah lahir dari teologi dan faham keimanan yang pluralis pula.
Dalam upaya membangun fiqih lintas agama yang pluralis tersebut, kaum orientalis mengembangkan pijakan teologi pluralis dengan mempertimbangkan keragaman kebenaran yang dibawa oleh para nabi utusan Tuhan. Kebenaran agama yang dimaksud bukanlah kebenaran yang bersifat membebaskan manusia dari belenggu, melainkan kebenaran yang sudah dikonstruksi untuk kepentingan pihak-pihak tertentu. Demikianlah yang dikemukakan oleh tim penyusun dari Paramadina University. Menurut mereka, pemandangan seperti ini menyimpan problematika serius. Fiqih dan tafsir mengalami kebuntuan dan kemacetan yang luar biasa. Dalam sikap keberagamaan yang lebih luas, lalu muncul gejala pengkafiran, penyesatan, dan penghalalan darah.
Fiqih klasik merupakan satu-satunya bidang keilmuan yang bisa bertahan untuk kurun waktu yang cukup lama, dan fiqih menjadi kebutuhan primer umat Islam. Kenyataan ini ditunjukkan oleh ketergantungan yang cukup besar terhadap fiqih. Karena saking kuatnya posisi fiqih dalam masyarakat Muslim, maka tak terelakkan lagi bahwasanya Muslim pada umumnya adalah masyarakat yang menjunjung tinggi peradaban fiqih (hadhorot al fiqh). Hal itu setidaknya dapat dipandang dari cara pandang masyarakat Muslim terhadap fiqih.
Pertama, fiqih bagi banyak kalangan dianggap sebagai “ilmu inti” yang tak tersentuh.
Kedua, fiqih menjadi “identitas keagamaan”.
Ketiga, fiqih diimani sebagai penemasyarakat ntu keselamatan, kemenangan, dan kebahagiaan.
Muhammad Al Fayyadh memosting artikel dalam situs www.islamlib.com/ seperti ini : -
“
Sudah saatnya sekarang fiqih memberdayakan diri dengan mengusung agenda-agenda yang lebih menjanjikan dan prospektif di masa mendatang. Wacana fiqih lintas agama menjadi signifikan di sini, karena tawarannya yang menukik langsung pada kenyataan bahwa selama ini fiqih sering dijadikan alat legitimasi bagi tindak kekerasan atas nama agama. Corak fiqih semacam ini, dalam kenyataannya, mencerminkan bahwa pola pikir yang menghinggapi kesadaran umat Islam masih amat kental warna syari’ah minded-nya. Dalam ungkapan lain, dunia fiqih masih didominasi oleh kecenderungan tekstualisme yang sangat kuat. Karena itu, tidak mengherankan bila belum ada wawasan baru untuk merambah isu-isu kontemporer yang lebih mendesak, seperti isu perdamaian dan toleransi antaragama. Fiqih lintas agama berangkat dari asumsi bahwa keberadaan fiqih sebagai salah satu produk wacana keislaman tidak terlepas dari dimensi teologis, yaitu persoalan aqidah dan keimanan. Artinya, fiqih juga berurusan dengan keyakinan religius, karena dalam realitas sosialnya, kaum muslim tidak bisa menyangkal keberadaan orang-orang lain yang tidak seagama dengan mereka. Untuk itu, diperlukanlah seperangkat aturan agar hubungan antara umat muslim dengan kalangan nonmuslim itu terfasilitasi sebaik mungkin.
Fiqih lintas agama memiliki ancangan kuat agar fiqih yang ada saat ini tidak melulu berkutat pada hal-hal yang bersifat individual-privat atau ‘ibadah mahdlah saja, melainkan juga menyentuh ranah publik, termasuk di dalamnya menyangkut hubungan “transinstitusional” antara satu agama dengan agama lainnya. Dalam konteks keindonesiaan, wacana ini akan membantu mengatasi merebaknya heterofobia di tengah masyarakat kita, khususnya ketakutan sebagian kalangan Islam terhadap segala hal yang berbau Barat (yang diidentikkan dengan Kristen) belakangan ini”.
Problem-problem seperti itu mereka anggap telah mengakibatkan hubungan yang tidak baik antara Muslim dengan non Muslim, dan pada tahap selanjutnya fiqih pun terbawa arus cara pandang masyarakat Muslim. Mereka menolak ajaran fiqih yang berdasar dari ushul fiqh karena menganggap ilmu ushul fiqih tidak relevan lagi untuk diterapkan pada zaman sekarang ini. Sehingga mereka ingin menerapkan Islam dengan nilai-nilai universal, seperti kemashlahatan umum, egalitarianisme, rasionalisme, serta pluralisme sebagai prinsip-prisip paradigmatik fiqih sehingga tidak terjebak dalam kubang literalisme, fundamentalisme, dan konsevatisme.
2. PEMBAHASAN.
2.1. Problematika fiqih klasik dengan fiqih lintas agama.
Berikut ini adalah beberapa gambaran dilema dan problem yang dihadapi fiqih hubungan antar agama : -
1. Konsep Ahludz Dzimmah.
Konsep ini merupakan konsep tentang cara berinteraksi antara umat Muslim dengan non Muslim. Ahludz dzimmah adalah komunitas non Muslim yang melakukan kesepakatan untuk hidup di bawah tanggungjawab dan jaminan kaum Muslim. Mereka mendapat perlindungan dan keamanan. Mereka juga mendapatkan hak hidup tenang dan tempat tinggal di tengah-tengah komunitas Muslim. Namun dalam kapasitasnya sebagai non Muslim, ahludz dzimmah tidak mendapatkan perlakuan sebagaimana komunitas Muslim. Mereka tidak bisa menduduki posisi-posisi strategis dalam pemerintahan. Mereka tidak boleh menjadi pemimpin politik dan anggota Majelis Permusyawaratan. Mereka tidak mempunyai hak suara, bahkan mereka diwajibkan membayar jizyah.
Ibnu Qayyim al Jauziyyah dalam buku “Ahkaam ahludz dzimmah” justru memberikan pandangan yang relatif progresif. Dalam dialog dengan seorang Muslim yang menikahi perempuan ahlul kitab, ia berpendapat bahwa sang suami mesti menghargai sang istri yang hendak minum khamr. Sang suami berhak untuk memperingati istrinya untuk tidak minum khamr. Tetapi apabila sang istri tidak menerimanya, maka sang suami tidak boleh memaksa sang istri untuk tidak minum khamr .
2. Konsep Jizyah.
Konsep ini merupakan titik rawan fiqih hubungan antar agama. Dalam fiqih klasik, masalah jizyah tidak pernah terlewatkan. Bahkan hampir seluruh ulama fiqih mempunyai pandangan yang seragam, yaitu kewajiban orang-orang Yahudi, Nashrani dan Majusi untuk membayar jizyah. Jizyah adalah pajak yang diberikan non Muslim (ahlul kitab) sebagai imbalan atas pembebasan mereka dari kewajiban untuk mempertahankan negara; atau imbalan atas jaminan keamanan dan perlindungan mereka serta serta berbagai hak sipil sebagai warga negara yang sejajar dengan kaum Muslimin. Pandangan ini memiliki landasan normatif dalam Al Qur’an, yaitu : -
قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, orang-orang yang tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan RasulNya, serta orang-orang yang tidak beragama dengan agama yang benar, yaitu orang-orang yang diberikan al Kitab kepada mereka, sehingga mereka membayar jizyah dengan patuh dan mereka dalam dalam keadaan tunduk”.
Bila dicermati lebih mendalam, ayat tersebut mempunyai background historis terentu, yaitu perang. Yang jadi pertanyaan, apakah kewajiban membayar jizyah masih berlaku dalam situasi damai (tidak perang) ?.
Ada yang berpendapat demikian : -
• Ada sebuah kaidah fiqhiyyah : ” الحُكْمُ يَدُوْرُ مَعَ الْعِلَّةِ وُجُوْدًا وَ عَدَمًـــا”. Jadi karena tidak adanya sebab (yaitu perang) antara Muslim dan non Muslim, maka dengan sendirinya hukum wajib membayar jizyah itu tidak ada.
• Madzhab Hanafi menilai bahwa jizyah diwajibkan karena pemerintahan Islam telah melindungi mereka sebagai ganti atas dibebaskannya mereka untuk berjihad di jalan Allah.
• Ibnu Rusyd dalam al Muqaddimaat juga menjelaskan bahwa jizyah diambil dari tahun ke tahun sebagai imbalan atas pengamanan dan penjagaan agama mereka.
3. Nikah Beda Agama.
Allah SWT berfirman dalam QS Al Baqarah ayat 221 : -
وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ
”Dan janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik sehingga mereka beriman. Seorang budak wanita mukmin itu lebih baik daripada wanita musyrik meskipun ia membuat kamu kagum. Dan janganlah kalian menikahkan pria-pria musyrik sehingga mereka beriman. Seorang budak lelaki mukmin itu lebih baik daripada lelaki musyrik meskipun ia membuat kamu kagum”.
Ayat di atas termasuk ayat madaniyyah yang membawa pesan khusus agar orang-orang Muslim tidak menikahi wanita musyrik dan sebaliknya. Jadi dapat disimpulkan bahwa menikahi orang non Muslim hukumnya haram. Cara pandang seperti ini dikarenakan sebagian masyarakat Muslim beranggapan bahwa yang termasuk dalam katagori musyrik adalah non Muslim, termasuk di antaranya Kristen dan Yahudi. Pertanyaan yang perlu dikemukakan adalah
apakah non Muslim (Kristen dan Yahudi) termasuk dalam katagori musyrik ???. Kalau tidak, lalu apa yang dimaksud dengan “musyrik” dalam Al Qur’an ?.
Dalam tafsir Ibnu Katsir, Musyrik terbagi menjadi 2 golongan : ahlul kitab, dan penyembah berhala.
‘Aliy bin Abi Tholhah berkata, dari Ibnu ‘Abbas ra tentang firman Allah : “Dan janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik hingga mereka beriman” , Allah mengecualikan dari wanita-wanita ahlul kitab.
Ini didasarkan pada QS Al Maidah ayat 5 : -
“....
Dan (dihalalkan bagimu menikahi) wanita-wanita yang menjaga kehormatannya di antara mukminaat dan wanita-wanita yang menjaga kehormatannya di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, ....”.
Di antara shahabat Nabi –rodliyallahu ‘anhum- ada yang menikah dengan wanita ahlul kitab pada zaman khalifah ‘Umar bin Khatthab, yaitu Tholhah bin ‘Ubaidillah dengan wanita Yahudi, dan Hudzaifah bin al Yaman dengan wanita Nashraniy. Akan tetapi mereka berdua telah menceraikan istrinya.
Ayat dan hadits beserta keterangan di atas mengkhususkan bahwa wanita musyrik ahlul kitab boleh dinikahi. Sedangkan sebagian ulama berpandangan bahwa dalam beberapa ayat di dalam Al Qur’an menyebut Kristen dan Yahudi (termasuk ahlul kitab) sebagai musyrik. Katagori musyrik dalam kedua agama samawi tersebut dikarenakan orang-orang Yahudi menganggap ‘Uzair sebagai anak Allah, sedang orang-orang Kristen menganggap Al Masih sebagai anak Allah atau mengakui bahwa Isa al Masih ibn Maryam itu adalah Allah . Dan kedua agama tersebut menyatakan bahwasanya mereka adalah anak-anak Allah dan kekasihNya.
Nah, bagaimana kalau sebaliknya, perempuan muslim menikah dengan laki-laki non Muslim (ahlul kitab) ?.
Tentang ini Rasulullah SAW bersabda, “Kami menikahi wanita-wanita ahlul kitab, sedangkan laki-laki ahlul kitab tidak boleh menikahi wanita-wanita kami (Muslimah).”.
4. Waris Beda Agama.
Persoalan lain yang tak kalah rumit dari ketiga persoalan di atas adalah waris beda agama. Di mana orang kafir (non Muslim) tidak mendapatkan jatah atau bagian harta waris dari almarhum/ah Muslim. Hal ini berdasarkan hadits berikut : -
لاَ يَرِثُ الْمُسْـــلِـمُ الْــــــــــــكَافِرَ وَ لاَ الْـــــــــكَافِرُ الْـــــمُسْلِمَ.
“
Seorang Muslim tidak mewarisi kepada orang kafir, dan orang kafir (tidak mewarisi) kepada orang orang Muslim”.
Imam Ibnu Rusyd dalam kitab Bidaayatul Mujtahid wa Nihaayatul Muqtashid mengakui bahwa sebagian besar ulama melarang atau mengaharamkan waris beda agama berdasarkan QS An Nisa’ ayat 141 dan hadits di atas. Ini merupakan problem mendasar fiqih yang melibatkan agama lain.
Namun terdapat perbedaan pendapat dalam hal ini. Madzhab Syafi’i, madzhab Hanafi dan Tsauriy berpendapat bahwa seorang Muslim dilarang secara muthlaq untuk mewarisi orang kafir atau sebaliknya. Sedangkan Mu’adz bin Jabal, Mu’awiyah, Sa’id bin Al Musayyab, dan Masruq berpendapat bahwa boleh seorang Muslim mewarisi orang kafir, akan tetapi haram kebalikannya. Ini berdasarkan analogi (qiyas) diperbolehkannya pernikahan seorang Muslim laki-laki dengan perempuan ahli kitab.
Melihat paradigma di atas, tentu saja terlihat secara kasat mata bahwa terdapat problem yang sangat mendasar antara fiqih dengan realitas kemanusiaan. Fiqih klasik sepertinya tidak mampu menjawab tantangan zaman. Dalam fiqih hubungan antar agama sangat terlihat adanya diskriminasi antara Muslim dengan non Muslim. Inilah yang diungkapkan oleh kaum orientalis.
Karl Marx dalam sebuah kritiknya menyebut agama sebagai candu. Nitzche dalam refleksi filsafatnya menyebut, “Tuhan telah mati”. Huston Smith dalam Why Religion Matters : The Fate of The Human Spirit in an Age of Disbelief mempertanyakan apakah agama telah menemukan ajalnya ?. Dan dalam banyak buku, para orientalis menyebut Islam sebagai agama yang tak mengakomodasi agama lain.
2.2. Pluralisme Agama.
2.2.1. Beberapa Definisi Pluralisme Agama.
• Pluralisme adalah pemahaman yang memandang semua agama sama, meskipun dengan jalan yang berbeda namun menuju satu tujuan yang absolute, yang terakhir, dan yang riil.
• Secara etimologis, pluralisme agama berasal dari dua suku kata, yaitu “pluralisme” dan “agama”. Dalam bahasa arab diterjemahkan “at ta’addudiyah ad diiniyyah”, sedangkan dalam bahasa sosiologinya disebut civil religion, dan dalam bahasa inggrisnya diebut “religious pluralism”,. Oleh karena istilah pluralisme agama ini berasal dari bahasa inggris, maka untuk mendefinisikannya secara akurat harus merujuk kepada kamus bahasa tersebut.
“Pluralism” berarti jama’ atau lebih dari satu. Dalam kamus bahasa inggris mempunyai tiga pengertian : -
Pertama, Pengertian kegerejaan : (a) Sebutan untuk orang yang memegang lebih dari dua jabatan dalam struktur kegerejaan, (b) memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan atau non kegerejaan.
Kedua, Pengertian filosofis : berarti sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasar yang lebih dari satu.
Ketiga, Pengertian sosio-politis : adalah suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat karakteristik di antara kelompok-kelompok tersebut.
• Keputusan Fatwa Musyawarah Nasional VII MUI Nomor 7 tahun 2005 tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme agama, menyatakan bahwa Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.
• Dalam terjemahan Wikipedia Encyclopedia, pluralisme adalah suatu kerangka interaksi yang mana setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi (pembauran dan pembiasan).
• Pluralisme juga dapat diartikan sebagai paham yang mentoleransi adanya keragaman pemikiran, peradaban,
agama, dan budaya. Bukan hanya menoleransi adanya keragaman pemahaman tersebut, tetapi bahkan mengakui kebenaran masing-masing pemahaman, setidaknya menurut logika para pengikutnya.
2.2.2. Latar belakang munculnya gerakan Pluralisme.
Paham ini muncul akibat reaksi dari tumbuhnya klaim kebenaran oleh masing-masing kelompok terhadap pemikirannya sendiri. Persoalan klaim kebenaran inilah yang dianggap sebagai pemicu lahirnya radikalisasi agama, perang dan penindasan atas nama agama. Konflik horisontal antar pemeluk agama hanya akan selesai jika masing-masing agama tidak menganggap bahwa ajaran agama mereka yang paling benar. Itulah tujuan akhir dari gerakan pluralisme ; untuk menghilangkan keyakinan akan klaim kebenaran agama dan paham yang dianut, sedangkan yang lain salah.
2.2.3. Ayat-ayat yang dianggap mengandung ajaran pluralisme.
• QS Al Baqarah ayat 148 : -
وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ أَيْنَمَا تَكُونُوا يَأْتِ بِكُمُ اللَّهُ جَمِيعًا إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“
Dan bagi setiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan .... “.
Abul ‘Aliyah berkata : “Orang-orang Yahudi punya kiblat tersendiri dan orang-orang Nashrani juga punya kiblat tersendiri. Dan Allah Ta’ala telah memberikan petunjuk kepada kalian, hai umat Islam, untuk menghadap ke kiblat yang sebenarnya” .
• QS Asy Syuura ayat 13 : -
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ ....
“
Dia (Allah) telah mensyariatkan kepadamu agama yang telah diwashiyatkanNya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah Kami wahyukan kepada Ibrahim , Musa, dan ‘Isa, yaitu tegakkanlah agama (keimanan dan ketaqwaan) dan janganlah kamu berpecah belah di dalamnya ...”.
• QS Al Maidah ayat 48 : -
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا
“...
untuk tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang ...”.
• QS An Nahl ayat 36 : -
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“
Dan sungguh Kami telah mengutus seorang Rasul untuk setiap umat (agar menyerukan), “Sembahlah Allah dan jauhilah thoghut”.
2.2.4. Sejarah dan perkembangan pluralisme agama.
Pluralisme bermula dari kalangan Katolik, yaitu sejak dikeluarkannya Konsili Vatikan II yang berlangsung di bawah kepemimpinan Paus Yohanes XXIII yang dimulai tahun 1962 sampai 1965. Pada masa itu disebut masa pencerahan eropa. Konsili ini menolak rumusan tradisional yang eksklusif, seperti yang dinyatakan dalam deklarasi mengenai hubungan gereja dengan agama-agama non-Kristen, bahwa mereka juga dapat memperoleh keselamatan yang kekal, yang bukan karena kesalahannya sendiri tidak mengenal Injil Kristen atau gerejanya, namun toh dengan tulus iklhas mencari Allah dan tergerak oleh anugerah, berupaya dengan perbuatan-perbuatan mereka melakukan kehendak-Nya sebagaimana diketahui melalui hati nuraninya. (Gereja, 2:15) . Di tengah hiruk pikuk pergolakan pemikiran di Eropa yang timbul sebagai konsekwensi logis dari konflik-konflik yang terjadi antara gereja dan kehidupan nyata di luar gereja, muncullah satu paham yang dikenal “liberalisme” yang komposisi utamanya adalah kebebasan, toleransi,persamaan dan keragaman atau pluralisme.
Ketika memasuki abad ke-20, gagasan pluralisme agama telah semakin kokoh dalam wacan pemikiran filsafat dan teologi barat. Tokoh yang tercatat sebagai barisan pemula muncul dengan gigih mengedepankan gagasan ini adalah seorang teolog Kristen Liberal Ernst Troelstsch. Troelstsch melontarkan gagasan pluralisme agama secara argumentatif bahwa dalam semua agama, termasuk kristen, selalu mengandung elemen kebenaran dan tidak satupun agama memiliki kebenaran mutlak, konsep ketuhanan di muka bumi ini beragam dan tidak hanya satu.
Selama dua dekade terakhir abad ke-20 yang lalu, gagasan pluralisme agama telah mencapai kematangannya. Dan pada gilirannya telah menjadi sebuah diskursus pemikiran pada dataran teologi modern.
2.2.5. Gagasan Teologi Pluralis.
Setelah kita melihat penjabaran di atas, maka kita dapat melihat arah yang akan dituju oleh paham pluralisme ini. Yang menjadi Ruh dari paham ini adalah memandang semua agama benar dan tidak bisa saling mengklaim bahwa agama satu lebih unggul dari agama yang lain. Sehingga MUI menyatakan bahwa pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran adalah bersifat relative. Oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah.
Ungkapan penyamaan agama juga pernah diungkapkan oleh Mahatma Gandi. Setelah mempelajari lama dan seksama serta melalui perjalanan yang panjang, akhirnya dia sampai pada kesimpulan bahwa (1) semua agama itu benar, (2) semua agama itu memiliki beberapa kesalahan di dalamnya, dan (3) semua agama bagi saya itu sama berharganya sebagaimana agama saya sendiri, yaitu hindu. Menurut Mahatma Gandi, agama ibarat jalan yang beda-beda, namun menuju titik yang sama.
Pernyataan yang paradoks tentang penyamaan agama ini justru keluar dari seorang cendikiawan Hindu pula, yaitu DR. Frank Gaetano Morales. Dia mengecam keras orang-orang Hindu yang menyamakan agamanya dengan agama lain.
Pluralisme agama memiliki sekurang-kurangnya dua aliran besar, yaitu : -
a).
Aliran Kesatuan Transenden Agama-agama (transenden unity of religious) yang dicetuskan oleh Fritjhof Schuon.
b).
Aliran Teologi Global (global theology) yang dicetuskan oleh John Hick dan Wilfred Cantwell Smith.
Dalam aliran Kesatuan Transenden Agama-agama (transenden unity of religious), Schuon menawarkan ide 'pembacaan' agama menjadi dua tingkat : tingkat eksoterik dan tingkat esoterik. Perbedaan antar agama ada pada tingkat eksoterik (lahiriah, ibadah, atau syari’ah), sedangkan pada aspek esoterik (batiniah) agama-agama itu menyatu, memiliki Tuhan yang sama sekaligus abstrak dan tak terbatas.
Demikian halnya dengan aliran Teologi Global (global theology), juga memiliki problem serius. Menurut aliran ini, agama-agama yang ada harus menyesuaikan diri dengan kondisi dan perkembangan sosial budaya masyarakat hari ini. Maksudnya masyarakat yang plural. Universalisasi ideologi Barat adalah tujuan yang hendak dicapai. Demi universalisasi ini, John Hick dan juga Diana L Eck 'melebur' batas agama-agama (ekslusivisme). Akibatnya, ada perubahan radikal dalam masalah Ketuhanan, yaitu dari 'banyak agama' banyak Tuhan, menjadi 'banyak agama' satu Tuhan.
2.2.6. Tokoh-tokoh Dalam Ajaran Pluralisme.
Dari kalangan Katholik, ada 5 tokoh utama dalam pluralisme, yaitu : Hans Kung, Karl Rahner, Raimundo Panikkar, Stanley Samartha, dan Paul F Knitter. Sedangkan dari Indonesia tokoh-tokoh Pluralis antara lain : Prof. DR. Phil Franz Magnis, SusenoSJ, J.B. Banawiratma SJ, dll.
Dari kalangan Kristen (Protestan) yaitu : C.S. Song (Taiwan), dan Olaf Schumann. Sedangkan dari Indonesia tokoh-tokoh Pluralis antara lain: Iones Rakhmat, Eka Darmaputera, Th. Sumartana, E. G Singgih, Victor Tanja, dll.
Dari kalangan
Islam, tokoh-tokoh pluralisme di Indonesia dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) katagori: -
Katagori pelopor, antara lain : -
1. Abdul Mukti Ali 5. Harun Nasution
2. Abdurrahman Wahid 6. M. Dawam Raharjo
3. Ahmad Wahib 7. Munawir Sjadzali
4. Djohan Effendi 8. Nurcholish Madjid
Katagori senior, antara lain : -
9. Abdul Munir Mulkhan 17. M. Amin Abdullah
10. Ahmad Syafi’i Ma’arif 18. M. Syafi’i Anwar
11. Alwi Abdurrahman Shihab 19. Masdar F. Mas’udi
12. Azyumardi Azra 20. Moeslim Abdurrahman
13. Goenawan Mohammad 21. Nasaruddin Umar
14. Jalaluddin Rahmat 22. Said Aqiel Siradj
15. Kautsar Azhari Noer 23. Zainun Kamal
16. Komaruddin Hidayat
Katagori penerus perjuangan, antara lain : -
24. Abdul A’la 38. Abdul Moqsith Ghazali
25. Ahmad Fuad Fanani 39. Ahmad Gaus AF
26. Ahmad Sahal 40. Bahtiar Effendy
27. Budhy Munawar Rahman 41. Denny JA
28. Fathimah Usman 42. Hamid Basyaib
29. Husein Muhammad 43. Ihsan Ali Fauzi
30. M. Jadul Maula 44. M. Luthfie Assyaukanie
31. Muhammad Ali 45. Mun’im A Sirry
32. Nong Darol Mahmada 46. Rizal Malarangeng
33. Saiful Mujani 47. Siti Musdah Mulia
34. Sukidi 48. Sumanto Al Qurthuby
35. Syamsu Rizal Panggabean 49. Taufik Adnan Amal
36. Ulil Abshar Abdalla 50. Zuhairi Misrawi
37. Zuly Qodi
3. PENUTUP.
3.1. Fatwa kesesatan ajaran pluralisme.
Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Komisi Tetap Riset Ilmiyyah dan Fatwa Saudi Arabia) pada masa pimpinan Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz pernah dihadapkan pada masalah yang tersebar di berbagai negeri yaitu dakwah penyatuan agama : Islam, Yahudi dan Nashrani. Dari pemikiran ini muncul pendapat tentang bolehnya membangun masjid kaum muslimin, gereja Nashrani dan tempat ibadah Yahudi dalam satu area secara bergandengan. Dakwah penyatuan agama ini juga membolehkan penerbitan tiga kitab (berisi Al Quran, Taurat dan Injil) sekaligus dalam satu cover.
Menanggapi masalah itu, komisi tersebut berfatwa tentang kesesatan ajaran pluralisme agama. Inti fatwanya adalah sebagai berikut : -
Berdasarkan pemaparan yang telah lewat, maka kami katakan : -
• Bagi seorang muslim yang meyakini bahwa Allah sebagai Tuhannya, Islam sebagai agamanya dan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai nabi dan Rasulnya, tidak boleh mengajak, mendorong dan menunjuki pada pemikiran sesat semacam ini di tengah-tengah kaum muslimin. Bahkan seseorang tidak boleh menerima dakwah ini, mengikuti muktamar, perkumpulan atau menyebarkan dakwah semacam ini.
• Tidak boleh bagi seorang muslim menerbitkan Taurat dan Injil secara bersendirian. Lebih-lebih lagi jika keduanya dicetak dalam satu sampul bersama Al Qur’anul Al Karim?. Barangsiapa yang melakukan hal ini atau menyeru padanya, maka ia berarti telah berada dalam kesesatan yang nyata karena ia telah mencampur adukkan antara al Haq (kebenaran) yang ada pada Al Qur’anul Karim dengan kitab yang telah mengalami penyelewengan atau kebenarannya telah dimansukh (dihapus) yaitu pada Taurat dan Injil.
• Sebagaimana pula tidak boleh seorang muslim menerima ajakan untuk membangun masjid, gereja, dan tempat ibadah lainnya dalam satu area secara berdampingan karena hal ini sama saja mengakui ajaran agama selain Islam yang menyembah Allah tetapi bukan lewat jalan Islam dan ini sama saja mengingkari kebenaran agama Islam atas agama-agama lainnya.
Sedangkan dakwah yang mengajak pada penyatuan tiga agama (Islam, Yahudi dan Nashrani) dan menyatakan bahwa siapa saja boleh beragama dengan salah satu dari tiga agama tersebut, juga menyatakan bahwa ketiga-tiganya itu sama-sama benarnya, dan Islam sendiri tidak menghapus agama-agama sebelumnya, maka tidak diragukan lagi bahwa mengakui dan meyakini atau ridha pada ajaran semacam ini adalah suatu kekafiran dan kesesatan. Alasannya, karena hal ini telah menyelisihi banyak ayat Al Qur’anul Karim yang begitu tegas, menyelisihi As Sunnah yang suci, dan Ijma’ (konsensus) ulama kaum muslimin.
Sedangkan pada MUNAS VII MUI di Jakarta pada tanggal 28 Juli 2005, MUI memutuskan ketentuan hukum bahwa : -
1. Pluralisme, Sekularisme dan Liberalisme agama sebagaimana dimaksud pada bagian pertama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.
2. Umat Islam haram mengikuti paham Pluralisme, Sekularisme dan Liberalisme Agama.
3. Dalam masalah aqidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap eksklusif, dalam arti haram mencampur-adukkan aqidah dan ibadah umat Islam dengan aqidah dan ibadah pemeluk agama lain.
4. Bagi masyarakat Muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan aqidah dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan.
DAFTAR PUSTAKA
• المـكتبــَـة الشَّــامِلَـة
• Abul Fida’ Ismail bin Katsir al Qursyiy ad Dimasyqiy, Tafsir Al Qur’an Al ‘Adziym, 2001. Kairo : Al Maktab Ats Tsaqofiy.
• DR ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Lubaabut Tafsiyr min Ibni Katsir, 2008. Jakarta : Pustaka Imam Syafi’iy.
• Al Imam Al Qodliy Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd Al Qurthubiy Al Andulusiy, Bidaayatul Mujtahid wa Nihaayatul Muqtashid, ____. Beirut : Darul Kutub al Islaamiyyah.
• A.Sirriy, Mun’im, Fiqih Lintas Agama, 2005. Jakarta : Paramadina.
• http://www.ahlussunnah.wordpress.com/ Fatwa MUI tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama.
• http://www.islamlib.com/ Menimbang Fikih Lintas Agama.
• http://www.bataviase.co.id/ Gus Dur Bapak Pluralisme.
• http://www.id.wikipedia.org/
• http://www.wikipedia.net/ definisi pluralisme.
• http://www.ob.or.id/ racun pluralisme dalam iman kristen.
• http://www.muslimdaily.net/pluralisme agama dalam pandangan Islam.
• http://www.voa-islam.com/ fatwa kesesatan ajaran pluralisme agama.
• http://www.sayno2jil.multiply.com/ dikutip dari buku : 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia : Pengusung Ide Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme.